webnovel

3E

Sesuai dengan judulnya, cerita ini menceritakan mengenai tiga bersaudara yang memiliki sejenis kekuatan aneh nan misterius. Meski adalah tiga saudara, pada awal cerita ketiganya diceritakan di tiga tempat dan tiga negara yang berbeda. Di sisi lain, terkisahlah seorang Dewa Perak - dewa yang turun ke dunia manusia guna mengumpulkan kembali tiga bintang kemujuran dan mengembalikan sosok dewi yang dicintainya ke wujud semula.

ATua · Celebrities
Not enough ratings
26 Chs

3 vs 3

BAB 16

Teddy Revan dan Theo Rafael berencana melakukan gerakan butterfly di atas tiang-tiang besi. Dengan satu putaran 180 derajat, Theo Rafael akan berpindah tempat ke tiang-tiang besi yang ada di hadapannya. Sementara di bawah, tampak Thomas Robert yang memainkan tambur barongsai, Tommy Rido dan Yuni Mariany yang memainkan simbalnya dan tampak pula Timothy Ricky yang memainkan gongnya.

Namun, karena tidak berhati-hati, terjadi satu kesalahan. Theo Rafael hampir salah menginjak tiang-tiang besi yang ada. Dari bawah, tampak jelas tubuh barongsai hampir salah langkah dan terjatuh.

Musik berhenti ketika Theo Rafael marah-marah kepada Teddy Revan yang jelas bukan tergolong tipe anak yang bisa dikerasin.

"Bagaimana sih kau ini! Bisa main tidak sih!" hardik Theo Rafael. "Saat aku melompat tadi, kenapa tubuhmu juga tidak ikut berputar penuh? Hampir saja aku tidak kedapatan tiang-tiang besi yang ada di sini loh!"

"Dirimu sendiri yang tidak becus dalam melompat berputar, ya jangan salahkan aku dong! Di dalam gerakan butterfly ini, yang menjadi acuan utamanya kan si pemain ekor, bukan si pemain kepala!" teriak Teddy Revan tidak kalah kerasnya.

"Ya… Ya… Ya… Aku yang salah! Aku yang tidak becus dalam melompat! Kau selalu benar! Ulangi sekali saja kalau begitu supaya aku tidak salah lagi!" teriak Theo Rafael dengan nada kesinisan yang intens di sini.

Erdie Vio yang memperhatikan dari bawah, hendak bertukar pandang sejenak dengan sang pujaan hatinya. Namun, sang pujaan hatinya sedang melihat ke arah lain dan tidak mau menoleh sedikit pun ke arahnya. Tahulah Erdie Vio apa yang sedang melanda suasana hati Sabrina Marcelina malam itu.

"Sesama tim pun bisa bertengkar! Apa sih gunanya sesama tim jika tidak bisa saling melengkapi dan mengoreksi kesalahan masing-masing!" teriak Ahmad Sentosa sembari bertepuk tangan dan masuk dari pintu pagar yang memang tidak dikunci jika sedang ada latihan.

Erdie Vio melihat dari balik pagar teras bangunan sanggar. Mungkin karena penerangan di sana agak gelap dan remang-remang, Ahmad Sentosa sama sekali tidak menyadari keberadaannya malam itu.

"Jangan sok kau! Jadi orang tidak usah sok! Kau juga bukan anggota yang terhebat dalam timmu!" teriak Timothy Ricky.

"Daripada kau terus mencari masalah dengan kami, aku rasa lebih baik kau kembali ke sanggarmu sendiri dan asah kemampuanmu itu," sahut Tommy Rido.

"Kali ini kami sudah bisa menguasai gerakan butterfly dan performance yang di Grand Aston itu mutlak akan kami dapatkan," kata Theo Rafael dari atas tiang.

"Oh ya? Itu adalah malam tahun baru Imlek. Kalian yakin performance yang sepenting itu akan diberikan bos Grand Aston kepada pemain-pemain barongsai yang tidak… tidak… profesional seperti kalian?" tembak Ahmad Sentosa dengan sinis lagi.

Ahmad Sentosa dan beberapa anggota laki-laki yang ikut di belakangnya tertawa terbahak-bahak.

"Sudahlah, Mad…" kata Yenny Mariana dari belakang. "Untuk apa sih hampir tiap malam begini kita cari masalah dengan mereka? Sudah mau tiba hari-H, seharusnya kita itu latihan, bukan malahan cari permasalahan dengan tim lain. Kau ini sehat nggak sih!"

"Biarkan aku memuaskan rasa dendamku dulu, Yen! Tidak bisa kau memberikan aku sedikit keleluasaan untuk menuntaskan rasa dendamku?" tepis Ahmad Sentosa dengan kasar.

Yenny Mariana hanya merapatkan bibirnya. Dia kembali mundur beberapa langkah dan berdiri di samping Yenty Marlina yang juga melihat ke arahnya dengan pandangan serba salah.

"Apa tidak sebaiknya kita kembali ke sanggar saja dan jangan hiraukan si Ahmad dan yang lainnya ini, Yen?" bisik Yenty Marlina di telinga saudara sepupunya.

"Di sini saja deh, Yenty… Nanti kita pulang duluan, sesampainya mereka di sanggar, kita berdua bakalan kena semprot lagi… Entah apa-apa saja si Ahmad ini… Bukannya latihan, malah datang ke sini cari-cari masalah dengan tim lain, mentang-mentang tiga ketua tertinggi mereka sudah lima tahun vakum," bisik Yenny Mariana balik.

"Sayang ya kita tidak pernah bertemu dengan tiga ketua tertinggi Solidaritas Abadi ini, Yen. Aku jadi penasaran…" kata Yenty Marlina lemah lembut, dengan gayanya yang santai.

"Ya jelas kita tidak pernah bertemu dengan mereka. Kita masuk Gagak Hitam saja kan baru tiga tahun belakangan ini…" bisik Yenny Mariana. Dia sudah kelihatan gelisah dan tidak tahan berlama-lama di tempat itu.

Mendadak masuk satu mobil ke halaman Solidaritas Abadi. Mobil hitam tersebut terus melaju masuk ke bagian belakang pelataran parkir bangunan sanggar. Yenny Mariana tidak bisa melihat siapa yang mengemudikan mobil itu karena kaca mobilnya yang hitam gelap. Tapi yang jelas, berkali-kali Yenny Mariana ikut Ahmad Sentosa dan kawan-kawan ke sini, dia tidak pernah melihat adanya mobil hitam itu sebelumnya. Siapa itu gerangan? Yenny Mariana tampak mengerutkan dahinya.

Singa kembali melompat ke depan dan akhirnya sampai di tiang tertinggi yang paling ujung. Musik latar kembali dimainkan dengan keras.

"Apa sudah sering orang-orang Gagak Hitam datang ke sini mencari masalah?" tanya Erdie Vio kepada Dewa Perak begitu dua saudaranya yang lain muncul dan berdiri di sampingnya.

"Sering mereka datang ke sini, Erdie Vio…" kata Dewa Perak apa adanya. "Mencari masalah sih tidak. Hanya saja, seperti beginilah… Menghina, mengejek, dan menjatuhkan mental anggota-anggota baru ini… Sering kali mereka merasa down sekali. Terpaksa aku dan Pak Faiz harus kasih mereka ceramah panjang lebar untuk membangkitkan semangat mereka kembali."

"Oh… Jelas ini tidak bisa dibiarkan…" kata Erick Vildy yang hendak mengambil dua langkah lebar ke depan.

"Tenang dulu, Rick…" kata Erwie Vincent menahan gerakan saudara sulungnya. "Akan tiba saatnya kita bertiga menunjukkan diri kita di hadapan orang-orang Gagak Hitam itu. Percayalah padaku…"

Erick Vildy menunda langkah-langkahnya.

"Iya, Rick… Lihat saja dulu bagaimana perkembangan situasi ini beberapa menit ke depan," sahut Erdie Vio.

Erick Vildy mendengus sesaat, "Oke deh… Jika sudah tiba saatnya kita unjuk gigi, jangan lupa aku diajak ya…" katanya sedikit berkelakar.

Erdie Vio tertawa renyah. Dia melingkarkan kedua tangannya ke leher kedua saudaranya.

Dewa Perak berdiri di belakang mereka bertiga sambil menekur.

Tidak salah lagi… Aku yakin tiga bintang kemujuran itu Dewi Ruby masukkan ke dalam tubuh tiga bersaudara ini. Warna baju mereka, hingga ke sandal dan gelang yang mereka kenakan di tangan itu, semuanya berwarna merah, kuning, dan hijau. Tidak salah lagi… Oke… Aku akan mencari waktu yang tepat untuk tes dan membuktikan asumsiku ini… Dewi Ruby… Bersabarlah… Aku akan segera mengembalikanmu ke wujudmu semula…

Barongsai masih menari-nari di atas tiang-tiang besi.

"Mereka mau melakukan gerakan butterfly padahal jelas-jelas tadi aku lihat teknik mereka belum begitu bagus…" kata Erdie Vio.

"Aku ada firasat mereka akan jatuh kali ini, Rick, Die. Ke sana saja deh kita. Menyelamatkan orang lebih penting," kata Erwie Vincent dengan senyum dikulum.

"Oke… Yuk kita ke sana," kata Erick Vildy.

Tiga E tiba di samping tiang-tiang besi. Mata Ahmad Sentosa terbelalak lebar seketika. Yenty Marlina dan Yenny Mariana bertukar pandang sejenak.

Gerakan butterfly diulangi sekali lagi. Lagi-lagi, badan Teddy Revan tidak berputar penuh, dan lompatan Theo Rafael juga tidak all out karena ia masih kurang percaya dengan saudara sepupunya yang satu ini. Tak ayal lagi, Theo Rafael terjatuh dari atas tiang-tiang besi. Teddy Revan juga tertarik ke bawah.

Namun, tubuh Theo Rafael berhasil ditangkap oleh Erick Vildy. Tubuh Teddy Revan berhasil ditangkap oleh Erdie Vio. Karena hanya latihan, badan singa tidak diikatkan ke badan. Begitu jatuh, kepala singa dan badan singa tercampak begitu saja dan akan mengenai tubuh Yenty Marlina yang berdiri paling dekat dengan tiang-tiang besi. Dia memekik lembut dan mundur beberapa langkah secara spontan. Kakinya tersandung ke kaki tambur yang kebetulan pas ada di sampingnya.

Yenty Marlina terjatuh ke belakang. Akan tetapi, sungguh tidak diduga-duganya, ia berhasil mendarat dalam tangkapan Erwie Vincent. Alangkah tercengangnya dirinya, mendapati seraut wajah tampan nan rupawan, dengan sebersit senyuman santai nan lembut, dan mendapati sepasang tangan kekar menangkap tubuhnya.

"Kau baik-baik saja? Lihat tuh! Kepala singa itu hampir mengenaimu tadi," kata Erwie Vincent memberdirikan Yenty Marlina, masih dengan sebersit senyuman santainya yang sungguh membuat hati Yenty Marlina tidak karuan.

"Bagaimana sih kau ini! Kan aku sudah bilang badanmu berputar tidak penuh!" teriak Theo Rafael menuding-nuding saudara sepupunya.

"Kau sendiri berputar tidak full, jadi jangan salahkan aku saja!" balas Teddy Revan tak kalah gusar.

"Sudah! Bertengkar tidak akan menyelesaikan masalah!" kata Erick Vildy menyudahi pertengkaran di antara kedua saudara sepupuan itu.

"Yang harus kalian lakukan adalah belajar dari kesalahan dan saling mempercayai sesama anggota tim," kata Erdie Vio. Dia berjalan ke arah tempat di mana kepala singa tadi tergeletak dan mengambil kepala singanya.

"Rick! Ayo!" kata Erdie Vio dan ia juga memberi isyarat kepada Erwie Vincent, "Wie! Mainkan tamburnya! Masih ingat kan?" tampak senyuman khas Erdie Vio yang penuh semangat dan antusiasme.

"Tentu saja aku masih ingat," kata Erwie Vincent berjalan ke arah Thomas Robert. "Boleh pinjam aku sebentar tamburnya?"

"Ini, Bang," kata Thomas Robert menyerahkan sepasang tongkat pemukul tambur kepada Erwie Vincent.

Musik mulai dimainkan. Erdie Vio yang memainkan kepala singa dan Erick Vildy yang memainkan ekornya. Singa mulai melompat ke tiang-tiang besi dan dalam waktu tiga menit sudah berhasil mencapai tiang tertinggi yang terletak di ujung. Singa berbalik arah lagi dan gerakan butterfly berhasil dilakukan sebanyak tiga kali berturut-turut. Ahmad Sentosa dan kawan-kawan hanya bisa menelan air liurnya menyaksikan kehebatan 3E dalam memainkan barongsai dan musik latar pengiringnya.

Yuni Mariany, Tommy Rido, dan Timothy Ricky berkali-kali menggelengkan kepala mereka karena ada beberapa rumus musik pengiringnya yang jelas berbeda total dengan yang diajarkan oleh beberapa anggota senior dulu yang kini sudah out dari Solidaritas Abadi. Ternyata masih ada banyak rumus musik pengiring yang masih belum mereka pelajari.

Singa melompat turun dari tiang-tiang besi. Musik penutup dimainkan dan akhirnya seluruh atraksi barongsai selesai dalam waktu tujuh menit. Teddy Revan dan Theo Rafael bertepuk tangan menyaksikan performa 3E dalam barongsai.

"Sesama tim, harus saling percaya. Jika tidak, kalian tidak bisa menghasilkan satu performa yang baik," kata Erick Vildy mendekati Teddy Revan dan Theo Rafael.

"Iya, Bang…" kata Teddy Revan langsung takluk.

"Bisa, Bang… Bisa, Bang… Kami akan belajar lagi dan berusaha semaksimal mungkin," kata Theo Rafael langsung tenang di bawah bimbingan dan ceramah Erick Vildy.

"Bang Erwie Vincent…" panggil Timothy Ricky, "Kok berbeda dengan rumus-rumus musik pengiring yang diajarkan oleh senior terdahulu ya?"

"Ini yang terbaru lagi, Dik… Banyak rumus-rumus musik pengiring barongsai dan naga yang terus dikreasikan orang-orang. Tidak ada batasannya, Dik. Semakin sering kita melihat dan mendengar, akan semakin banyak rumus musik pengiring yang bisa kita dapatkan," ujar Erwie Vincent sembari tersenyum santai.

"Oke… Bagaimana, Pak Ahmad Sentosa?" tanya Erick Vildy dengan matanya yang mendelik tajam ke arah Ahmad Sentosa.

"Masih tidak berencana untuk meninggalkan halaman Solidaritas Abadi?" tanya Erdie Vio dengan sebersit senyuman sinisnya. "Dengan demikian, aku yakin seharusnya kau sudah tahu kan performance di Grand Aston pada malam tahun baru Imlek itu akan jatuh ke tim yang mana?"

"Oke… Oke… Kita lihat saja nanti… Kita lihat saja nanti kerjaan itu akan jatuh ke tangan siapa…" kata Ahmad Sentosa mulai merasa gentar. Dia mundur beberapa langkah dan mengisyaratkan kepada anggota-anggota timnya untuk mundur juga.

"Pulang, Yen!" kata Ahmad Sentosa meletakkan tangannya di bahu Yenny Mariana.

Akan tetapi, Yenny Mariana menepiskan tangannya. Yuni Mariany yang memperhatikan adegan itu mulai menebar satu senyuman penuh arti.

Jangan sempat kau juga tertarik pada Erdie Vio, Yen. Jika kau tertarik pada Erdie Vio, kita akan bersaing secara sehat untuk mendapatkannya. Tapi, karena kau adalah kakak kandungku, aku akan membantumu memisahkan Sabrina yang tidak tahu diri itu dari Erdie kita, Yen…

"Aku tidak berencana masuk ke tim Gagak Hitam lagi, Mad," kata Yenny Mariana menghela napas panjang.

"Apa kau bilang?" mata Ahmad Sentosa yang mendelik tajam kali ini. "Tidak bisa kau bicarakan itu secara baik-baik dan keluar secara baik-baik di sanggar kita nanti?"

"Aku juga mau keluar dari tim Gagak Hitam, Mad," kata Yenty Marlina setelah ia mengumpulkan sejuta keberaniannya untuk mengungkapkan hal yang sama.

Dewa Perak mengerutkan dahinya semakin dalam melihat perkembangan situasi yang sungguh tidak diduganya ini.

"Kembali ke sanggar dan kita bicarakan di sana nanti!" kata Ahmad Sentosa dengan gigi-giginya yang mulai bergemeretak.

"Aku ingin keluar saat ini juga, Mad. Sorry…Sorry… Tapi aku tidak tahan lagi dengan sikap kalian yang begitu kekanak-kanakan selama ini," kata Yenny Mariana membulatkan tekadnya dengan pandangan keseriusannya yang dalam.

"Apa kau bilang?"

"Sudah berapa kali aku ingatkan padamu, Mad? Sudah berapa kali aku ingatkan pada kalian semua hari-H sudah dekat, dan daripada ke tempat orang cari-cari masalah dan cari-cari keributan, bukankah lebih baik kalian berlatih dan mengasah kemampuan kalian sendiri? Ini sudah yang kesekian kalinya, Mad. Aku sudah muak… Aku ingin keluar dari Gagak Hitam sekarang juga. Aku ingin masuk ke tim Solidaritas Abadi saja. Kebetulan Yuni adikku juga masuk ke tim Solidaritas Abadi ini. Yenty juga saudara sepupu kami, jadi aku rasa memang kurang bijak jika kami bertiga terpisah-pisah di dua tim yang berbeda."

Dewa Perak, 5T, 3E dan ketiga sang pujaan hati mereka kini memperhatikan 3Y. Sontak 3Y menjadi pusat perhatian di halaman sanggar Solidaritas Abadi malam itu.

"Rick…" panggil Yenny Mariana langsung mendekati Erick Vildy malam itu. "Kau mau menerima aku dan saudara sepupuku bukan? Kini aku, Yuni, dan Yenty sudah total keluar dari Gagak Hitam, sudah tidak berhubungan apa-apa lagi dengan Gagak Hitam. Jadi, kau mau kan menerima kami bertiga di timmu ini?" katanya dengan sorot keseriusan yang dalam. Entah kenapa Melisa Rayadi mulai tidak menyukai gaya keseriusan dan kepercayaan diri Yenny Mariana ini.

"Hah…? Aku… Aku…" jelas tampak Erick Vildy sedang menghadapi pilihan yang dilematis malam itu.

"Wie… Wie…" panggil Yenty Marlina menggoyang-goyangkan lengan Erwie Vincent malam itu, "Kau dan kedua saudaramu itu mau kan menerima kami ke dalam Solidaritas Abadi ini? Kami berjanji, kami takkan berhubungan apa-apa lagi dengan tim Gagak Hitam. Kau percaya kan pada kami? Kau percaya kan?" katanya santai nan lemah lembut, tapi penuh dengan kemanjaan yang teramat dalam. Entah kenapa Julia Dewi mulai tidak menyukai gaya dan perangai Yenty Marlina.

Erwie Vincent sendiri merasa bingung dari mana kedua gadis baru ini tahu nama mereka. Apakah Yuni Mariany yang sudah lama masuk tim Solidaritas Abadi ini yang cerita ke mereka?

"Aku… Aku…" Erwie Vincent mulai bimbang. Dia hanya memandangi kedua saudaranya yang lain, minta tolong kepada keduanya bagaimana caranya menyudahi kejadian yang begitu dilematis ini. Ternyata kedua saudaranya yang lain juga mengalami hal yang sama.

"Oke… Oke… Mau keluar, ya keluar sana… Lagipula, keberadaan kalian berdua di sanggar juga tidak banyak membantu kok… Dengarlah, 3E… Mulai malam ini, anggap saja aku membuang sampah ke tong sampah. Sudah tahu kan siapa sampahnya dan siapa yang menjadi tong sampahnya?" tampak senyuman sinis Ahmad Sentosa.

"Kau…" Erick Vildy hendak bergerak maju dan menerjang ke arah Ahmad Sentosa.

"Biarkan saja ia ngomong sesukanya, Rick…" kata Yenny Mariana menahan langkah-langkah sang pangeran tampan nan rupawan yang begitu membuatnya terpikat. "Waktu akan membuktikan mana yang seperti emas dalam rumput dan mana yang seperti sampah dalam emas. Iya nggak, Mad?"

"Oke… Oke…" kata Ahmad Sentosa mulai kehabisan kata-kata, "Kalian akan menyesal telah berbuat demikian terhadap tim Gagak Hitam! Ya… Ya… Ya… Kupastikan kalian akan menyesal!"

Ahmad Sentosa dan beberapa anak buahnya keluar dari halaman sanggar. Terdengar pintu pagar yang ditendang keras oleh Ahmad Sentosa sebelum ia keluar dari halaman sanggar.

"Die… Die…" panggil Yuni Mariany setelah ia merasa dirinya berada di atas angin sekarang, "Terima kan Yenny dan Yenty di tim kalian?"

"Aku… Aku…" kata Erdie Vio juga saling berpandangan dengan kedua saudaranya yang lain.

Akhirnya, Erwie Vincent yang mencairkan kekakuan tersebut.

"Oke deh kalau begitu… Yenny dan Yenty akan menjalani training dulu di musik naga dan barongsai selama tiga bulan. Jika lulus, tentu saja akan seperti Yuni, kami terima masuk ke dalam tim Solidaritas Abadi ini. Jika tidak lulus, mmm… sorry and really really sorry, kami tidak bisa terima," kata Erwie Vincent dengan senyuman santai nan penuh kelembutannya. "Begitu saja ya…"

"Ya… Aku setuju dengan Wie Wie… Begitu saja… Jalani training saja dulu. Kita sama-sama lihat saja perkembangan kemampuan kalian selama tiga bulan ke depan. Oke…?" kata Erick Vildy akhirnya bisa bernapas lega.

"Oke… Aku juga setuju dengan ide Wie Wie… Dilatih saja dulu selama tiga bulan ke depan. Nanti baru lihat bagaimana," kata Erdie Vio juga bernapas lega.

"Kami pasti bisa lulus. Jangan ragukan kemampuan kami. Iya kan, Yenty?" kata Yenny Mariana kegirangan ke arah Yenty Marlina.

Yenty Marlina hanya mengangguk penuh semangat kali ini. Lima T saling bertukar pandang penuh arti. Tiga Y saling bertepuk tangan dengan riang gembira satu sama lain. Dewa Perak melirik ke tiga pujaan hati 3E sebentar. Tampak raut wajah ketiganya sangat tidak sedap dipandang mata.

Detik-detik berikutnya dilalui dengan perkenalan diri antara 3E, tiga kekasih mereka, 5T, 3Y, dan beberapa anggota lain yang datang agak terlambat malam itu. Setelah sesi perkenalan diri selesai, dilanjutkan dengan latihan gerakan-gerakan dasar dalam atraksi naga dan rumus-rumus dasar dalam musik pengiringnya, langsung di bawah bimbingan 3E.

Tampak tiga kekasih pujaan hati 3E yang acuh tak acuh mengajari 3Y malam itu. Namun demikian, 3Y tetap tampak penuh semangat dan seakan-akan tampak mengabaikan suasana hati sang tiga pujaan hati 3E yang kurang baik malam itu.

Jadi ini kekasih Erick…? Hmm… Apakah dia bisa mengalahkan aku yang merupakan seorang putri pengusaha keramik terbesar di kota ini? Aduh, tolong tolong ya… Bahkan penampilannya itu biasa-biasa saja… Seandainya Erick bertemu denganku dulu, bisa kupastikan si Melisa ini takkan kebagian jatah. Namun, semuanya belum terlambat… Semuanya belum terlambat bagiku untuk memisahkan Melisa ini dari Erick dan aku bisa mendapatkan Erick… Keyakinan menyeruak ke dalam pucuk pikiran Yenny Mariana.

Kekuatan penuh sudah ada di pihakku sekarang, Sabrina. Sudah kubilang bukan? Nasib baik sungguh-sungguh berpihak padaku malam ini. Dengan adanya Yenny dan Yenty di sampingku, kepercayaan diriku terbit sudah. Aku yakin dalam waktu dekat kau akan segera berpisah dengan Erdieku. Hahahah… Tampak sebersit senyuman menghiasi sudut bibir Yuni Mariany.

Oh, Buddha… Jadi Erwie sudah memiliki kekasih? Astaganaga, Buddha… Kenapa aku harus bertemu dengan Erwie lebih lambat dari Julia Dewi ini? Kenapa, Buddha? Tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku… Aku… Aku menyukai Erwie. Aku menyukainya. Apa pun caranya, aku harus mendapatkannya. Segenap riak-riak cinta mulai menggelimuni rangkup batin Yenty Marlina.

***

Latihan berakhir pada pukul 10 malam. Semuanya sudah bersiap-siap pulang. Tapi, 3E memang berencana tidak pulang malam itu dan mereka bertiga akan menginap di sanggar.

"Sudah mau pulang, Mel?" tanya Erick Vildy kepada sang pujaan hatinya.

"Kau kan tidak pulang…" balas Melisa Rayadi sedikit ketus.

Terhenyak sedikit, akhirnya Erick Vildy sedikit menyadari kecemburuan Melisa Rayadi malam itu.

"Pulang sekarang, Jul?" tanya Erwie Vincent kepada sang pujaan hatinya.

"Tidak usah repot-repot. Aku kan menginap di rumah Melisa. Kemungkinan aku, Melisa, dan Sabrina akan pulang sama-sama malam ini," kata Julia Dewi datar, tanpa emosi.

Erwie Vincent menepuk jidatnya sebentar. Sepertinya semenjak diterimanya 3Y ke dalam sanggar Solidaritas Abadi, ada yang salah dengan tiga kekasih jiwa 3E ini. Erwie Vincent detik itu baru menyadarinya.

"Yuk, pulang, Rin… Aku antar kau pulang dulu," kata Erdie Vio dengan senyumannya yang penuh semangat dan keceriaan.

Namun, keceriaan tersebut langsung sirna tatkala Sabrina Marcelina menjawab, "Tidak usah repot-repot. Tadi aku datang dengan Melisa, pulangnya aku juga dengan Melisa dan kali ini ada Julia Dewi yang bakalan menemani kami berdua."

Erdie Vio menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Tidak mungkin dong Sabrina bisa cemburu hanya gara-gara kemunculan 3Y di sanggar Solidaritas Abadi. Tapi, perasaan dan pikiran wanita memang penuh misteri. Erdie Vio mulai merasa kebingungan.

"Die… Die…" kata Yuni Mariany mulai memelas di samping Erdie Vio. "Kakiku masih sakit. Rumahku dekat saja sini. Antar aku pulang sebentar bisa kan, Die?"

"Hah…? Hah…? Aku… Aku…" Erdie Vio tampak kehabisan kata-kata, apalagi disadarinya Sabrina Marcelina sedang mendelik ke arahnya dengan tatapan tajam.

Rupanya Yenny Mariana juga memelas permintaan yang sama kepada Erick Vildy.

"Bukankah… Bukankah… Bukankah rumahmu dekat saja sini dan tadi kau bilang keluarga kalian ada sopirnya?" Erick Vildy mulai terbata-bata karena disadarinya Melisa sedang menatapnya dengan penuh arti dari jarak yang hanya beberapa meter.

"Tadi Papa telepon katanya sopirnya sudah minta pulang sejak satu jam yang lalu, Rick. Tadi Papa juga mengomel-ngomel di telepon kenapa malam ini bisa latihan sampai selarut ini. Aku bilang karena sudah mau dekat dengan hari pementasan dan banyak yang belum bisa. Kalau ada yang mengantarku pulang, setidaknya Papa bisa percaya aku pulang larut malam karena aku benar-benar latihan di sanggar. Iya nggak, Rick? Tolong dong, Rick… Sekali ini saja…" kata Yenny Mariana terus menggoncang-goncangkan lengan sang pangeran tampannya.

Sudah tampak Sabrina Marcelina dan Melisa Rayadi langsung keluar dari bangunan sanggar dengan kesal. Terdengar bunyi pintu yang dibanting dengan keras di belakang punggung mereka. Erdie Vio dan Erick Vildy hendak menyusul kedua kekasih mereka, ketika mereka mendengar lagi,

"Aduh! Aduh! Kakiku sakit sekali! Entah bisa infeksi nggak ya…" kata Yuni Mariany mulai merintih kesakitan.

"Aduh! Sudah jam 10 lewat lagi. Mana aku tidak pernah pulang selarut ini lagi. Papa pasti marah besar kalau aku pulang sendirian selarut ini…" kata Yenny Mariana sembari menggigit bibirnya.

"Jov… Jovan… Apa kau bisa…" kata Erwie Vincent berusaha menghindari situasi yang tidak menyenangkan itu dengan mengajak Dewa Perak bicara.

"Wie… Wie…" panggil Yenty Marlina dan serta-merta Erwie Vincent pun terkesiap di tempatnya. "Sudah larut malam, dan tadi Mama sudah telepon dan tanya kenapa sampai selarut ini belum pulang. Aku bilang aku sudah on the way. Bisa… Bisa… Bisa tolong antar aku pulang tidak?"

Yenty Marlina tampak tersenyum hangat nan lemah lembut.

"Aku semobil dengan Erick tadi. Aku… Aku tidak bawa mobil sendiri…" kata Erwie Vincent tergagap-gagap.

"Tidak apa-apa… Sepertinya Erick juga mau mengantar Yenny pulang. Jadi, aku, Yenny, Erick dan kamu kan bisa semobil. Turunkan Yenny dulu, baru habis itu turunkan aku. Rumahku dan rumah Yenny sama-sama di Kompleks Jati Mas kok… Beda blok saja…" kata Yenty Marlina tersenyum penuh kelembutan lagi.

"Tapi… Tapi… Tapi aku… aku…" Erwie Vincent tak kuasa menyelesaikan kalimatnya. Tampak Julia Dewi yang sudah langsung keluar dan membanting pintu dengan kesal di belakang punggungnya.

Erwie Vincent menepuk jidatnya sekali lagi. Dewa Perak mengulum senyumannya. Tampak jelas 3E sangat lemah di hadapan wanita-wanita cantik, baik yang sudah menjadi kekasih mereka maupun yang jelas-jelas sedang mengejar dan berusaha mendapatkan perhatian mereka. Sama dengan dirinya kalau begitu. Dewa Perak masih ingat ketika ada begitu banyak dewi yang berusaha mengejar-ngejar dirinya dan berusaha mendapatkan perhatiannya. Dia masih ingat ketika ada banyak dewi yang patah hati begitu ia menjatuhkan pilihannya pada Dewi Ruby.

Tiga E saling berpandangan sesaat. Ketiganya sama-sama mengangguk karena dalam situasi seperti itu, mereka bertiga tidak ada pilihan lain lagi selain mengantar 3Y pulang ke rumah masing-masing.

"Die... Kau naik mobil saja dengan Rick… Kan Yenny dan Yuni tinggal serumah. Kau pinjamkan aku sepeda motormu untuk mengantar Yenty pulang. Begitu saja deh…" kata Erwie Vincent.

Erick Vildy mengangguk, "Oke…"

Erdie Vio melemparkan kunci sepeda motornya ke Erwie Vincent. Erwie Vincent mengambil jaket dan helm adiknya yang berwarna hijau.

"Jangan kunci pintu dulu ya, Jov. Setengah jam lagi kami balik. Malam ini kami bertiga akan menginap di sini," kata Erwie Vincent ke Dewa Perak.

Dewa Perak mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya kepada 3E dengan penuh arti.

Tiga E mendengus dan menghela napas panjang. Tak lama kemudian, sudah terdengar deru mesin mobil dan sepeda motor meninggalkan halaman sanggar.

***

"Ini tidak bisa dibiarkan!" jerit Melisa ketika Grab yang mereka tumpangi sudah melaju meninggalkan sanggar Solidaritas Abadi.

"Apakah dulu ketika mereka sama-sama berpacaran dengan Stella Kuangdinata, perangai mereka juga seperti itu?" tanya Julia Dewi.

"Begitulah, Jul…" kata Sabrina Marcelina menghela napas panjang, "Kelemahan mereka adalah tidak bisa menolak permintaan tolong anak kecil dan wanita cantik. Karena kelemahan mereka itulah, dulu mereka bisa sama-sama terjerat ke dalam genggaman tangan Stella Kuangdinata."

"Begitu ya… Memang tampak Yenty Marlina itu agresif sekali, meski cara bicaranya santai nan lemah lembut. Tentu saja aku takkan kalah dengannya. Jika ia memang menginginkan perang, aku akan meladeninya…" kata Julia Dewi dengan kesal sembari meninju jok mobil yang didudukinya.

"Aku juga takkan tinggal diam melihat Erick jatuh ke dalam perangkap Yenny Mariana itu. Jelas-jelas ada yang tidak beres nih… Begitu melihat kepulangan 3E ke Solidaritas Abadi, muncul lagi 3Y yang keluar dari tim Gagak Hitam itu dan masuk ke tim Solidaritas Abadi. Aku curiga jangan-jangan 3Y ini sama dengan Stella Kuangdinata dulu yang dimanfaatkan hanya untuk mengadu domba 3E dan memecah belah mereka," kata Melisa Rayadi dengan napasnya yang memburu.

"Iya… Aku juga merasa ada yang tidak beres di sini, Mel, Jul… Terlalu kebetulan deh aku rasa… Pasti ada apa-apanya di balik masuknya 2Y itu ke dalam sanggar Solidaritas Abadi kita. Jangan-jangan sepak terjang mereka jauh lebih mengerikan daripada Stella Kuangdinata dulu."

"Jangan khawatir, Friends…" kata Julia Dewi dengan sebersit senyumannya yang penuh arti. "Kali ini ada Julia Dewi Sofia Luvin. Tentu saja aku takkan tinggal diam membiarkan Erwieku terjun bebas ke dalam jebakan si Yenty itu. Tidak akan…"

Ketiga-tiganya sudah terdiam di tempat masing-masing tatkala Grab dengan bebas melaju di jalanan malam hari yang sudah mulai sepi.

***

Setengah jam sudah berlalu. Akhirnya 3E kembali ke sanggar.

"Gara-gara kehadiran 3Y ini, Melisa jadi uring-uringan dan tidak mau balas chat- ku sampai sekarang, Wie, Die…" kata Erick Vildy sedikit menggerutu.

Mereka tiba di depan kamar mereka di lantai tiga. Pintu dibuka dan tampaklah sebuah kamar yang bersih dan luas.

"Wah! Mama memang terbaik sedunia. Begitu kita bilang mau menginap di sanggar malam ini, kamar ini langsung bersih. Pakaian tidur dan segala perlengkapan mandi juga sudah disiapkan. Mama is the best deh…" kata Erdie Vio mengambil pakaian tidurnya yang berwarna hijau dan membolak-balikkannya.

"Jangankan Melisa, bahkan Juliaku juga belum balas chat- ku sampai sekarang, Rick. Bagaimana dengan Sabrinamu, Die?" tanya Erwie Vincent kepada saudara bungsunya.

"Sama…" kata Erdie Vio menghela napas panjang. "Sebenarnya aku merasa 3Y itu berusaha mendekati kita hanya karena mereka merasa kagum terhadap kita. Bukannya menyombongkan diri atau apa, Rick, Wie… Dalam dunia seni atraksi naga dan barongsai, nama kita sudah terdengar di mana-mana. Jadi, bisa saja ketiga gadis itu mendekati kita karena mereka itu hanya penasaran 3E yang selama ini mereka lihat di televisi dan majalah, dalam kehidupan nyata, karakter dan kepribadian mereka yang sebenarnya itu seperti apa. Iya kan?"

"Bisa jadi…" kata Erwie Vincent mangut-mangut dan duduk di tempat tidur, di samping saudara bungsunya. "Jika kita pelan-pelan menjelaskan kepada 3Y bahwasanya kita ini sudah punya calon istri masing-masing, aku rasa mereka akan mengerti. Iya nggak?"

"Mudah-mudahan saja, Wie, Die…" kata Erick Vildy masih sangsi. "Pasalnya mereka itu begitu agresif, bahkan lebih mengerikan daripada perangai dan kepribadian Stella Kuangdinata dulu. Apa kalian tidak merasa ini terlalu kebetulan? Begitu kita balik ke Solidaritas Abadi, ada Yuni Mariany yang kenal dengan orang-orang Gagak Hitam, ada juga Yenny Mariana dan Yenty Marlina yang mendadak keluar dari tim Gagak Hitam dan masuk ke tim kita. Apakah 3Y ini bisa seperti Stella Kuangdinata dulu yang ditugaskan untuk mengadu domba kita bertiga lagi?"

"Mmm… Itu kemungkinan kedua, Rick, Wie…" kata Erdie Vio mangut-mangut.

"Sebenarnya tadi aku sempat berpikir ke sana. Namun, karena ini baru hari pertama mereka bergabung dan mereka tidak menunjukkan sikap-sikap yang mencurigakan, aku abaikan saja. Tunggu sampai beberapa waktu ke depan dan lihat perkembangan mereka itu seperti apa."

"Makanya tadi kau bilang mereka harus training tiga bulan dulu kan, Wie?" tanya Erick Vildy dengan sebersit senyuman lebarnya.

"Begitulah… Lihat dulu sampai tiga bulan ke depan. Selama tiga bulan ini, pelan-pelan jelaskan ke mereka bahwasanya kita ini sudah ada calon istri masing-masing. Aku rasa sedikit banyak mereka bisa mengerti deh…" ujar Erwie Vincent.

"Huh! Memusingkan!" gerutu Erick Vildy.

"Tapi tidak lebih memusingkan daripada perkara Stella Kuangdinata dulu deh, Rick…" tukas Erdie Vio mulai mengerutkan dahinya.

"Ya, Die Die benar, Rick. Bayangkan sampai sekarang kita tidak tahu siapa yang telah membunuhnya dan meninggalkan mayatnya di lantai dua bangunan sanggar kita ini," kata Erwie Vincent juga mengerutkan dahinya. "Tapi, menilik sampai dengan situasi yang sekarang, aku rasa yang paling mungkin menempati posisi sebagai pembunuh hanya satu orang. Apakah kalian sependapat denganku?"

Tiga E saling berpandang-pandangan dan akhirnya mereka mengucapkan nama itu secara serempak, "Rendy Ibrahim!"

"Betul! Aku juga berpikir ke dia," kata Erick Vildy. "Jelas Aldo Morales yang kau bilang sangat mencintai Stella tidak mungkin menghabisi wanita yang sangat ia cintai. Ia bahkan menumpahkan semua dendamnya ke kita karena mengira kitalah yang telah membunuh Stella."

"Tapi…" Erdie Vio masih tampak mengerutkan dahinya. "Coba pikirkan baik-baik lagi, Rick, Wie… Rendy Ibrahim hanya bersaing dengan kita dalam dunia seni atraksi naga dan barongsai ini. Aku rasa… Aku rasa… Bagaimana ya? Perlukah ia menggunakan nyawa seseorang untuk menghancurkan kita hanya gara-gara sebuah persaingan yang katakanlah kurang berarti ini? Ini bukan persaingan dalam bisnis yang melibatkan uang dan kekayaan dalam jumlah besar. Ini hanya persaingan antarsanggar seni barongsai dan naga yang tidak seberapa. Rendy Ibrahim adalah orang yang cerdik dan awas. Aku rasa ia takkan mungkin sampai menggunakan nyawa seseorang untuk tujuan yang kecil nan tak berarti seperti ini, Rick, Wie… Iya nggak?"

"Jadi, menurutmu adalah… Masih adakah motif lain yang jauh lebih besar daripada hanya sekadar persaingan antarsanggar naga dan barongsai?" tanya Erick Vildy juga tampak mengerutkan dahinya kali ini.

"Ya, Rick, Wie…" ujar Erdie Vio mengangguk mantap. "Aku yakin ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada hanya sekadar persaingan antarsanggar naga dan barongsai. Bayangkan saja… Mereka juga memiliki sebentuk kekuatan aneh nan misterius seperti kita."

"Hanya saja, kekuatan mereka itu berwarna hitam pekat. Sampai sekarang saja kita belum paham betul dari mana asal mula dan apa sesungguhnya tiga sinar kekuatan yang ada pada diri kita," kata Erwie Vincent santai sembari merapatkan bibirnya.

Tiga E terdiam dan tidak terdengar bicara apa-apa lagi. Dewa Perak yang sejak tadi berdiri di depan pintu mereka, tidak mendengar percakapan apa-apa lagi di dalam kamar mereka. Mungkin mereka sudah kelelahan dan langsung terlelap.

Rendy Ibrahim dan Aldo Morales dari tim Gagak Hitam… Mereka juga memiliki sebentuk kekuatan aneh nan misterius yang berwarna hitam pekat. Ini mulai rumit. Jangan-jangan Siluman Batu Hitam sudah tahu di mana Dewi Ruby memasukkan tiga bintang kemujuran. Aku harus berjaga-jaga mulai dari sekarang. Jangan sampai Siluman Batu Hitam menemukan dan menyerang 3E. Jangan sampai…

Segenap kegelisahan mulai menggeligit di pesisir sanubari Dewa Perak.