11 Detensi Episode 1

Pelajaran terakhir di hari Jumat adalah Fisika, yang diikuti dengan setengah hati oleh Angela dan semua teman sekelasnya. Cuaca yang gerah akibat mendung membuat kantuk menyerang di jam-jam krusial. Ia sedari tadi melirik jam tangannya, berharap jam Fisika ini tak pernah berakhir. Atau, lebih baik lagi, Valdy mendadak amnesia dan melupakan hukuman yang dijatuhkannya untuk Angela. Atau, ada sedikit keajaiban yang meruntuhkan gedung dimana gudang peralatan olahraga berada, sehingga Angela tak perlu susah payah membersihkannya sendirian, tinggal kirim buldoser untuk meratakan puingnya.

Ia ingin pulang! Dan main sepanjang sore dengan Moon-Moon!

"Lo kenapa?" tanya Roni, yang duduk sebangku dengannya. Tepatnya, Angela mengusir Wawan dari bangkunya dan memaksa Roni duduk dengannya. Hal ini mulai menuai bisik-bisik dari teman sekelasnya. Karina hanya memandangnya dengan sinis, mungkin mengira Angela kini makin berani merebut target-tak-sampainya, Roni yang tampan dan populer. Angela, tak peduli, asal bisa menjaga jarak dengan Andrei yang seharian diapeli oleh Agatha dengan tak tahu malu ke kelasnya.

"Nggak kenapa-kenapa." Angela menghembuskan napas panjang. Lima menit lagi bel pulang sekolah berdering, dan beberapa siswa mulai gelisah karena Pak Tamam masih saja asyik menerangkan materi. "Lo ada lihat Pak Valdy seharian ini?" tanya Angela setelah beberapa saat diam saja.

"Huh?" Roni yang sedang konsentrasi menatap papan tulis tersentak, lalu mencondongkan tubuh mendekat, masih menatap papan tulis yang dicoret-coret Pak Tamam. "Kenapa?" Ia berpaling pada Angela. Mereka berdua kontan membelalak saat menyadari wajah mereka begitu dekat. Angela bisa memandang jelas kedua mata Roni yang cokelat gelap, dan hembusan napasnya yang menyapu wajahnya sendiri.

"Itu… Pak Valdy…" Angela tergagap, lalu memalingkan wajahnya yang terasa hangat. "Nggak jadi deh."

Roni berdeham, lalu menarik rambut panjang Angela yang tersampir di bahunya sambil tertawa kecil. Angela balas menoyor kepalanya.

"Lo nanyain Pak Valdy? Tuh orangnya." Roni menunjuk ke luar jendela, ke arah sosok jangkung yang berjalan di koridor dengan kaos polo merah gelap. Angela mendesah kesal. "Udah. Bersihin gudang cuma sejam. Nggak lama." Roni berdecak.

"Mau sejam, semenit, gue tetap aja nggak suka." Angela lalu memejamkan mata saat bel pulang sekolah berdering nyaring. Suasana di sekitar mereka kontan berubah bising. Pak Tamam menutup pelajarannya dengan kejutan yang manis.

"Senin, ulangan."

Ia lalu keluar kelas diiringi cacian samar dari banyak mulut, berhenti di depan pintu untuk bicara dengan Valdy, lalu menoleh kembali ke dalam kelas.

"Angela Kamaratih! Dicari sama Pak Valdy."

Angela melambaikan tangan dengan muram pada sosok Valdy di depan pintu, yang mengangguk singkat setelah menemukan si terhukum. Angela dengan enggan merapikan barang-barangnya lalu menyeret langkah keluar kelas. Ia tengah melewati meja Karina saat merasakan lengannya dicekal kuat hingga ia spontan meringis kesakitan.

"Gue peringatkan, jangan bertingkah kayak lonte di depan Pak Valdy!"

Karina berbisik tajam. Kuku-kukunya yang panjang menusuk lengan Angela dengan kuat. Angela menyentak lengannya sekuat tenaga hingga terlepas dari cekalan Karina.

"Elo kali yang lonte!" Angela menyemburkan kalimat dengan muak.

"Heh!"

"Udah deh! Mau gantiin gue detensi? Biar bisa deketan sama incaran lo? Ayo, gantiin sekarang!" Angela menantangnya, muak sekali. Hari ini menjengkelkan sekali baginya.

"Hukuman yang lo dapat, itu sih kelasnya kacung. Bukan buat gue!"

"Jadi, tutup mulut lo, Rin!"

Angela berlalu dari hadapannya, melirik Valdy yang berdiri tegap di depan pintu dan tengah menunggunya. Sial, padahal ia tadi sempat merencanakan aksi kabur yang spektakuler. Tapi Valdy rupanya bisa membaca niatnya lebih dulu.

"Nggak usah mengutuki saya, Angela. Ayo! Jangan buang waktu! Kita punya waktu sampai jam 6 nanti."

"Hah??"

"Waktu dua jam cukup kan?"

Tidak, tidak, tidaaaaakkkk….

"Ya." Angela menyahut lemah, ingin sekali menangis berguling-guling di lantai memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan semua debu dan kotoran yang telah mengendap di gudang selama bertahun-tahun.

"Bagus. Ayo, ikut."

Valdy melangkah di depannya dengan cepat, sementara Angela tersaruk-saruk di belakangnya, seolah sudah kehilangan separuh nyawanya.

***

"Keranjang bola digeser dulu ke sebelah sana."

Angela, dengan gigi mengertak, membungkuk lalu menggeser keranjang besar berisi bola basket, lalu bola voli, lalu bola-bola lainnya yang jumlahnya banyak, hingga menyisakan ruang lapang untuk disapu lebih dulu. Valdy berdiri sambil berkacak pinggang di depan rak berisi tongkat pemukul, bat, tali, dan entah apa lagi yang bertumpuk dengan kacau dan penuh debu.

"Ini dirapikan dulu raknya, pisahkan barang-barang sesuai kategori. Eh, dilap dulu debunya, jangan pakai kemoceng, nggak bakal bisa hilang. Mana kanebo yang tadi kamu ambil? Sama ember? Isi air dulu, pakai itu nanti untuk mengelap semua debunya."

Angela hanya diam, melakukan semua perintah Valdy dengan bibir terkatup rapat. Jantungnya sudah bergemuruh akibat amarahnya sejak tadi, sejalan dengan kepalanya yang berdenyut menyakitkan saking kesalnya. Ia lalu meraih ember, mengisinya dengan air dari keran yang tak jauh dari gudang, lalu kembali masuk ke dalam.

Sementara ia menggosok semua debu jahanam itu, Valdy hanya berdiri sambil mengamati sekitarnya, seolah merekam semua yang bisa dilihatnya hanya dengan matanya. Angela mulai panik. Jangan-jangan gurunya itu hendak mendekor ulang, haisss, menata ulang barang-barang di tempat itu. Mumpung ada Angela yang bisa diperbudak dengan gratis, dengan ancaman nilai olahraga yang turun dari 70 ke 50 sesuka-suka dia memberi nilai. Memikirkannya saja sudah membuat Angela ingin menumpahkan air kotor di embernya ke atas kepala Valdy hingga basah kuyup dan berlumur lumpur, lalu…

"Sudah? Sekarang pindah ke bagian atas. Nih, kursi!" Valdy menyorongkan kursi pada Angela dengan satu kakinya. Angela mendelik padanya, tambah melotot lagi saat menyadari bahwa gurunya itu tengah merekamnya dengan ponselnya.

"Untuk dokumentasi, jangan ge-er." Valdy berkata ketus. Angela meremas kanebonya kuat-kuat, menahan gejolak emosinya. Ia lalu naik ke kursi dan dengan brutal menggosok debu di rak teratas yang berisikan beberapa tumpukan album foto.

Angela menepis rambutnya yang jatuh dari ikatannya ke arah pipinya, tanpa sengaja mencoreng wajahnya sendiri dengan kotoran, lalu meraih tumpukan album itu. Tanpa meminta izin, ia langsung membuka-bukanya karena penasaran, dan melihat foto tim basket angkatan lawas yang berpose ceria dengan membawa piala kejuaraan entah apa.

Matanya menelusuri wajah-wajah di dalamnya, dan membelalak saat menemukan satu wajah yang tak asing. Ia melirik Valdy, yang masih merekam bagian lain ruangan, lalu buru-buru melihat tahun yang tertulis di spanduk yang menjadi latar belakang foto. Berarti Valdy alumni sekolahnya juga, 6 tahun lalu? Mungkin dia kenal Adrian? Masih berpikir keras, ia membuka halaman lain, lagi-lagi menemukan tim basket lawas yang tengah latihan, berfoto ramai-ramai usai latihan, berfoto dengan para cheerleader yang berpakaian minim. Ia kembali menemukan wajah Valdy di salah satu foto, berdiri paling belakang diantara anggota tim lainnya, merangkul seorang anggota cheers yang cantik dengan pipi saling menempel. Pacarnya?

"Kemarikan!"

Angela terlonjak, menjatuhkan album foto di tangannya, yang dengan gelagapan berusaha diraihnya kembali. Namun gerakannya yang canggung malah membuat pijakannya di kursi menjadi goyah dan tubuhnya limbung tertarik gravitasi.

"Awas!"

Angela memekik dan terhuyung ke belakang. Tangannya yang mencoba meraih rak untuk berpegangan, tak sanggup menghentikan jatuhnya. Ia sudah siap dengan rasa sakit yang akan menghantamnya saat dirasakannya tubuhnya menabrak tubuh Valdy yang menangkapnya.

"Dasar ceroboh!"

Lengan Valdy melingkari pinggangnya dengan kuat. Lalu dengan satu sentakan ia mengangkat tubuh Angela hingga berdiri tegak di lantai.

"Maaf, Pak. Saya kaget soalnya." Angela menunduk sambil meremas kedua tangannya. Valdy hanya menanggapinya dengan decakan, lalu meraih album foto yang jatuh di dekat kaki Angela, masih menampilkan foto yang terakhir dilihat gadis itu.

"Saya suruh kamu bersihin gudang, bukannya ngintipin foto. Ayo, lanjut!" Valdy membentaknya.

"Pak Valdy alumni sekolah ini juga? Itu fotonya… "

"Saya bilang apa tadi?" Valdy menutup album di tangannya dengan keras. "Mau saya tambahi hukumanmu nanti?"

Cih! Asli, arogan banget!

"Nggak, Pak. Maaf, saya lanjut." Angela meliriknya jengkel, lalu kembali naik ke kursi untuk melanjutkan menggosok debu. Valdy mengulurkan tangan di sebelahnya, menjangkau untuk meraih sisa album foto, lalu membawanya keluar gudang.

"Nostalgia ya?" Angela bergumam sendiri, sedikit lega karena Valdy akan meninggalkannya sendirian tanpa pengawasan. Dugaannya salah karena beberapa detik kemudian sosok menjengkelkan itu muncul lagi, bersedekap dengan angkuh di tengah ruangan untuk memonitor pekerjaannya. Angela hanya bisa merengut.

***

Selesai dengan rak terkutuk itu, kini giliran membersihkan keranjang-keranjang berisi bola, peluru, dan entah apa lagi barang rongsokan yang tertimbun di lantai. Angela sudah berkali-kali bersin, batuk, dan nyaris muntah. Ia yang tak terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga yang berat, kini tersiksa sekali saat harus melakukannya seorang diri tanpa keikhlasan sama sekali dan supervise penuh dari Valdy yang arogan. Ia tak tahan lagi, dengan semua bau-bauan aneh yang membekap indra penciumannya, lalu debu yang beterbangan di udara. Hell… Apa gunanya semua petugas cleaning service di sekolah? Gudang ini seperti nyaris tak tersentuh sapu sama sekali dalam seabad terakhir, ia mengutuk dengan muak.

Menahan rasa mualnya, ia membongkar tumpukan rongsokan di lantai. Ia juga meredam jeritannya saat melihat sekeluarga kecoak bersarang di salah satu sudut. Baunya menjijikkan! Angela menghentakkan kaki dengan gusar untuk meluapkan emosinya, ingin sekali menjerit keras-keras.

"Kenapa?"

Angela hanya menggeleng, memilih mengayunkan sapu untuk mengusir serangga mengerikan itu, lalu menyapu lantainya sambil bergidik sendiri berkali-kali. Para kecoak itu berlarian, merayap entah kemana, membuat Angela panik sendiri, takut mereka menyasarnya lalu menggerayangi tubuhnya. Hihhhhhh….

"Yang itu dibuang saja. Sudah tak terpakai." Valdy menunjuk rongsokan yang tadi menjadi sarang kecoak. "Bawa keluar. Besok biar diangkut petugas kebersihan saja paginya."

Angela dengan lesu mengangkut rongsokan itu sedikit demi sedikit dan menaruhnya di luar gudang. Valdy masih sibuk dengan ponselnya sejak tadi, membiarkan Angela bekerja sendiri, hanya memerintah dengan mulut dan telunjuknya saja.

Setelah 15 menit, kini hanya tersisa keranjang berisi peluru yang berat yang perlu digeser dan dibersihkan. Angela melirik jam tangan, hampir jam 6 sore. Ia menatap sangsi tumpukan bola-bola besi pejal yang karatan itu, lalu berpaling pada Valdy.

"Pak, ini peluru perlu dibersihkan juga?"

Valdy mendongak dari ponselnya, lalu berjalan mendekat sambil menyimpan ponsel di saku celana. Ia mengerutkan bibir melihat kondisi peluru yang ditunjuk Angela.

"Hmm… Keluarkan dulu dari keranjangnya. Nggak usah dibersihkan, keranjangnya saja yang dihilangkan debunya." Ia menepukkan kedua telapak tangannya. "Yang cepat! Sudah kesorean!"

Angela mengertakkan gigi menahan geregetannya. Coba lo bantuin gue, udah kelar dari tadi! Ia mengutuk kesal, dan mengeluarkan satu persatu bola berat itu dari keranjangnya. Sesuatu mendadak meluncur dari arah tumpukan peluru, terbang mengarah tepat ke wajahnya.

"AAAAAAA…. Kecoak! Terbang!" Angela memekik, melempar peluru di tangannya asal saja dan ngacir menjauh. Peluru itu jatuh berdebam menimpa kaki Valdy yang spontan berseru kesakitan.

"ADUH!"

"Kyaaaaa!!!"

Angela kembali dengan sapu dan menyerang tumpukan peluru dalam keranjang, tak menyadari Valdy yang melompat-lompat di dekatnya dengan satu kaki. Angela memekik kembali saat satu kecoak berukuran besar terbang ke arahnya. Ia menangkisnya dengan sapu di tangan hingga serangga terkutuk itu mental ke lantai, mendarat di dekat kaki Valdy.

"Mampus! Mampus!" Angela menghantamkan sapu berkali-kali dengan gemas dan panik, masih mengabaikan seruan kesakitan Valdy yang kaki satunya kini menjadi korban serangan sapu Angela.

"CUKUP!"

Valdy merebut sapu di tangan Angela, membuat gadis itu mendongak dan kaget melihat wajah Valdy yang merah padam.

"Kecoaknya, Pak! Terbang-terbang! Saya takut banget ngeliatnya! Hihhhh…" Angela bergidik ngeri sendiri. Valdy melempar sapu itu ke pojok ruangan yang jauh. "Kenapa, Pak? Bapak nggak suka? Bapak penyayang hewan? Fanatik gitu? Makanya nggak tega ngeliat saya bunuhin…."

"Kaki saya, Angela!" Valdy membentaknya, dongkol luar biasa. "Kena peluru yang kamu lempar tadi! Lalu kaki saya satunya kamu pukulin pakai sapu dengan brutal! Ini dendam pribadi atau murni karena kecoak terbang? Hah??"

Angela ternganga.

"Oh… Sakit banget, pak?" Ia bertanya histeris, merasa bersalah seketika.

"IYA! PAKAI NANYA LAGI!"

"Maaf, Pak. Saya nggak sengaja!"

"Sudahlah!" Valdy meringis, lalu berjalan pincang ke arah pintu. "Selesaikan itu, cepat! Lama-lama saya bisa kena sial lagi."

"Ya, Pak. Sebentar lagi."

Angela menepuk jidatnya dengan jengkel. Lalu dengan cepat dibereskannya keranjang peluru, lalu disapunya lantai dengan kilat. Dalam lima menit, ia telah selesai dan keluar ruangan. Valdy meliriknya dengan tajam, lalu menutup pintu gudang di belakang Angela dan menguncinya.

"Masih sakit, Pak?" tanya Angela takut-takut.

"Mau apa? Ngobatin saya?" Valdy balas bertanya ketus.

"Saya bukan anak PMR, tapi…"

"Ya sudah, diam saja!" sergah Valdy gusar. "Kamu boleh pulang."

Angela mengangguk, dan berbalik dari hadapan Valdy, berlari secepat kilat ke arah toilet terdekat. Ia lalu masuk ke salah satu bilik dan menunduk di atas kloset, muntah-muntah.

Setelah sepuluh menit ia keluar, terisak, dan mencuci tangan serta wajahnya dengan lesu di wastafel. Digosoknya wajahnya yang masih terasa berdebu, dicipratinya berkali-kali dengan air keran hingga air menetes-netes ke seragam yang dipakainya. Ia juga membasuh rambutnya, bergidik saat membayangkan kecoak terbang tadi sempat mampir di kepalanya. Saat ia keluar dari toilet, Valdy berdiri tak jauh, bersedekap sambil memandangnya dengan heran.

"Kenapa lama sekali di toilet? Saya tungguin dari tadi, Angela. Gerbang mau dikunci."

Angela menggeleng pelan.

"Maaf."

Ia tak berkata apa-apa lagi dan berlalu dari hadapan Valdy yang masih terheran-heran melihat air yang membasahi bagian atas kemejanya, membuat gadis itu separuh basah kuyup.

***

avataravatar
Next chapter