8 Insiden Memalukan!

Senin pagi, hujan gerimis turun bersama dengan kabut tebal yang menggantung di atas tanah. Angela bangun dengan ogah-ogahan, sedikit gembira karena upacara bendera tentu saja ditiadakan dalam suasana sesuram ini. Hari masih pagi, belum menginjak pukul 6. Ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan berupa roti dengan mentega dan telur dadar. Usai sarapan ia pergi menengok Moon-Moon yang sedari tadi melolong-lolong di garasi.

"Moon, ini sarapan lo nih." Ia memberikannya semangkok makanan anjing dan air, juga susu. Hari Minggu kemarin Angela mengajaknya jalan-jalan di sekitar rumahnya, sesuai titah Paduka Adrian yang jauh lebih mencemaskan kesehatan mental anjingnya ketimbang adiknya. Biarpun usianya baru 6 bulan, Moon-Moon mampu membuat Angela kepayahan mengendalikan tali kekangnya. Akibatnya, kini ia masih merasakan pegal di beberapa bagian tubuhnya akibat diseret-seret sepanjang jalan selama 1 jam penuh.

"Lo kenapa?" tanya Angela, heran melihat anjingnya gelisah dan menggaruk pintu kandang. Ia lalu membukanya dan membiarkannya keluar untuk buang hajat. Angela menutup pintu ruang tamu dan mengawasi anjing itu masuk ke semak-semak.

Hujan berubah lebih deras. Angela memanggil-manggilnya, dan Moon-Moon muncul berlumuran tanah dari ujung kepala hingga kaki. Anjing itu berlari mendekat dan dengan sigap Angela menangkapnya.

"Duh, ribet banget sih lo, Moon?" Ia lalu membawanya ke arah keran air dan membasuh bulunya yang kotor, mengelapnya sebisanya, lalu kembali memasukkannya ke kandang. Angela lalu masuk kembali ke dalam rumah dan menyiapkan diri untuk berangkat sekolah.

"Lho?"

Ia berdiri dengan kaget saat mendapati kandang anjingnya terbuka dan kosong saat hendak berangkat. Angela mulai panik. Kalimat "Jutaan, La, jutaan…" terngiang di telinganya. Ia memanggil-manggil anjingnya dan mencarinya di sekitar garasi. Tak ada.

"Mooooonnnn….!!"

Terlihat gerakan dari arah semak di dekat gerbang, dan Angela berlari menerobos hujan untuk menangkap monster itu. Moon-Moon mendadak melompat ke arahnya dan mendaratkan dua kaki depannya yang luar biasa kotor di kemeja putih dan rok abu-abu Angela.

"AAAHHH…kotor!"

Tak ada waktu untuk mengeluh. Angela menangkap anjing itu dan membawanya kembali ke arah keran, membilas bulunya hingga bersih lalu mengelapnya dengan handuk. Ia makin panik saat menyadari jam telah menunjukkan pukul 7 pagi. Sementara, pakaiannya penuh lumpur yang tak mungkin dibersihkan dengan cara apapun selain dicuci.

Ia berlari ke kamarnya dan membongkar isi lemari, mencari rok dan kemeja lama yang kini sudah kekecilan. Angela dengan cepat berganti baju, bergidik saat menyadari kuncir ekor keledainya basah dan lembab.

"Sial…sial…"

Ia terpaksa menggerai rambutnya karena tak sempat lagi mengeringkannya. Ia lalu berlari kembali ke lantai bawah, mengunci pintu ruang tamu, lalu berlari-lari menuju gerbang. moon-moon aman di kandangnya yang terkunci rapat. Angela mau tak mau pergi sekolah dengan mobil mama, tak ada waktu lagi memesan ojek online, apalagi naik bis. Belum lagi hujan yang masih turun. Pakaiannya kembali lembab saat ia turun dari mobil untuk mengunci gerbang. Alarmnya berdering nyaring saat ia masuk kembali ke mobil.

"Mati gue…."

Ia terlambat ke sekolah.

***

Angela bukan satu-satunya yang datang terlambat. Hujan telah menyebabkan banjir dan macet di beberapa titik wilayah. Angela memarkirkan mobil di pinggir jalan, lalu melesat ke sekolah. Ia berhenti sebentar di depan gerbang, dengan resah menyaksikan beberapa siswa yang masih membawa tas sekolah berdiri di dalam pos satpam, tengah dicatat namanya dan diinterogasi. Tak ada yang melihat ke arahnya. Jadi, setelah celingukan untuk memastikan situasi aman, Angela berindap-indap masuk melewati gerbang yang sedikit terbuka, lalu melesat di sepanjang halaman depan untuk mencapai kelasnya.

Jam pertama kosong, dari chat yang tadi dikirimkan Andrei padanya. Angela berlari cepat, terpeleset-peleset di sepanjang koridor yang basah, berkali-kali nyaris jatuh terjengkang di lantai. Harusnya ia singgah di ruang guru untuk melapor pada guru piket mengenai keterlambatannya. Namun semasih bisa meloloskan diri, ia tak akan mau mempersulit dirinya, malas kena detensi berupa membersihkan toilet yang jorok. Sedikit lagiiii, ia menjerit dalam hati saat melihat pintu kelasnya di kejauhan.

Roknya yang pendek di atas lutut membantunya berlari lebih cepat. Rambut panjangnya yang terurai, melambai di punggungnya, sementara satu tangannya memegang kuat ransel yang berusaha disembunyikannya di satu sisi tubuhnya. Angela sudah ngos-ngosan berlari sejauh itu dari gerbang. Senyum kemenangan sudah tercetak di bibirnya, namun lenyap seketika saat seseorang mendadak muncul dari arah pintu kelasnya. Angela berusaha mengerem kakinya, namun lantai di bawah kakinya benar-benar licin.

"Kyaaaaaaaa….."

Valdy mendengar teriakannya, menoleh, hanya sempat terkejut sepersekian detik sebelum tubuh Angela menubruknya keras dan mereka berdua jatuh ke belakang.

Angela memejamkan mata, meringis merasakan sakit di bagian depan tubuhnya. Suara ramai bernada cemas dan panik memenuhi telinganya. Ia bergerak sedikit, lalu membuka mata saat tak merasakan lantai yang dingin di bawahnya, melainkan tubuh yang hangat dengan kedua lengan yang kuat memeluk pinggangnya.

Valdy, eh, Pak Valdy!!

"Aduh! Maaf! Maaf, Pak Valdy!"

Angela buru-buru bangkit, menjatuhkan diri ke samping. Wajahnya terasa panas saking malunya. Valdy mengernyit, sepertinya merasa kesakitan juga seperti Angela, lalu bangkit dengan sigap. Ia mengulurkan satu tangan pada Angela dan membantu gadis itu berdiri.

"Kamu ngapain lari-lari di koridor?" Valdy bertanya tajam. "Sudah tahu licin, Angela!" Valdy memeriksa kemeja biru navy-nya, lalu celana panjang hitamnya, menepiskannya dari kotoran yang menempel.

"Maaf, Pak. Saya terlambat masuk kelas." Angela membungkuk di depannya, meminta maaf ala ala drama Korea. "Makanya buru-buru." Angela mengamati raut wajah Valdy dengan takut-takut. "Sakit ya, Pak?"

Valdy mengertakkan gigi dengan jengkel mendengar pertanyaan bodohnya.

"Bayangkan saja, ditabrak sekeras itu, lalu tertimpa badanmu. Kira-kira sakit nggak?"

Angela meringis.

"Sudah melapor tadi?" tanya Valdy jengkel. Angela yang ditanyai malah mengitarkan pandang ke arah teman sekelasnya yang ramai menonton mereka dari jendela dan pintu. "Angela!"

"Eh! Ya. Aduh. Belum, Pak. Saya kabur tadi." Angela lagi-lagi membungkuk, sekalian menyembunyikan rasa malunya.

"Ikut saya. Jangan harap bisa lolos dari hukuman." Valdy lalu berjalan kembali ke arah kelas Angela, dan berseru pada para siswa. "Kerjakan tugasnya. Jangan ribut!" Ia melenggang di depan Angela yang masih menunduk. "Ayo, Angela! Kasih saya alasan yang bagus untuk keterlambatanmu!"

Duhhh…

***

Sepuluh menit kemudian, Angela keluar dari ruang guru dengan langkah gontai. Satu tekad tersemat di benaknya : jangan pernah berurusan dalam hal apapun dengan Valdy. Kecuali di jam olahraga. Guru yang songong itu telah mengomelinya, mengeluhkan kemejanya yang kotor gara-gara kecerobohan Angela, sakit di pinggangnya karena harus menyangga tubuh Angela yang berat. Dan dengan kejamnya ia memutuskan agar Angela mendapat hukuman membersihkan gudang peralatan olahraga di hari Jumat nanti, sepulang sekolah. Saat seringai kejam tercetak di wajah tampannya, ingin rasanya Angela menubruknya sekali lagi, lalu mencekiknya, lalu…

"Kamu boleh pergi. Jangan kebanyakan nge-halu, Angela."

Woi! Ngeselin banget!

Angela pergi tanpa pamit, masih dikuasai kejengkelan tingkat tinggi. Dadanya masih terasa sakit efek tabrakan tadi. Ia masih muram saat berbelok masuk ke kelas dan berjalan ke arah bangkunya.

"La."

"La"

"Ya?" Ia membalas sapaan beberapa teman yang dilewatinya dengan lesu.

"Tumben lo tampil beda. Kerasukan apa lo pagi-pagi?" tanya Roni antusias, memandang Angela dari ujung rambut sampai ujung kaki. Angela mendesah dan meletakkan ranselnya di atas meja. Ia mencari-cari karet pengikat rambut di kantong depan ranselnya. Tak ada.

"Seragam gue kotor, kena lumpur. Terpaksa pakai yang ini, seragam waktu kelas 10." Ia menepiskan rambut panjangnya ke bahu kirinya, menyisirnya dengan jari-jarinya. "Ron, gue nyontek tugas lo dong. Gue lagi males muter otak."

Wawan cekikikan, membuat Angela spontan memelototinya.

"Duduk, La." Andrei menarik tangannya. "Lo dihukum ngapain sama Pak Valdy?"

"Bersihin gudang Jumat nanti." Angela menghentakkan kaki dengan kesal lalu duduk. "Duhh… Dosa apa gue sampe kena hukuman ngeselin ini?"

"Lo nggak nyadar barusan hampir bikin Valdy celaka?" tanya Roni. "Gila lo, Laaa… Adegan tabrakan lo udah kayak di film-film aja. Untung Valdy sigap nangkap lo, dan kalian nggak sampe gegar otak. Eh, untungnya Pak Valdy yang lo tabrak. Refleksnya bagus. Kalo orang lain, nggak selamat lo!"

"Siapa suruh dia muncul tiba-tiba di depan gue?"

"Lo siapa suruh datang telat?" Andrei menukas tajam. "Ini bukan kebiasaan lo. Lo kenapa? Dan pakaian lo juga."

"Eh, Rei. Lo jangan protes soal pakaiannya." Wawan menyela. "La, mulai sekarang lo buang deh seragam cupu lo yang kegedean. Kayak gini kan seger ngeliatnya."

"Yeee…" Andrei dan Roni menjitak Wawan yang terkikik-kikik.

Angela lalu menceritakan insiden Moon-Moon pada mereka bertiga, dan berakhir dengan tawa berderai dari ketiga lelaki itu.

"Ahh, udah. Sini tugas lo, Ron. Gue contek." Ia merampas lembaran tugas Roni. "Ini udah kelar?"

"Udah, Angela jutek." Roni mencubit pipinya, dibalas dengan cubitan di lengannya oleh Angela yang dalam mode senggol-bacok.

"Oke. Kalian bertiga jangan ribut. Gue mau konsen dulu."

"Nyontek aja pake konsen! Lebay!"

"Isshh… Diem lo, Ron. Jangan ganggu gue!"

Angela membiarkan rambutnya menjuntai di sekeliling wajahnya saat ia sibuk menulis. Ia tersentak saat merasakan rambutnya tersibak dan menoleh. Andrei menyentuh rambutnya, menyelipkannya di telinganya. Angela hanya bisa terpana saat membalas tatapannya yang hangat.

"Jangan kayak gini, Rein."

Efek kalimat itu membuat raut wajah Andrei mengencang. Ia sudah membuka mulut hendak bicara saat suara Roni menginterupsi mereka.

"Rei! Jangan bikin baper anak orang, Rei!" Roni bangkit dari kursinya lalu berdiri di sebelah Angela. "La, lo duduk di bangku gue aja. Gue mau bicara sama Andrei. Buruan!"

Angela dengan cepat berdiri, mengikuti saran Roni. Ia menggumamkan, "Thanks," dan berlalu. Dari tempatnya duduk ia bisa mendengar perdebatan dua lelaki di depannya dalam suara rendah. Angela sekuat tenaga mengabaikannya, memusatkan pikiran pada tugas di depannya.

Mungkin, sebaiknya dia tak duduk sebangku bersama Andrei lagi setelah ini.

***

avataravatar
Next chapter