webnovel

3E

Sesuai dengan judulnya, cerita ini menceritakan mengenai tiga bersaudara yang memiliki sejenis kekuatan aneh nan misterius. Meski adalah tiga saudara, pada awal cerita ketiganya diceritakan di tiga tempat dan tiga negara yang berbeda. Di sisi lain, terkisahlah seorang Dewa Perak - dewa yang turun ke dunia manusia guna mengumpulkan kembali tiga bintang kemujuran dan mengembalikan sosok dewi yang dicintainya ke wujud semula.

ATua · Celebrities
Not enough ratings
26 Chs

Di Persimpangan Enam Jalur Reinkarnasi

BAB 23

Angin tengah malam berhembus mendesir menyapu pepohonan dan dedaunan di tengah-tengah kegelapan malam. Tampak ombak-ombak kecil pada air danau yang beriak. Sama sekali tidak tampak adanya aktivitas manusia di danau dan di hutan-hutan di kawasan pegunungan di sekitarnya.

Saat terbang di atas kawasan pegunungan di Danau Toba, mendadak sebuah pintu muncul di tengah-tengah pegunungan. Pintu mendadak terbuka dan terhisaplah sang sinar hijau ke dalam pintu. Tampak pintu tertutup kembali.

Sang sinar hijau berpindah ke alam dimensi lain yang juga berupa hutan di puncak pegunungan. Tampak Siluman Batu Hitam berdiri di puncak gunung. Dengan sekali sapuan tangannya, tubuh Rendy Ibrahim yang sudah tidak bernyawa melayang turun dan akhirnya menyatu dengan asap-asap hitamnya. Sejurus kemudian, tampak tubuh Rendy Ibrahim mulai membuka matanya. Sinar hitam berkelabat sebentar dari kedua bola matanya. Sang sinar hijau tahu Siluman Batu Hitam sudah mengorbankan Rendy Ibrahim dan kini masuk ke dalam tubuhnya.

Sang sinar hijau berubah menjadi sosok Erdie Vio. Dia terperanjat sejenak karena dilihatnya kini Siluman Batu Hitam tengah menyapukan tangannya di atas tubuh kedua saudaranya. Lagi-lagi keluarlah asap hitam dari tangan sang siluman jahat, yang kemudian menggumpal menjadi ular-ular hitam. Ular-ular hitam segera melesat dengan kecepatan tinggi dan kontan menembus dada saudara sulung dan saudara tengah. Kini muncul dan keluarlah bintang merah dan bintang kuning dari tubuh keduanya.

Terdengar teriakan kebencian dan kemarahan dari saudara bungsu melihat apa yang telah diperbuat oleh sang siluman jahat kepada kedua saudaranya.

Terdengar tawa membahana dari sang siluman jahat yang memecah langit malam.

"Aku takkan memaafkanmu…!" teriakan Erdie Vio juga cetar membahana memecah langit malam.

"Aku sudah mendapatkan bintang merah dan bintang kuning. Hanya tinggal bintang hijaumu saja, Erdie Vio! Serahkan padaku bintang hijaumu! Serahkan padaku! Aku menginginkan tiga bintang kemujuran sekarang juga!" teriak Siluman Batu Hitam lagi.

Ular-ular hitam segera melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Erdie Vio. Dengan melesat ke atas, Erdie Vio menghindarinya. Erdie Vio menyapukan tangannya di udara dan keluarlah gelombang sinar hijaunya. Gelombang hijau berubah menjadi banyak sekali pedang kecil. Pedang-pedang kecil melesat balik ke arah Siluman Batu Hitam. Terjadilah laga pedang hijau melawan ular hitam selama beberapa saat.

Satu ledakan gelombang terjadi di udara. Baik ular hitam maupun pedang hijau sama-sama sirna seketika. Siluman Batu Hitam melesat ke arah Erdie Vio. Erdie Vio juga melesat ke arah sang siluman jahat. Terjadilah laga tangan dan kaki selama beberapa saat di udara. Siluman Batu Hitam kembali menyemburkan asap hitamnya. Terkenalah Erdie Vio oleh asap hitam beracun itu. Buyarlah pandangan matanya selama beberapa saat. Di saat Erdie Vio lengah, Siluman Batu Hitam langsung mendaratkan satu tapak batu beracun ke dada Erdie Vio. Dengan satu teriakan ketidakberdayaannya, Erdie Vio jatuh terhempas ke tanah. Tampak darah merah segar muncrat dari mulutnya.

"Serahkan bintang hijau kepadaku! Kenapa kau sama dengan Dewi Ruby dan kedua saudaramu itu? Kenapa kalian semuanya begitu keras kepala dan susah diajak bekerja sama!" teriak Siluman Batu Hitam.

"Ingin bintang hijau, ke sinilah, Siluman Batu Hitam," kata Erdie Vio dengan sebersit senyuman sinisnya. "Kejarlah aku… Jika kau bisa menangkapku, bintang hijau akan menjadi milikmu…"

Dengan kekesalan dan kemarahan yang sudah memuncak, Siluman Batu Hitam mendaratkan satu tapak hitam ke tanah. Tanah retak dalam satu garis. Garis segera mencapai tempat Erdie Vio berbaring. Erdie Vio melesat ke atas lagi. Garis retakan tersebut tidak sempat menelannya. Siluman Batu Hitam menyapukan tangannya ke atas. Tanah dan bebatuan naik ke atas dan membentuk sebuah gulungan raksasa, mulai mengepung Erdie Vio. Erdie Vio terperanjat sejenak menyadari kekalahannya sudah di ambang pintu. Dia sadar dengan kekuatan bintang hijau sendirian, dia takkan mampu mengalahkan Siluman Batu Hitam. Tanpa bintang merah dan bintang kuning, dia sebentar lagi akan menjadi butiran debu dalam gulungan tanah dan bebatuan ini.

Erdie Vio merentangkan tangannya ke kiri dan ke kanan guna menahan gulungan tanah bebatuan yang kian lama kian sempit menjepitnya.

Rick…! Wie…! Pinjam aku kekuatan kalian… Aku mohon… Pinjam aku kekuatan bintang merah dan bintang kuning sehingga aku bisa keluar dari gulungan tanah dan bebatuan ini… Aku mohon, Rick, Wie…

Mendadak sinar merah dan sinar kuning berpendar juga dari tubuh Erdie Vio. Begitu tiga sinar bergabung, dengan mudah Erdie Vio melebarkan kembali gulungan tanah bebatuan tersebut. Dengan secepat kilat, Erdie Vio melesat ke atas dan dengan sekali sapuan tangan, gulungan tanah dan bebatuan berbalik arah mengenai sang siluman jahat sendiri.

Siluman Batu Hitam terhempas ke belakang. Akan tetapi, detik-detik berikutnya Erdie Vio mulai merasakan rasa sakit yang luar biasa pada kaki dan tangannya. Dia langsung jatuh terhempas ke tanah dan tidak bisa mengeluarkan gelombang hijaunya lagi.

"Hahaha… Gulungan tanah dan bebatuan tadi penuh dengan racun – racun yang sama seperti yang kumasukkan ke dalam tubuh Erick Vildy. Dengan racun dalam tubuhmu itu, kau akan berakhir sama seperti Erick Vildy, saudara sulungmu itu. Serahkan bintang hijau padaku! Serahkan bintang hijau padaku dan aku akan menyerahkan obat penawarnya padamu!" terdengar ancaman Siluman Batu Hitam yang berdentum.

Tampak senyuman sinis Erdie Vio kali ini, "Keahlianmu hanya main dari belakang, Siluman Tengik! Dengan racun, kau berhasil menaklukkan kami bertiga! Dengan hanya mengandalkan kekuatan tiga bintang kemujuran, kau berniat menaklukkan seluruh alam dewa! Kuberitahu padamu ya… Kelak jika kau berhasil dengan rencanamu itu, itu adalah prestasi yang sama sekali tidak patut kaubanggakan."

"Apa kau bilang?"

"Tentu saja… Berhasil menaklukkan seluruh alam dewa, menaklukkan seisi alam semesta ini dengan merampas kekuatan dari luar, bukan mengandalkan kekuatan diri sendiri. Itukah prestasi yang rencananya akan kaubangga-banggakan jika kau berhasil nanti?" masih tampak senyuman sinis Erdie Vio di sini.

"Jangan remehkan aku! Jangan menghinaku! Jangan menyepelekanku, Erdie Vio! Aku paling tidak suka dihina! Aku paling anti disepelekan dan dipandang rendah! Kau akan merasakan kehebatan dari Siluman Batu Hitam! Kau akan melihat kemampuan Siluman Batu Hitam yang sesungguhnya!" teriakan Siluman Batu Hitam berdentum, membahana memecah langit malam.

Maafkan aku, Rick, Wie… Aku juga terjatuh ke dalam perangkap Siluman Batu Hitam ini. Aku tidak bisa menghindar dari racunnya. Aku terjatuh ke dalam perangkap yang sama, Rick, Wie… Maafkan aku… Aku juga tidak bisa mempertahankan bintang hijau. Aku gagal melindungi bintang hijau yang telah mempercayakan dirinya kepadaku… Maafkan aku, Bintang Hijau. Maafkan aku, Dewi Ruby, Dewa Perak… Pada akhirnya, terpaksa aku juga harus mundur dari medan pertempuran ini...

Dengan sekali sapuan tangannya, Siluman Batu Hitam menciptakan satu lingkaran gelombang hitam. Gelombang hitam dengan secepat kilat melesat ke arah Erdie Vio. Dengan satu teriakan ketidakberdayaannya yang terakhir, akhirnya tubuh Erdie Vio roboh ke tanah, memejamkan sepasang matanya dengan damai, sama sekali tidak bergeming lagi, meninggalkan bintang warna hijau yang melayang-layang di udara di atasnya.

Tawa kembali membahana memecah langit malam ketika Siluman Batu Hitam berhasil mengambil bintang warna hijau. Lengkap sudah tiga bintang kemujuran di tanganku. Dengan kekuatan mereka, aku bisa menguasai seluruh alam dewa. Dewi Ruby…! Lihatlah aku sekarang! Aku bukan seekor siluman yang bisa kalian sepelekan dan rendahkan lagi. Lihatlah aku sekarang! Kelak akulah yang akan memimpin kelima negeri di alam dewa sana! Kalian semua akan bersujud di hadapanku! Kalian semua akan bertekuk lutut di hadapanku mengakui kehebatanku!

"Tidak…! Tidak…! Tidak…!" terdengar teriakan Dewi Ruby tatkala dilihatnya seluruh aksesoris dan jubah kebesaran yang dikenakan oleh Dewa Perak sudah layu kini. Sama sekali tidak ada yang tersisa.

Sudah tidak tersisa sama sekali. Perlahan-lahan, tubuh Dewa Perak akan lenyap seiring berjalannya waktu. Oh, Buddha… Inikah akhir dari segalanya? Inikah akhir dari perjuanganku selama ini? Inikah akhir kisah cinta kami? Oh, Buddha… Ini sangat tidak adil! Ini sangat tidak adil…!

Dewi Ruby melorot lemas ke bawah, bertumpu pada sisi tempat tidur Dewa Perak. Sama sekali tidak ada harapan lagi walau hanya setitik… Sama sekali tidak ada asa lagi walau hanya sekelumit. Air mata kian mengalir kian deras. Namun, semua air mata yang mengguyur dengan bebas keluar, sama sekali tidak bisa membawa pergi semua kepedihan dan duka nestapa Dewi Ruby.

Kesedihan dan kepedihan Dewi Ruby mengalir ke berbagai penjuru – tak berpangkal, tak berujung.

Terdengar deru mesin mobil di halaman sanggar Solidaritas Abadi. Segera Melisa Rayadi dan Sabrina Marcelina turun dari mobil dan menerjang masuk ke sanggar Solidaritas Abadi. Namun, begitu melihat segala aksesoris dan jubah kebesaran Dewa Perak berwarna cokelat kuning semua, mendengar tangisan Dewi Ruby yang mendayu-dayu nan berkepanjangan, akhirnya mereka tahu apa yang telah terjadi pada 3E… Mereka akhirnya tahu segala asa dan harapan 'kan sirna.

Sabrina Marcelina bersandar pada pintu karena ia sudah tidak sanggup berdiri lagi. Melisa Rayadi melorot lemas dan terduduk di lantai seketika.

Melisa Rayadi mulai terisak-isak dalam tangisannya.

Mendadak aku merasa segala asa 'kan menghilang.

Mendadak aku merasa penantian tak lagi berarti… Mendadak aku merasa segala mimpi dan khayalan akan tumpang tindih dan kemudian lenyap…

Mendadak aku ingin membalikkan badan ini, kembali ke masa lalu, kembali ke masa ketika aku masih belum mengerti pahitnya kehidupan seorang dewasa, ke masa ketika hanya ada segelintir dongeng kanak-kanak yang kini terlupakan, ke masa di mana ada sejuta impian serta khayalan tak berbatas, ke masa ketika aku masih bisa memandang ke masa depan dengan penuh optimisme.

Mulai terdengar tangisan Sabrina Marcelina yang juga terisak-isak.

Mendadak aku merasa hidup ini tidak lagi berarti… Mendadak aku menjadi tidak mengerti… Segala impian serta khayalan masa lalu berubah menjadi sejuta pertanyaan yang membingungkan. Ke mana sebenarnya aku harus melangkah? Untuk apa sebenarnya hidup ini? Untuk apa kita hidup jika pada akhirnya nanti kita akan mati? Apakah kematian merupakan jawaban akhir dari segala kebingungan ini? Apakah aku harus mati dulu untuk mengetahui untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini? Jika memang ada Sang Pencipta, yang maha mengetahui segala-galanya di alam semesta ini, aku rasa pertanyaan kecil nan sepele seperti ini takkan menjadi masalah bagi-Nya bukan?

***

Ada di mana ini? Banyak sekali orang yang berjalan ke satu arah yang sama. Mau ke mana mereka? Ada yang tidak berbaju, ada yang berbaju hitam, ada yang berbaju abu-abu, ada yang berbaju cokelat, ada yang berbaju warna-warni dengan model bebas seperti yang aku kenakan sekarang, dan ada yang berbaju putih. Mereka mau ke mana sebenarnya?

Julia Dewi mengikuti arah kerumunan tersebut karena ia sendiri juga berbaur dalam kerumunan tersebut. Sesekali Julia Dewi akan melihat ke rumah-rumah dan bangunan-bangunan kecil yang terdapat di sepanjang kiri dan kanan gang-gang yang dilaluinya.

Tempat apa ini sebenarnya? Semuanya berjalan-jalan di jalanan pada siang-siang bolong begini dan sama sekali tidak ada yang tinggal di dalam rumah… Semuanya berjalan ke arah yang sama. Ada di mana ini sebenarnya?

Mendadak pandangan mata Julia Dewi tertuju pada seseorang yang berbaju kuning, kira-kira tujuh delapan meter di depannya. Itu adalah baju tidur yang dikenakan Wie Wie ketika dia diculik oleh siluman tengik itu. Ya… Ya… Ya… Tidak salah lagi. Itu adalah Wie Wie… Baju tidur warna kuning itu hanya dia yang punya…

"Wie…! Wie…! Wie…! Tunggu aku sebentar! Wie…! Kau mau ke mana?" teriak Julia Dewi tapi, yang diteriakinya sama sekali tidak menghiraukannya dan terus berbaur dengan kerumunan yang ada, berjalan ke arah yang sama.

Julia Dewi mendadak bertemu dengan sosok Rendy Ibrahim di depannya. Julia Dewi terperanjat kaget sejenak. Bukankah Rendy Ibrahim ini sudah mati? Kenapa dia ada di sini? Jangan-jangan… Jangan-jangan… Jangan-jangan tempat ini adalah… adalah… tempat berkumpulnya orang mati sebelum mereka menerima penghakiman mereka. Oh, Buddha… Rendy Ibrahim ini mengenakan pakaian abu-abu… Ke manakah dia akan dihakimi dan dihukum atas semua perbuatan jahatnya semasa hidup?

Julia Dewi bergidik ngeri. Hukuman-hukuman setelah kematian yang selama ini hanya ia baca di buku-buku kini tampak begitu nyata di depan matanya.

"Kau ada di sini juga… Kalau tidak salah, kau adalah salah satu dari kekasih 3E bukan?" terdengar suara dan tampak senyuman sinis Rendy Ibrahim yang mengerikan.

Julia Dewi terhenyak kaget. Dia mulai ketakutan. Dia tahu langkah berikutnya yang harus ia ambil adalah mengambil langkah seribu dari tempat itu.

***

Tiga bintang kemujuran sudah diselimuti oleh asap hitam milik Siluman Batu Hitam. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggabungkan tiga bintang kemujuran dengan kekuatan gelapnya yang berwarna hitam pekat.

Sebentar lagi… Sebentar lagi… Ketika kekuatan tiga bintang kemujuran ini sudah menyatu dengan kekuatan hitam milikku, aku sudah bisa menjinakkan mereka dan bisa menggunakan kekuatan mereka untuk tujuan apa pun yang aku kehendaki. Sebentar lagi… Sebentar lagi…

Namun, sungguh di luar dugaannya…! Aldo Morales melesat dengan kecepatan tinggi dan merampas tiga bintang kemujuran di saat Siluman Batu Hitam sedang mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menjinakkan tiga bintang tersebut. Siluman Batu Hitam terperanjat kaget dan sungguh tidak menyangka Aldo Morales akan mengkhianatinya malam ini.

"Kembalikan tiga bintang kemujuran itu, Aldo! Tiga bintang kemujuran itu adalah milikku!" teriak Siluman Batu Hitam.

"Dengan merampas tiga bintang kemujuran ini dari tuan rumah mereka yang asli, tidak berarti seluruh kemujuran dan keberuntungan di alam semesta ini juga akan berpihak padamu, Siluman Batu Hitam."

"Apa kau bilang?" Siluman Batu Hitam terhenyak kaget dengan sepasang matanya yang melebar. "Kau mengkhianatiku, Aldo! Kau berkhianat pada sosok yang telah memberimu kekuatan yang sekarang kaumiliki itu!"

"Kau membunuh Stella yang amat sangat kucintai dan membuatku seperti orang bodoh dengan menumpahkan kebencian dan dendamku pada objek yang salah! Kau dan Rendy membunuhnya padahal kalian jelas-jelas tahu dialah yang paling berharga bagiku! Kau dan Rendy jelas-jelas tahu demi dia aku sanggup melakukan apa saja, tapi tega sekali kalian merampasnya dariku! Tega sekali!"

Aldo Morales berteriak kuat sambil mengarahkan kekuatan gelapnya ke arah Siluman Batu Hitam. Siluman Batu Hitam yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya barusan, sama sekali tidak bisa menangkis kekuatan Aldo Morales lagi. Tampak Siluman Batu Hitam yang terhempas ke belakang dan menghantam pohon. Darah hitam segera muncrat dari mulutnya.

"Kembalikan tiga bintang kemujuran itu padaku! Kembalikan, Aldo! Asalkan kau mengembalikan tiga bintang kemujuran itu padaku, aku akan menciptakan seribu Stella Kuangdinata di hadapanmu, Aldo. Asalkan kau mengembalikan tiga bintang kemujuran itu kepadaku, sepuluh ribu Stella pun bisa kuciptakan untukmu…" kata Siluman Batu Hitam terbata-bata sambil berjalan tertatih-tatih ke arah Aldo Morales.

"Tidak ada yang bisa menggantikan Stellaku di dunia ini, bahkan di alam semesta ini, Siluman Batu Hitam! Asal kau tahu itu…! Dengan menciptakan banyak sekali Stella palsu untukku, kau kira itu sudah bisa menggantikan seluruh kepedihan, sakit hati dan penderitaanku, Siluman Batu Hitam! Kau terlalu meremehkanku! Kau terlalu menyepelekanku!"

Satu tenaga hitam lagi diarahkan Aldo Morales ke Siluman Batu Hitam. Kali ini Siluman Batu Hitam menghantam ke tebing batu yang ada di belakangnya. Tampak lagi darah hitam muncrat dari mulutnya.

"Sederhana saja, Siluman Batu Hitam. Mengingat balas budiku untukmu atas kekuatan yang telah kauberikan ini, aku takkan menghabisimu. Tapi, karena kau telah merampas sesuatu yang teramat sangat berharga bagiku, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku juga akan menghancurkan semua impianmu, semua impian yang teramat sangat berharga bagimu. Impas bukan?" tampak senyuman sinis Aldo Morales yang mengerikan.

"Jangan…! Jangan…! Hentikan itu, Aldo! Hentikan…!" terdengar teriakan tidak berdaya Siluman Batu Hitam.

Aldo Morales melemparkan tiga bintang kemujuran ke udara dan mulai berseru, "Wahai, Tiga Bintang Kemujuran… Demi kebaikan seluruh alam ini dan seluruh alam semesta ini, masuklah kembali ke tubuh tiga tuan rumah kalian…"

Mendadak tiga bintang kemujuran mulai memancarkan tiga sinar dengan tiga warna yang berbeda. Bintang merah mulai melesat cepat masuk kembali ke tubuh Erick Vildy. Bintang kuning mulai melesat secepat kilat masuk kembali ke tubuh Erwie Vincent. Bintang hijau mulai bergerak cepat masuk kembali ke tubuh Erdie Vio. Kini tampak tubuh 3E bersinar terang sesuai dengan warna bintang kemujuran masing-masing.

"Tidak…! Tidak…! Tidak…!" terdengar teriakan Siluman Batu Hitam yang melengking tinggi, menembus hingga ke perbatasan cakrawala gelap di atasnya.

***

Tubuh Erick Vildy bersinar merah terang-benderang. Akhirnya ia sadar dan bisa tanggap dengan keadaan sekelilingnya. Tapi, ia sendirian di sana. Sama sekali tidak tampak Siluman Batu Hitam ataupun kedua saudaranya yang lain.

Erick Vildy melihat ke kiri dan ke kanan.

Ada di mana ini? Ada banyak orang yang tidak berbaju berjalan ke satu arah, begitu juga dengan mereka yang berbaju hitam, berbaju abu-abu, berbaju cokelat, warna-warni dan putih… Masing-masing sudah ada jalurnya masing-masing. Dan terlebih lagi, matahari bersinar begitu terik, tapi panasnya sama sekali tidak terasa. Ada di mana ini? Apakah… Apakah ini? Apakah ini ada di akhirat?

Erick Vildy terperanjat seketika.

Apakah aku sudah mati? Lalu bagaimana dengan Wie Wie dan Die Die? Apakah mereka juga ada di sini? Aku harus segera menemukan mereka.

***

Erdie Vio tersadar dari tidurnya yang panjang begitu tubuhnya memancarkan sinar hijau terang-benderang. Melihat ke keadaan sekelilingnya, Erdie Vio hanya bisa tersenyum hambar.

Oh, Buddha… Akhirnya aku sampai di akhirat, yang sama seperti di mimpiku. Aku telah gagal mengalahkan Siluman Batu Hitam. Erdie Vio menghela napas panjang. Yah mau bagaimana lagi… Sudah sampai di sini. Mau mundur, jelas tidak mungkin lagi. Mau maju, ada enam persimpangan di sini… Mau ke mana ya?

Erdie Vio mulai bingung. Jelas-jelas dia bergidik dengan sekumpulan orang yang tidak berbaju itu, ada yang tua, yang muda, bahkan ke anak kecil dan remaja sekalipun. Dan, warna hitam, abu-abu dan cokelat juga bukan warna kesukaannya, jadi diputuskan dia akan bergabung dengan pasukan warna-warni saja. Di kerumunan orang-orang berbaju warna-warni ini, setidaknya ia bisa melihat ada beberapa yang berbaju hijau, sama seperti baju tidur warna hijau yang ia kenakan sekarang ini.

Erdie Vio mulai bergabung ke kerumunan pasukan warna-warni. Tampak antrian masih panjang di depan. Tampak kerumunan tersebut berjalan ke satu arah dengan perlahan-lahan – entah ke mana…

***

"Aaiihh…!" teriak Julia Dewi ketika dirasakannya Rendy Ibrahim sudah semakin dekat di belakangnya.

"Mau lari ke mana kau?" teriak Rendy Ibrahim hendak mencekal bahu Julia Dewi ketika tangannya mendadak juga dicekal oleh suatu tangan yang lain. Ketika ia mendongakkan kepalanya, ia langsung berhadapan dengan sosok Erwie Vincent dengan sebersit senyuman santainya yang menjadi ciri khasnya. Spontan ia langsung mundur beberapa langkah.

"Sudah mati masih saja ingin mencelakakan orang kau, Rendy Ibrahim!" tukas Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya.

"Wie…! Wie…! Wie…! Akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Wie. Kau baik-baik saja, Wie…?' Julia Dewi langsung memeluk sang pangeran pujaan sembari membiarkan air mata keharuannya bergulir beberapa tetes.

"Aku baik-baik saja, Jul. Bintang kemujuran sudah kembali ke tubuhku. Entah siapa di alam manusia sana yang berbaik hati merebut bintang kemujuran kuning dari tangan siluman jahat itu dan mengembalikannya ke tubuhku," kata Erwie Vincent masih dengan senyuman santainya dan kini ia kembali menatap Rendy Ibrahim yang hanya berjarak beberapa meter di hadapannya.

"Kenapa kau selalu berada di atas angin, Erwie Vincent? Kenapa dalam hidupmu, kau selalu memperoleh apa pun yang kauinginkan? Aku membencimu! Aku benci dengan kehidupanmu yang jauh lebih baik daripada kehidupanku!" teriak Rendy Ibrahim di puncak kegusarannya.

"Kau ingin tahu kenapa? Karena aku tidak pernah menuntut apa pun yang melebihi kemampuanku. Itu saja… Simple bukan?" ujar Erwie Vincent dengan santai.

"Diam! Aku tak mau dengar!" teriak Rendy Ibrahim mengarahkan kekuatan gelapnya ke arah Erwie Vincent dan Julia Dewi, tapi hanya dengan sekali sapuan santai, Erwie Vincent berhasil menghapus kekuatan gelap milik Rendy Ibrahim tersebut.

Rendy Ibrahim menerjang ke depan. Terjadilah laga tangan dan kaki dengan si bintang kuning. Erwie Vincent menyelinap masuk ke dalam dinding bangunan dan rumah kecil yang ada di sebelah kanan kirinya. Rendy Ibrahim mendaratkan satu tapak ke dinding bangunan dan rumah kecil tersebut. Erwie Vincent keluar lagi dan menyelinap ke dinding bangunan yang berikutnya. Rendy Ibrahim mendaratkan satu tapak lagi ke dinding yang berikutnya. Erwie Vincent keluar lagi dan kali ini ia menyapukan satu gelombang kuning ke arah Rendy Ibrahim. Rendy Ibrahim terkena sapuan gelombang tersebut dan secara otomatis mundur beberapa langkah.

Si bintang kuning mengayunkan kedua tangannya. Secara otomatis bangunan dan rumah kecil yang saling berhadapan tersebut langsung merapat dan menjepit Rendy Ibrahim yang berdiri di tengah. Terdengar satu jeritan ketidakberdayaan dari Rendy Ibrahim. Ketika bangunan dan rumah kecil tersebut melebar kembali, tampak Rendy Ibrahim sudah terkapar tidak berdaya, tapi sama sekali tidak tampak darah merah segar yang muncrat dari mulutnya lagi.

"Menyerahlah, Rendy Ibrahim!" kata Julia Dewi. "Sudah di ujung jalan seperti ini, seharusnya kau menyesali segala perbuatanmu dulu dan kembali ke jalan yang benar."

Rendy Ibrahim masih berusaha untuk berdiri. Begitu ia berhasil berdiri dengan sempurna, Raja Setan Akhirat yang berdiri di belakangnya menyinarinya dengan seberkas sinar cokelat. Terdengar teriakan Rendy Ibrahim yang panjang nan memekakkan telinga.

"Pendatang baru di sini tidak boleh banyak berulah! Kau bahkan belum melewati pengadilan dan hukumanmu belum ditentukan sama sekali, sudah berani sekali kau banyak bertingkah dan membuat keonaran di sini! Kembali ke jalurmu yang seharusnya!" hardik sang Raja Setan Akhirat.

Tampak sorot mata Rendy Ibrahim menjadi hampa nan kosong sekarang. Segera dia bergabung dengan kerumunan yang berbaju abu-abu dan masuk ke jalurnya yang seharusnya. Melihat kejadian itu, Erwie Vincent dan Julia Dewi saling berpandangan sesaat.

Raja Setan Akhirat datang mendekat. Tampak Julia Dewi takut-takut, berdiri di belakang sang pangeran pujaannya.

"Siapa kalian? Tidak sembarang orang bisa masuk sampai ke jalur yang menuju ke jembatan penyeberangan di depan, asal kalian tahu saja ya…" kata sang Raja Setan Akhirat dengan nada dingin nan membekukan sumsum tulang. Namun, begitu ia melihat ke wajah Erwie Vincent, ia melihat seberkas sinar kuning berkelabat dari sepasang bola mata Erwie Vincent. Ia langsung mengubah sikap dan perangainya.

"Oh, Bintang Kuning… Maafkan saya… Saya tidak tahu bahwasanya Bintang Kuning akan datang berkunjung hari ini. Maafkan saya…" kini tampak senyuman hangat dari Raja Setan Akhirat.

"Tidak usah sungkan. Aku juga tidak sehebat itu, tidak sehebat dirimu yang bisa menjaga persimpangan dunia dan akhirat untuk waktu yang begitu lama, Raja Setan Akhirat," kata Erwie Vincent membuat suatu tebakan dengan gaya bicaranya yang santai nan lemah lembut. Namun, ternyata ia benar. Ia sedang berbicara dengan Raja Setan Akhirat.

"Saya tidak berani… Saya tidak berani, Bintang Kuning… Semua yaksa, asura, dan dewa-dewi penjaga yang bertugas di sini tahu bahwa tiga bintang kemujuran merupakan utusan dari alam dewa di atas sana. Semuanya juga tahu bahwa tiga bintang kemujuran memiliki kekuatan tertinggi untuk menetralisir segala energi kebencian, keserakahan, dan kebodohan di seluruh alam semesta ini. Sungguh saya tidak menyangka Bintang Kuning akan datang berkunjung ke persimpangan enam jalur reinkarnasi hari ini," kata sang Raja Setan Akhirat menebar senyumannya kali ini.

"Wie… Kau benaran mau mencari Erick dan Erdie di sini? Kau yakin mereka ada di sini?" bisik Julia Dewi menarik lengan sang pangeran pujaan sehingga mereka berdiri agak jauh dari sang Raja Setan Akhirat.

"Firasatku tidak pernah salah, Jul. Aku yakin mereka ada di sini. Mereka adalah dua belahan jiwaku yang terpisah di dua tempat dan dua zaman. Kau kembalilah dulu, Jul… Setelah aku menemukan Erick dan Erdie, aku berjanji aku juga akan kembali…" kata Erwie Vincent tersenyum santai nan menenangkan ke putri pujaannya.

"Tapi… Tapi aku… Aku agak cemas apabila kau terus berada di sini, Wie," kata Julia Dewi masih belum sanggup melepaskan pangerannya seorang diri di sana.

"Percayalah padaku, Jul…" kata Erwie Vincent memegangi kedua belahan pipi sang putri pujaan. "Aku memiliki bintang kuning yang akan bisa menuntunku kembali ke dunia di atas sana begitu aku menemukan bintang merah dan bintang hijau. Kami memiliki tiga bintang kemujuran di pihak kami, dan apabila kami bersama-sama, tentunya kau tahu bukan segalanya akan baik-baik saja?"

Akhirnya Julia Dewi mengangguk.

"Oke… Kau harus kembali segera setelah kau menemukan Erick dan Erdie, Wie. Iya ya…? Jangan lama-lama di sini deh… Setelah beberapa saat lamanya di sini, dari Raja Setan Akhirat itu, akhirnya aku baru tahu ini adalah persimpangan enam jalur reinkarnasi."

"Oke… Oke… Aku takkan berlama-lama di sini. Kau kembalilah dulu, Jul. Aku akan menyusul nanti…" kata Erwie Vincent masih dengan gayanya yang lemah lembut nan menenangkan.

Baru saja Julia Dewi menganggukkan kepalanya, dirinya kontan berubah menjadi seberkas sinar jingga. Sejurus kemudian, sinar jingga langsung menghilang dari hadapan mereka, terbang melayang ke cakrawala putih di siang hari.

Erwie Vincent berpaling. Ternyata Raja Setan Akhirat yang tadi masih berdiri di tempat yang sama, dan tanpa perintah si Bintang Kuning ia tak berani meninggalkan tempat – takut dicap sebagai Raja Setan Akhirat yang tidak tahu etika, tidak tahu sopan santun.

"Oh… Tidak apa-apa, Raja Setan Akhirat. Aku sebenarnya mau mencari kedua saudaraku yang lain – Bintang Merah dan Bintang Hijau… Tapi, tak apa-apa, Raja Setan Akhirat… Kau kembalilah dulu ke tugasmu. Aku akan mencari mereka sendiri…" kata Erwie Vincent lembut nan santai.

"Oh… Bintang Kuning sedang mencari Bintang Merah dan Bintang Hijau rupanya. Tempat ini sangat luas dan bercabang-cabang hingga ke enam alam kelahiran kembali. Jika Bintang Kuning membutuhkan bantuan dan informasi dari saya, jangan sungkan-sungkan mengatakannya," kata Raja Setan Akhirat tersenyum ramah.

Sebenarnya Raja Setan Akhirat penasaran sekali kenapa tiga bintang kemujuran bisa ada di persimpangan enam jalur reinkarnasi ini bersama-sama, tetapi mereka bertiga bisa sampai berpencar-pencar ke lain-lain titik. Namun, karena melihat si bintang kuning yang begitu terburu-buru ingin segera menemukan dua saudaranya yang lain, si Raja Setan Akhirat memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.

"Oke… Terima kasih banyak, Raja Setan Akhirat," kata Erwie Vincent santai, dengan senyumannya yang santai dan menenangkan.

"Itu dia si Bintang Kuning dari tiga bintang kemujuran yang terkenal itu, Kawan-kawan," terdengar bisik-bisik dari dewa-dewi penjaga yang lain.

"Ternyata ia adalah seorang manusia ya… Meski demikian, ia tampak sangat gagah dan tampan. Dengan gaya bicaranya yang lemah lembut, dan dengan suaranya yang serak-serak basah itu, aku yakin ia akan membuat banyak dewi terpana dan terpesona melihatnya," terdengar komentar seorang dewi penjaga di sini.

"Jelas dong… Dia itu calon dewa… Dalam dua kehidupan yang akan datang, ia akan terlahir di alam dewa sana sebagai salah seorang dewa pemimpin. Kau ini yang hanya seorang dewi penjaga, jangan harap bisa bersanding dengannya. Mengagumi saja boleh, tapi jangan sampai jatuh hati ya… Sakit rasanya…" kata salah seorang dewi penjaga yang lain, yang diiringi dengan derai tawa semua dewa-dewi penjaga yang ada.

"Oh ya… Ngomong-ngomong, mana dua saudaranya yang lain ya? Hanya tampak Bintang Kuning ini. Bintang Merah dan Bintang Hijau sama sekali tidak tampak," terdengar komentar yang lain.

"Kau sendiri yang tidak melihat mereka. Aku tadi melihat mereka kok. Tadi kulihat Bintang Merah mengobrol-ngobrol dengan jenderal penjaga jembatan penyeberangan. Sementara itu, tadi sempat kulihat si Bintang Hijau berbaur dengan kerumunan yang akan dilahirkan kembali ke alam manusia. Entah apa yang sedang dilakukannya di sana. Mungkin dia mau mengecek sebentar jalur kelahiran kembali alam manusia. Entahlah… Namanya saja tiga bintang kemujuran. Mereka sedang apa, sama sekali tidak ada yang berani bertanya…" narasi dewi penjaga yang satu ini cukup panjang. Dia sontak menjadi pusat perhatian karena membawa informasi yang cukup lengkap.

"Yang benar? Kau juga melihat Bintang Merah dan Bintang Hijau? Bagaimana rupa mereka? Apakah mereka setampan dan segagah Bintang Kuning ini?"

"Sumpah benaran deh, Kawan-kawan… Tunggu sampai kalian melihat mereka bersamaan deh. Sumpah benaran… Sama tampan dan gagahnya… Masing-masing dari tiga bintang kemujuran ini memiliki ketampanan dan keistimewaan masing-masing…"

"Jadi ingin bertemu dengan Bintang Merah dan Bintang Hijau nih… Kenapa kau tidak ajak-ajak sih? Tidak bilang-bilang ada tiga bintang kemujuran berkunjung ke sini. Enak pun enak sendiri saja kau…" celetuk dewi penjaga yang lain.

Derai tawa kembali terdengar. Gosip-gosip tentang tiga bintang kemujuran terus mengalir di seantero persimpangan enam jalur reinkarnasi.

Erwie Vincent hanya tersenyum santai. Ia sudah tahu kira-kira dua saudaranya yang lain sedang berada di mana saat ini. Ia segera berbaur dengan kerumunan orang banyak yang bergerak ke satu arah. Banyak sekali yang mati hari ini. Mereka semua sedang menunggu untuk diadili dan ditentukan hukumannya. Besok juga demikian… Lusa juga demikian… Oh, dunia ini… Hidup dan mati datang silih berganti…

Terdengar suatu helaan napas panjang. Sedikit keresahan berselarak dalam padang sanubari Erwie Vincent.