4 Guru Olahraga Killer

Namanya Vivaldy, Angela tak ingat nama belakangnya. Seperti kata Karina dan gosip yang santer beredar di sekolah, guru olahraga baru untuk kelas 12 memang tampan dan keren. Masih muda, 24 tahun, dan jomblo. Dari segi fisik dan ketampanan, bisa disejajarkan dengan para Oppa di drama Korea, yang mana saja. Tubuhnya jangkung dan berisi, proporsional dengan lengan yang berotot, rambut lurus yang dipotong pendek dan rapi. Kulitnya berwarna terang, dan senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya sangat memesona dengan tambahan dua lesung pipi. Karina sudah berjingkrak-jingkrak di tempat dengan heboh, menyikut Angela berkali-kali hingga Angela memutuskan menjauh darinya sebelum rusuknya berubah memar.

Tak seperti siswi lain yang menatap Pak Valdy dengan tatapan penuh damba, Angela hanya menatapnya dengan ngeri dan panik. Pak Valdy bicara di depan barisan mereka dengan nada dingin dan tegas, raut wajah kaku dan sorot mata penuh ancaman. Ganteng apanya?

Kengerian Angela makin menjadi saat menjelang mereka dibubarkan untuk pemanasan (lari keliling lapangan sepak bola 2x), Pak Valdy memanggil namanya.

"Angela Kamaratih? Yang mana orangnya?"

Semua kepala menoleh ke arah Angela, yang dengan takut-takut mengangkat lengan kanannya. Jantungnya berdegup liar di dada. Mati gue, matiiiiiiiiiiiiii….

"Oke. Yang lain, mulai pemanasan. Angela, saya perlu bicara."

Beberapa orang meliriknya dengki, termasuk Karina, membuat Angela ingin menjerit. Haduh, ia mau-mau saja bertukar posisi dengan siapapun sepanjang Pak Valdy menganggapnya makhluk tak kasat mata yang tak penting. Beda cerita kalau Pak Valdy ini guru Bahasa atau Kimia, dimana Angela dengan senang hati akan caper dan unjuk kebolehan. Ini olahraga, dear God, mata pelajaran yang dibencinya sepanjang masa!

"Ya, Pak?" Angela berjalan mendekat saat teman sekelasnya bubar dan mulai pemanasan.

Valdy tak langsung menjawab, namun memandangnya dengan dingin, tanpa belas kasihan sedikitpun.

"Saya tahu track record-mu sepanjang pelajaran olahraga Pak Danan seperti apa. Bolos, ijin sakit yang tak jelas, suka kabur ke ruang kesehatan, pura-pura terkilir, sakit nyeri haid, tensi rendah, pura-pura pingsan." Angela menunduk mendengar serangkaian dosanya dibeberkan dengan detail. "Benar?"

"Kadang saya memang sering sakit, Pak." Angela berkilah.

Tentu saja bohong. Angela selalu sehat. Ia hanya… Malas.

"Di pelajaran dengan saya, sekali lagi seperti itu kelakuanmu, saya hukum kamu dengan berat, Angela. Silakan akting sesukamu, saya bisa membuktikannya nanti apakah kamu benar sakit atau bohong."

"Kalau saya beneran pingsan?"

"Nanti saya buktikan apakah itu benar atau akting. Paham?"

Angela hanya mengangguk lesu, sekilas melirik Valdy yang masih terlihat mengancam di hadapannya. Mengerikan. Ia tak berani ambil resiko jika situasinya begini.

"Ya, Pak. Maaf."

"Oke. Kita sudah sepakat. Sekarang, silakan bergabung dengan yang lain."

Angela berbalik dari posisinya dan menjauh sambil mengumpat pelan.

***

Angela masih belum pulih dari kondisi setengah-pingsan usai pemanasan yang menguras sisa napasnya, sementara teman lainnya terlihat masih bersemangat. Beberapa yang hobi berolahraga seperti Andrei dan Roni malah sibuk jumping-jack. Angela berdiri terbungkuk-bungkuk di barisan tengah. Sebisa mungkin ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, memejamkan mata untuk mengusir kunang-kunang yang menyerbu penglihatannya. Valdy lalu menyuruh mereka stretching yang diikutinya dengan susah payah. Ia merasakan sentuhan di punggungnya, dan mendengar bisikan Karina yang tajam.

"Lo ngomong apa barusan sama Pak Valdy?" tanyanya dalam bisikan rendah. Valdy di depan barisan, mondar-mandir sambil menyerukan hitungan.

"Soal kelakuan gue di jam olahraga Pak Danan." Angela menjawab pelan, masih terengah. Ia yakin wajahnya pastilah pucat, dengan keringat membanjir deras di dahi dan pelipisnya.

"Kapok kan lo sekarang?" Karina mendengus sinis. "Kena batunya!"

"Thanks, Karina. Manis banget kata-kata lo." Angela berdesis jengkel, mendapat balasan dari Karina yang menarik kuncirnya keras hingga ia terhuyung ke belakang. Nyaris saja ia terjungkal.

"Valdy sekarang incaran gue. Peringatan pertama buat lo, Angela. Jangan caper di depan dia dengan cara apapun. Kalo lo melanggar, lo tahu apa yang akan menimpa lo!"

Angela menghela napas kesal.

"Fine!"

Siapa juga yang naksir? Tampang cakep sih relative. Sikap dingin dan arogannya itu menyebalkan. Dan siapa pula yang mau berseteru dengan Karina yang semi bipolar? Berani mencari masalah dengannya berarti pulang ke rumah dengan banyak cakaran di wajah, baju koyak, perundungan tanpa henti, dan berurusan dengan guru BP. Karina belum pernah melakukan kekerasan itu pada Angela, namun verbal abuse yang dilakukannya sudah cukup menjadi gambaran. Karina tak melakukan perundungan dengan bantuan orang lain, karena yang tahan menjadi sahabatnya di sekolah hanyalah Angela. Dan Angela, tak pernah mau terlibat membully siapapun musuh Karina. Biar saja ia dicaci maki habis-habisan, Angela tak mau mencari masalah. Ia cinta damai.

"Istirahat 5 menit!"

Angela jatuh terduduk di atas rerumputan dan meluruskan kakinya. Belum pernah ia secapek ini mengikuti pelajaran olahraga, karena biasanya seusai pemanasan ia akan mulai berakting di depan Pak Danan dan kabur ke ruang kesehatan. Tak berakhlak memang.

"Selanjutnya, ayo ke lapangan basket. Cepat!"

Aduh, memangnya sudah 5 menit? Angela bangkit dengan jengkel, terseok di belakang yang lainnya dan menuju lapangan basket di tepi lapangan sepak bola. Ia menghitung waktu bel pergantian pelajaran. Jika mereka berlatih passing dan dribble, lalu shooting, biasanya memakan waktu cukup lama. Semoga tidak usah simulasi game. Malas sekali rasanya.

Mungkin itu yang disebut mimpi di siang bolong, pikir Angela 15 menit kemudian saat ia berdiri di tengah lapangan bersama 9 siswi lainnya, bertanding basket satu kuarter. Bukan permainan yang sulit, tapi karena staminanya sudah terkuras di sesi pemanasan, mau tak mau permainannya jadi tak maksimal sama sekali.

"Angela! Main yang benar dong!"

"La, pass!"

Angela mengoperkan bola melalui bounce pass ke arah Nikki, dan berlari ke arah ring. Nikki mengopernya kembali padanya, nyaris meleset.

"La, la, shoot, La!"

Namun Karina membayanginya. Angela mengitarkan pandang, melihat Elena free, lalu mengoper ke arahnya, membuat Karina berdecak.

"Tolol amat sih lo, La!" Lagi-lagi Karina memakinya, seperti yang dilakukannya sejak awal permainan tadi. "Tapi bagus juga, tim gue diuntungkan oleh ketololan lo."

"Shut up!" Angela berseru padanya dan dengan sigap menerima operan bola setinggi dada, berkelit saat lengan Karina muncul dan mencoba merebut bolanya.

"La, three point, La!" Winda menjerit padanya.

"Angela nggak akan bisa!" Karina menjerit keras-keras, dan dengan sengaja menyodok perut Angela yang tengah melompat untuk menembak ke ring hingga ia nyaris tersungkur saat melepaskan bolanya.

"Hei!"

Suara peluit melengking di tengah lapangan, membuat permainan berhenti. Valdy berjalan mendekat, masih dengan wajah datarnya.

"Tembakan bebas. Ayo, Angela!"

Angela meringis. Satu sisi perutnya sakit akibat sodokan Karina. Karina berdiri bersedekap di dekatnya dengan wajah dipenuhi amarah. Angela berdiri di depan ring, siap melakukan tembakan three point. Ia mendribel bola dengan gugup. Saat peluit berbunyi, ia menembak tepat sasaran ke ring dan, masuk.

Tepuk tangan dari anggota timnya membuatnya lega. Ia tertawa pada Nikki dan Elena yang mengajaknya tos di udara. Mereka kalah 1 bola, tapi tak ada yang menyalahkannya atas kegagalan mereka.

"Sorry, teman-teman." Angela meringis pada rekan satu timnya.

"Namanya juga permainan. Santai dong, La." Nikki merangkul bahunya.

"Eh, tapi tumben lho ngeliat Angela ikut olahraga sampai kelar." Elena ikut berjalan di sebelahnya saat mereka keluar lapangan untuk duduk. Tim putra kini masuk lapangan, dan beberapa siswi menjerit melihat Roni masuk ke lapangan dengan bergaya. Hiyuhhh…

"Gue nggak berani macem-macem deh sekarang!" Angela melempar pandang sengit ke arah Valdy. "Serem."

Nikki dan Elena tertawa geli, berubah bungkam saat Karina muncul tiba-tiba di hadapan mereka bertiga.

"Angela, temenin gue ke toilet!" Ia berkata ketus pada Angela.

"Ntaran aja gimana? Gue mau duduk dulu. Capek."

"Sekarang!"

Karina berbalik dengan angkuh. Angela hendak mengikutinya, namun ditahan oleh Nikki dan Elena.

"Lo kenapa sih mau-mau aja diperlakukan kayak gitu, La?" tanya Nikki jengkel.

"Udahlah, gue males banget ribut sama Karina." Angela berkata muram. "Kebetulan gue juga pingin ke toilet."

Nikki dan Elena saling pandang dengan cemas menyaksikan Angela pergi mengikuti Karina. Angela tak pernah dibully secara fisik oleh Karina, tapi mereka tahu bahwa Karina suka sekali mengasari Angela di tiap kesempatan dengan kata-kata makian. Mereka lalu berjalan mengikuti Angela, mencoba mencegah hal-hal buruk terjadi padanya.

***

avataravatar
Next chapter