18 Tunangan Tak Berakhlak (1)

"Olahraga hari ini ngapain, Val?" tanya Angela pada Valdy keesokan harinya saat ia telah masuk ke mobil tunangannya itu.

"Lihat aja nanti." Valdy menyahut singkat.

"Jangan yang susah-susah. Aku nggak mau pingsan lagi. Malu."

"Kok ngatur? Yang guru aku atau kamu?"

"Usul doang! Sensi amat sih?"

"Lain kali," Valdy berkata dengan nada yang lebih tajam, "jangan mesum lagi di ruang kesehatan."

"Eh??"

"Untung Bu Alma nggak melihat kelakuan kalian kemarin."

"Gue sama Roni nggak ngapa-ngapain!" Angela berseru kesal.

"Tetap saja, mesra-mesraan di ruang tertutup, di sekolah pula." Valdy berdecak. "Jangan diulangi lagi, La." Valdy lalu diam sejenak sebelum melanjutkan, tanpa menoleh sama sekali. "Aku ngomong sebagai gurumu, bukan tunanganmu."

"Kita nggak pacaran kok." Jantung Angela mulai bertingkah lagi di dadanya. "Temenan doang."

Memang benar. Roni tak mengajaknya jadian, atau bilang cinta sama sekali. Lelaki itu hanya berkata soal 'lanjut', membuat Angela harus berpikir keras mengenai maksudnya. Ia malu menanyai Roni lebih detail, takut melambungkan harapan terlalu tinggi, dan ujung-ujungnya lelaki itu akan meninggalkannya seperti Andrei. Jika selevel Karina saja ditolak mentah-mentah, apa kabarnya dengan Angela yang cupu luar dalam? Asli, kesempatan untuknya hanya seujung kuku kelingking kaki. Kecil.

Dia tak tahu sejak kapan mulai ada rasa pada Roni. Mungkin karena ia merasa begitu terlindungi, suka diperhatikan oleh si cowok tertampan di angkatan mereka itu belakangan ini. Selama 2 tahun sekelas dengannya, belum ada satu gadis pun yang mendapat keistimewaan itu. Walaupun sudah dengan susah payah meredam rasa ge-er, tetap saja, ada rasa hangat yang menyelimuti saat berdekatan dengan Roni. Yang hanya berhasil dikacaukan oleh penampakan Andrei dan tingkahnya yang tak henti mencoba membuat Angela baper.

Tapi Angela sudah menyerah soal Andrei. Kecemburuan yang dulu berkobar kini hanya menyisakan kerlip redup yang bisa saja padam sewaktu-waktu. Semua karena Roni.

"Tunggu." Angela mengernyit, menatap belakang kepala Valdy. Sementara Valdy memandangnya melalui spion. "Jadi kemarin itu kamu ngintipin kita berdua?"

"Aku mau melihat kondisimu. Kebetulan aja momennya pas."

"Jadi, kamu mencemaskanku?"

"Heh! Nggak usah ge-er!" Valdy mendadak galak, membuat Angela terlonjak di kursinya. "Kalau kamu kenapa-kenapa, mau nggak mau aku juga yang kena masalah. Puas?"

"Galak amat." Angela menggerutu kesal.

Mereka tak bicara lagi sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi sampai di dekat sekolah. Valdy menepikan mobil di bawah pohon sejauh 100 meter sebelum gerbang. Udara pagi terasa lebih dingin dibanding biasanya dan kabut menggantung rendah di atas tanah. Beberapa siswa berjalan tergesa di trotoar untuk menuju sekolah. Sebuah bis berhenti di halte yang tak jauh, menurunkan beberapa siswa yang menjadi penumpangnya. Angela celingukan menunggu suasana sepi, lalu secepat kilat keluar dari mobil. Ia mendesah gusar saat resleting tas ranselnya yang separuh tertutup kini terbuka dan menumpahkan sebagian isinya di pintu mobil.

"Siaallll…" Ia lalu membungkuk dan memunguti buku-bukunya dengan blingsatan. Valdy berdecak tak sabar melihat kecerobohannya.

"Yang cepat, La."

"Sabar, Om!"

Angela lalu menjejalkan buku secara asal saja dan menutup kembali resleting tas. Sambil menyampirkan tas di bahu, ia menutup pintu mobil dan berjalan cepat ke arah sekolah. Valdy mengawasi sekitarnya dengan lega, tak ada saksi mata yang melihat Angela turun dari mobilnya. Ia hendak melajukan mobil ke arah sekolah saat melihat benda berwarna pink di kolong jok belakang. Ia mengulurkan tangan dan mengambilnya. Dompet, lengkap dengan kartu identitas dan sejumlah uang di dalamnya. Angela sudah jauh, tak mungkin untuk memanggilnya lagi.

"Dasar ceroboh!"

***

Berdiri di barisan tengah untuk stretching usai pemanasan yang lebih ringan dari minggu lalu, Angela melotot sengit pada Valdy yang tengah bicara di depan barisan. Lelaki itu tengah mengumumkan olahraga yang akan mereka lakukan hari ini. SIT UP, sebanyak mungkin, dalam durasi 1 menit. Mereka diminta berlatih selama jam pelajaran pertama, lalu di jam pelajaran kedua akan langsung dites dan dinilai. Angela tanpa sadar membelai perutnya yang rata, dengan ngeri membayangkan separah apa nanti sakit perut dan pinggangnya usai siksaan kali ini.

"Berpasangan! Sesuai nomor absen!" Valdy berseru. "Ayo, cari pasangan kalian!"

Angela masih berdiri kaku di tempat, membelalak pada Valdy. Yang lain sudah bergerak membubarkan diri dan dia berjalan maju untuk menghampiri Valdy, murka luar biasa.

"Ada apa, Angela?" tanya Valdy saat Angela telah berdiri di depannya. "Mau protes apa lagi?" tanyanya dengan suara lebih rendah.

"Aku nggak mau pakai nomor absen!" Angela berbisik sengit di depannya, melirik ke kiri kanannya.

Valdy mengerutkan kening, membuka daftar nilai di tangannya, lalu mencari nama Angela.

"Angela, nomor absen 6. Kamu pasangan sama Andrei, absen 5." Valdy menutupnya kembali, terlihat penasaran. "Masalahnya dimana?"

"Masalahnya aku nggak mau pasangan sama dia!" Angela mendesis.

Valdy ber-OOoo tanpa suara, memandang ke belakang tubuh Angela. Angela ikut menoleh, melihat Andrei berdiri tak jauh, menunggunya.

"Ada hubungannya dengan drama kalian yang kapan hari itu?" tanya Valdy jemu. "Kamu mau melawan perintah gurumu?"

Cih! Sikap arogannya datang lagi!

"Anggap saja begitu. Please!"

Valdy menepuk pundak Angela dengan wajah penuh simpati.

"Nggak." Ia lalu berkata tegas, melenyapkan percik harapan yang sempat muncul. "Permintaan konyol. Hadapi saja. Cinta memang menyakitkan Angela."

HEIIIIIIII…

"Pak, saya nggak kebagian pasangan!" Karina tiba-tiba berseru dan berjalan mendekat. "Jumlah kami di IPA 2 ganjil soalnya."

"Gue nggak mau sama Karina juga!" Angela berbisik sebelum Karina makin dekat.

"Ya ampun, La!" Valdy menunduk menatapnya, terlihat geregetan. "Maumu apa sebenarnya? Sama Andrei saja, sana!"

"Dan kamu sama Karina? WOW! Terang-terangan banget kalian!"

"HEI!"

Suasana kontan hening mendengar seruan Valdy. Semua kepala menoleh untuk menatap ke arahnya. Angela menekap mulutnya sendiri dan berpaling, nyaris tertawa melihat Valdy yang kehilangan kesabaran.

Valdy berdeham, melirik sengit pada Angela.

"Andrei, silakan berpasangan dengan Karina." Ia memerintahkan, menimbulkan kegusaran di wajah Karina yang jelas merasa kesempatannya berdekatan secara sah dengan Valdy lenyap. Karina melempar pandang murka pada Angela yang memasang wajah kalem, dan berlalu bersama Andrei.

"Dan Angela, jangan pikir kamu akan selamat kali ini." Valdy menggeram pada Angela.

Lima belas menit kemudian, Valdy membuktikan ancamannya. Sementara Angela berlatih sit up, Valdy berlutut sambil memegangi kedua kakinya erat-erat, menghitung durasi satu menit. Angela hanya mampu melakukannya sebanyak kurang dari sepuluh kali. Itupun berakhir dengan terkapar di atas rumput usai melakukannya.

"Tunggu bel pergantian jam, setelah itu semuanya siap-siap!" Valdy berseru, melirik Angela dengan sinis. "Berapa kali kalian berhasil sit up?"

"20!"

"25!"

"30!"

"35!"

"55!"

Angela hanya ternganga, lalu memejamkan mata dengan muak. Ia mendengar dengus sinis Valdy dan secara refleks menendangkan satu kakinya yang masih dipegangi gurunya itu.

"Siap-siap remedial, La." Angela menggeleng panik, bangkit dari posisinya dan menyandarkan kepala di lututnya. Otot perutnya mulai terasa kaku, membuatnya meringis pelan. "Ayo, latihan lagi!" Angela mendongakkan kepala. Valdy memamerkan seringai licik yang entah kenapa membuat wajah tampannya makin bertambah memesona.

Untung gue nggak naksir lo, pikir Angela.

"Jangan mulai halu." Valdy menegurnya. "Ayo. Satu menit. Kali ini harus tembus 20."

"Kejam."

Angela mengutuk pelan, lalu meletakkan tangan di kedua sisi kepala. Ia menghembuskan napas panjang, mengangguk pada Valdy yang memegang stopwatch. Valdy menyerukan aba-aba bersiap pada yang lainnya, lalu menghitung waktunya. Angela meringis saat ia menurunkan tubuh, lalu bangkit lagi. Otot-otot perutnya seperti menjerit protes. Valdy masih menyeringai geli di depannya, membuatnya makin geram.

Valdy lalu membungkuk ke arahnya, membuat Angela kaget, nyaris saja wajah mereka bersentuhan saking dekatnya jaraknya. Kedua kakinya masih dipegangi erat oleh satu lengan Valdy yang melingkar di betisnya.

"Rugi galak-galak, La. Masa sit up saja bisa kalah sama yang lain?"

Aduhh… Kenapa manusia sejenis ini harus tercipta, Semesta??

"Jangan tendang lagi atau langsung masuk list remedial. Mau?" Valdy menahan kuat-kuat kaki Angela yang bergerak. "Lihat Karina. Perfect. Nggak letoy kayak kamu, La."

Valdy lalu melirik stopwatch dan berseru, "SELESAI!"

Angela yang terbaring di tanah bisa mendengar desah lega teman sekelasnya. Valdy masih menumpukan satu lengannya yang memegang stopwatch di lutut Angela, meminta semuanya bersiap untuk penilaian. Ia lalu berpaling pada Angela.

"Bisa bangun?" tanyanya dengan nada mengejek.

Angela bangkit dengan cepat, tak berusaha menghindar saat dahinya menghantam hidung mancung Valdy di depannya.

"AH!" Valdy berseru, spontan melepas pegangannya di kaki Angela. Dahi Angela seketika berdenyut sakit, sementara Valdy buru-buru bangkit sambil memegangi hidungnya yang memerah, terlihat luar biasa berang.

"Maaf, Pak. Nggak sengaja." Angela berkata sambil ikut berdiri. "Sakit? Apa sakit banget?" Angela berbisik padanya.

"Angelaaaa…." Valdy menggeram rendah. "Kita selesaikan ini nanti. Di remedial dan di luar sekolah." Valdy berlalu dari hadapannya dengan gusar.

***

avataravatar
Next chapter