6 Tanpa Karina, Tanpa Andrei

Angela sudah menuliskan ulang di jurnal 365 harinya tantangan 1 dan 2 yang hendak diambilnya, yaitu hidup tanpa Karina dan juga Andrei. Yang tanpa Karina bukan perkara sulit, yang tanpa Andrei luar biasa sulitnya. Sulit dan menyakitkan.

Sejak kemarin, Andrei mendiamkannya, tak menyapa atau bicara sama sekali dengan Angela. Jika biasanya Angela sedikit-sedikit minta bantuannya di kelas, kali ini ia memilih berbalik badan di kursinya untuk minta bantuan Roni atau Wawan yang duduk di belakangnya. Dua cowok itu tak banyak bertanya dan menjadi teman mengobrol baru untuk Angela sepanjang jam kosong Bahasa.

"Lo lagi musuhan sama Karina?" tanya Roni, yang kembali muncul di bahu Angela yang tengah bersandar di kursinya, membuat Angela yang tengah menarik lengan kemejanya yang kepanjangan, tersentak kaget.

"Ron! Masih aja suka ngagetin!" Angela menoyor kepalanya hingga Roni duduk kembali di kursinya.

Angela memutar tubuh, menghindari tatapan Andrei, masih menarik lengan bajunya yang hampir mencapai siku. Udara yang gerah membuatnya tak tahan, ditambah baju seragamnya yang berukuran cukup besar dan longgar, rasanya sangat tak nyaman di tubuhnya. Belum lagi roknya yang panjang di bawah lutut. Pakaiannya yang selalu kebesaran telah membuatnya dicap sebagai 'cupu' di sekolah. Ia tak menyukainya, memilih penampilan ini karena malas mendengar sindiran Karina soal baju ketat yang tak pantas untuknya, yang terkesan murahan. Angela telah berpikir untuk menjadikan pakaian seragamnya sebagai tantangan berikutnya.

"Benar kan? Sahabat lo itu sudah menjelek-jelekkan lo ke semua orang sejak pagi." Roni berdecak sinis.

"Biarin ajalah! Gue nggak peduli!"

Angela meraih buku di atas meja Roni dan menggunakannya untuk mengipasi dirinya. Jam kosong masih lama, 45 menit lagi, sementara tugas yang diberikan pada mereka semua sudah selesai dan dikumpulkan oleh Andrei si ketua kelas ke ruang guru 10 menit lalu. Andrei kini duduk di kursinya, sangat dekat dengan posisi Angela, sambil mendengarkan musik melalui earphone.

"Dan kalian berdua, lagi marahan juga?" Wawan ikut nimbrung, melirik Andrei yang tak mengikutkan diri di obrolan mereka. Wawan melemparinya dengan stipo, membuat Andrei tersentak dan menoleh.

"Apaan?" tanyanya, melirik Angela sekilas, lalu memandang sengit dua lelaki lainnya di belakang.

"Kantin, Rei! Yuk!" Roni merebut bukunya dari Angela. "Ikut yuk, La."

"Nggak ah!" Angela menggeleng. "Gue nitip beli minum aja deh." Angela mengambil uang dari saku roknya, masih menghindari tatapan Andrei. "Teh botol ya." Ia membelalak saat Roni menggeleng. "Ya udah, nggak jadi."

"Ikut aja kenapa? Nggak bosen lo di kelas?"

"Udahlah." Angela mengangkat bahu dan berbalik kembali. "Nanti malu-maluin kalian." Ia mengucapkan kalimat terakhir dalam bisikan sehingga hanya dirinya yang mendengarnya. Jalan dengan 3 cowok terkeren di kelas? Dia tak sepede itu. Ujung-ujungnya nanti ketiganya akan sibuk nongkrongin cewek lain dan dia ditinggal sendirian. Lebih memalukan lagi. Lebih enak jalan sendiri saja.

Suasana kelas tak begitu ramai. Karina tengah mengobrol dengan Inna, sementara Nikki dan Elena sibuk dengan ponsel masing-masing serta earphone. Sisa teman sekelasnya telah kabur ke kantin atau nongkrong entah dimana. Angela mengambil kartu perpustakaan dari tas serta ponsel, lalu bangkit.

"Nah, gitu dong!" Wawan berseru antusias. "Yuk kantin."

"Tapi gue mau ke perpus."

"Udahhh… Lo banyak alasan, La." Roni mendorong bahunya dengan kedua tangannya di sepanjang gang menuju ke depan kelas, memaksanya melangkah. "Buruan, Rei! Tumben lo sok alim banget!"

"Ron! Gue…"

"Santai aja kenapa, La?" Roni berbisik di telinganya. Napasnya menderu di telinga Angela. Tangannya masih mencekal bahu Angela, mendorongnya berjalan ke luar kelas.

"Jalan sama gue nanti bikin pasaran lo turun." Angela berdesis di telinganya, membuat Roni menghentikan langkah dan menatapnya. Angela berubah gugup seketika saat menyadari wajah mereka begitu dekat, dan ia cepat-cepat berpaling.

"Buruan, Wan. Seret Andrei tuh! Ngeselin banget!" Roni memilih berseru pada dua yang lainnya.

Angela menepiskan tangan yang masih bertengger di bahunya. Ia sudah mencapai pintu saat lagi-lagi Roni berhasil menangkapnya, kali ini merangkul bahunya dan menyeretnya bersamanya. Angela menoleh ke belakang, melihat Andrei tengah menatapnya tajam.

"Tahu nggak?" Roni berkata saat mereka telah jauh dari kelas. Angela mendongak memandangnya, menunggu kelanjutan kalimatnya. Roni menunduk dan berbisik di telinganya. "Tahu nggak kalo elo dan Andrei adalah dua orang terbodoh yang pernah gue kenal?"

"Maksudnya?"

"Saling suka tapi nggak berani bilang. Bego kan?"

"Dia nggak suka…"

"Tuh kan? Bego kan? Payah banget!"

Jantung angela mendadak berdebar tak karuan mendengar ucapan Roni. Masa iya?

"Sudahlah. Dia udah pacaran sama orang lain juga saking begonya. Lo move on aja, La." Roni berkata lebih keras. "Mau gue kenalin ke cowok lain? Temen gue banyak yang jomblo kok!"

"Ogah! Gue bisa nyari pacar sendiri. Thanks, Ron!" Angela memeletkan lidahnya.

"Kalo butuh bantuan, gue siap, ada banyak stok buat lo."

"Ya ya…akan gue ingat."

Menyebalkan!

***

Suasana kantin sepi. Angela membeli teh botol dingin di salah satu kedai, lalu bergabung dengan tiga temannya di salah satu meja di pojok. Andrei duduk di hadapannya, sekilas meliriknya sebelum sibuk lagi dengan ponselnya. Sikapnya bukan seperti Andrei yang biasanya. Roni dan Wawan sibuk mengobrol berdua dengan heboh, membahas kelanjutan anime yang mereka nonton secara streaming di salah satu platform film streaming.

Pesanan mereka bertiga datang. Angela memilih tak makan siang, kehilangan selera makannya karena Andrei. Ia lalu meraih ponselnya yang bergetar di saku roknya, mendesah kesal melihat pesan dari mamanya.

Angela : Lagi jam kosong, Ma. Ntaran aja sorenya sekalian makan malam.

Mamanya lalu menelepon, menghadiahinya omelan panjang berbumbu nasehat, seperti yang biasa dilakukannya sejak meninggalkan Angela sendirian di rumah mereka. Mama dan papanya mencemaskannya, namun mereka berdua masih belum bisa mengunjunginya karena kondisi papa yang masih diopname untuk pemulihan.

"Ma, nggak apa-apa. Nanti aja. Papa gimana?" Angela berkata pelan agar tiga temannya tak mendengar ucapannya. "Kangen Mama." Ia berbisik saat menyadari Andrei tengah menatapnya. Ia sudah selesai makan. "Ada! Adrian ngeselin banget tahu, Ma. Udah tahu Angela sesibuk apa sekarang, masih aja… Iya, udah. Masih ada, Ma. Nggak perlu ke ATM lagi. Siapa? Andrei?" Angela menekap mulutnya saat tanpa sengaja menyebut nama Andrei, membuat lelaki di hadapannya membelalak dan dengan cepat menuntaskan minum es jeruknya. "Angela udah bilang nggak usah… Bisa sendiri, nggak perlu…" Angela memejamkan mata saat omelan mamanya mencapai nada tertinggi yang melengking. Ia membuka mata lagi saat merasakan ponselnya terenggut dari tangannya. Andrei merebutnya dan dengan cepat bicara dengan Tantri di telepon.

"Tante, ini Andrei. Ya, lagi sama Angela. Kenapa…." Dalam sekejap sorot mata Andrei berubah menusuk, membuat Angela ingin lari saja dari hadapannya. Roni dan Wawan mengawasi mereka berdua dengan penuh minat sambil sibuk menyuap makanan dan mengunyah kerupuk.

"Balikin, Rein!" Angela meminta ponselnya, mengulurkan tangannya. Andrei mencekalnya, kembali menatapnya dengan galak.

"Oke, Tante. Angela sama sekali nggak bilang. Maaf. Iya, nanti Andrei datang kesana. Oke." Ia melepas ponsel dari telinga dan menyerahkannya kembali. "Kenapa, La? Nggak capek lo menghindar terus dari gue? Ini gara-gara Agatha kan?"

Angela tak menjawab, memilih mengambil ponselnya dan bangkit, lalu berjalan menjauh. Ia mendengar Andrei memaki pelan dan ikut bangkit, menyusulnya.

"Rei, jangan kasar, Rei!" Roni berseru. "Lo apa-apain Angela, lo berurusan sama gue!"

Angela berjalan lebih cepat, mengarah ke perpustakaan yang jauh dari kantin. Ia melewati jalan setapak di dekat auditorium yang sepi, malas bertemu siapa-siapa. Langkah kaki di belakangnya makin dekat, lalu lengannya ditarik ke belakang hingga ia berdiri berhadap-hadapan dengan Andrei yang tampak gusar.

"La, gue nggak suka kita begini, La."

"Trus lo maunya gue gimana?" tanya Angela lesu.

"Bersikap kayak dulu, La. Lo…" Andrei menarik tubuhnya mendekat, satu tangannya menyentuh pinggang Angela. Kaki Angela kontan lemas. Andrei belum pernah seperti ini sebelumnya di depannya. "Lo cemburu sama Agatha?"

"Nggak. Jangan ge-er."

"Nggak usah bohong, La."

"Gue nggak bohong, Rein."

"Lalu kenapa lo tiba-tiba menjauh dari gue?"

"Lebih baik begitu kan? Jadi lo nggak perlu bingung memprioritaskan siapa pada akhirnya. Gue tahu diri, Rein. Dan gue baik-baik aja."

Mereka berdua saling membelalak, tak mau kalah.

"Sahabat dan pacar itu beda, La. Gue bisa membedakan. Dan lo, sahabat kesayangan gue, nggak pernah tergantikan."

Angela mendengus geli, ingin menangis di saat bersamaan. Tak tahu harus memilih yang mana. Ia tertawa pelan sembari mencoba menahan air matanya agar tak jatuh di depan Andrei. Enough with this stupidity! Ia muak sekali pada dirinya belakangan ini. Kemana perginya Angela yang cuek dan lebih ceria?

"Terima kasih, Rein. Gue beruntung kalo begitu."

"Jangan pergi dulu." Andrei menahannya yang hendak melepaskan diri.

"Orang-orang bisa salah paham melihat kita kayak gini."

Andrei menghembuskan napas panjang dan melepaskan tangannya dari tubuh Angela.

"Aneh rasanya, La. Sehari tanpa bicara sama lo."

"Anggap saja Agatha pengganti gue, Rein. Dan, gue serius soal ini. Sebaiknya lo nggak usah sama sekali membicarakan soal gue di depan dia. Oke? Gue menjauh dari lo demi kebaikan kita juga." Angela menggigit bibirnya. "Kenapa harus dia sih, Rein? Gue lebih ikhlas lo jadian sama Karina. Sumpah!"

"Menurut lo kenapa gue sampai memilih dia?"

"Mana gue tahu. Duh, jangan berteka-teki deh." Angela mundur satu langkah. "Sudahlah, nggak usah dijawab. Sudah telanjur juga. Yang jelas, jangan bawa-bawa gue dalam hubungan kalian. Satu peringatan gue untuk lo, sahabat gue, Agatha itu nggak seperti yang lo pikirkan. Luar dan dalamnya beda. Gue nggak menjelekkan dia, tapi kenyataannya memang begitu."

"La…"

"Oh, satu lagi. Apapun permintaan mama ke elo, soal menjaga gue, abaikan aja. Gue baik-baik aja selama ini. Jangan merasa bersalah sama mama gue. Hmm…" Angela gelisah sendiri, ingin melanjutkan bicara namun takut Andrei semakin murka padanya. "Rein, kita jalan sendiri-sendiri aja mulai sekarang."

"Apa??" Andrei kembali mencekal pergelangan tangannya hingga Angela meringis ngeri melihat kemarahannya. "Setelah belasan tahun bersahabat, lo memilih ini? Hanya karena gue jadian sama orang lain?"

"Ralat! Karena jalan kita sudah berbeda, Rein."

"Agatha nggak keberatan kalo gue tetep perhatian sama lo!"

"Udah gue bilang, apa yang keluar dari mulutnya beda dengan kenyataannya nanti! Lo lupa siapa Agatha buat gue?" Angela menarik tangannya, namun Andrei tak melepaskannya. "Please! Dia udah menjauhkan gue dari papa kandung gue. Gue kehilangan… Dan sekarang dia mengambil sahabat gue juga. Cuma satu yang gue bisa lakukan, pergi dari hidupnya sejauh mungkin. Artinya, gue juga harus pergi dari hidup lo, Rein! Please!"

Andrei terdiam. Perlahan ia melepaskan tangan Angela. Tanpa menunggu tanggapan Andrei, Angela berlari pergi dari hadapannya tanpa menoleh lagi.

***

avataravatar
Next chapter