webnovel

Untitled

"Untuk saat ini. Nanti saja. Kutipanku belum sempurna untuk kutulis dalam bibir saru."

***

"Anyway, Bang! Gue punya cerita yang beda nih dari biasanya."

"Siap. Gimana-gimana?"

"Jadi kemarin banget gue bangun tidur, tapi tiba-tiba nggak bisa gerak gue."

"Eh gimana-gimana?"

"Jadi kemarin pas bangun tidur siang-siang, tiba-tiba gue nggak bisa gerak. Gue udah sadar, tapi bener gue nggak bisa gerak sama sekali. Kalo kata orang itu namanya ketindihan."

"Oh ketindihan? Ya ya, terus?"

"Gara-gara kejadian kemarin gue jadi kepikiran bikin topik tentang ketindihan. Rada melenceng sih. Kayaknya kita juga nggak paham soal gituan. Nah, tapi justru di sini kita bisa komunikasi langsung sama pendengar kita."

"Em .... Bagus topik lo. Dan serius guys, dia nggak ada buat briefing sama sekali. Gila sih. Ketindihan. Mo ngakak gue."

Tawa renyah melintas ke celah pendengaran Elok. Seakan curat ekspresi itu meraba. Elok ikut tertawa sebagaimana suara dua orang di dalam ponsel, merambat laung ke arah earphone merah jadam.

Cewek itu baru akan menaiki tangga menuju lantai tiga, gedung kelasnya. Namun, pergerakan dia terhenti saat menyadari sosok nyata itu di tengah lapangan.

Si penyuka bola. Si penggila organisasi. Yang tentu saja kekasihnya. Si Tian yang tak pernah absen menampakkan batang hidungnya.

Elok tertawa kecil. Masih pagi dan anak itu sudah bermain bola sendirian.

Ya, bukan Tian bila tidak demikian. Yang sialnya banyak para siswi yang tidak mau melewatkan masa ini. Meski banyak yang menjadi pengecut. Hanya dengan mencuri pandang sekilas kemudian berlagak tak tahu cowok itu tebar pesona pagi ini.

Elok berniat melambaikan tangan kanan untuk memberikan sapaan kecil ke tengah lapangan. Namun, pergerakannya berhenti di udara. Dia mendengus.

Matanya tampak kacau. Bibirnya berkutat sendiri hingga tanpa sadar earphone di daun telinganya jatuh terbanting ke halaman beton.

Cewek itu menggeleng.

Dengan pergerakan cepat dia menyambar earphone sebelum berlari menaiki tangga menuju lantai dua.

"Oke. Sebelumnya, gue anggap bahasa ketindihan itu rancu. Gue nggak tau benernya gimana soal asal bahasa itu. Yang gue tekankan di sini, di dunia medis nggak ada istilah-istilah rancu kayak gitu. Memang ... medis menyebut kalo situasi yang lo jelasin di awal tadi emang ada.

Dalam kondisi tertentu kita bakal bangun tidur dan ngerasain tubuh nggak bisa gerak. Ini umum banget. Biasanya terjadi waktu masa transisi antara tidur sama pas bangun."

"Emang beneran disebut di dunia medis?"

"Bener ada. Dan sekali lagi. Nama ketindihan nggak masuk kamus. Yang bener sleep paralysis atau paralisis tidur."

"Oke ...."

"Dalam kondisi itu juga ada beberapa kasus. Contohnya kesulitan bicara. Bisa juga kita ngerasa kecekik. Mungkin itu penyebab orang-orang bilang dalam tanda kutip ketindihan."

"Ya, jadinya malah ke mistis."

"Yes. Pada kenyataannya penyebab bisa jadi karena kurang tidur, stres, penggunaan obat terlarang. Atau bahkan bisa jadi karena bipolar."

"Sleep paralysis yang lo bilang tadi bahaya nggak sih?"

"Sebenernya yang bahaya bukan sleep paralysis itu sendiri, tapi sebab yang mendasari. Jadi yang perlu diatasi bukan sleep paralysis-nya. Atasi insomnia lo. Kurang-kurangin stresnya. Itu sih."

"Oke .... Cukup simpel ya. Dan ini jadi pembelajaran buat gue sendiri, Bang."

Terlalu kuno?

Tidak!

Yang didengar Elok perihal sleep paralysis bukan berasal dari radio. Akan tetapi, dari podcast sebelum tidur di salah satu aplikasi online.

Hobinya cukup simpel, memang. Mendengarkan podcast atau sekadar membaca buku yang memuat obrolan berat tentang dunia psikologi.

Dia menyukai mental health. Bahkan elok bisa sangat ambisius bila membahas kontrol batin dan segala macam penyakit kejiwaan.

Podcast sebelum tidur satu ini menjadi andalannya. Yang dalam sekali seminggu memunculkan topik-topik menarik dan menyenangkan.

Akan selalu diisi oleh dua suara candu. Dengan beberapa gurauan, tetapi lebih sering pembahasan berat hingga membuatnya terlelap. Dengan berbagai kata rujukan dan lugas, berdenotasi tinggi nan memiliki opini cerdas. Perpaduan penyiar yang begitu Elok andalkan.

Cewek itu segera mematri langkahnya memasuki kelas sebelas MIPA satu. Suara-suara bising itu yang kemudian mengalahkan simpang siur dua suara berat dari balik earphone.

Cewek itu terpaksa mematikan siaran podcast-nya untuk dilanjut nanti siang.

"Menentukan sifat asam larutan contoh ...? Ah! Alkalimetri!"

"Berisik lo! Belajar dalem hati bisa dong? Dikira ini kelas punya nenek moyang lo apa?"

"Suara lo bikin telinga gue jebol!"

Pun dengan segala pembahasan yang lain.

Elok hanya bisa menyengir sembari mengamati satu per satu perkumpulan di dalam kelas. Geng cewek-cewek yang memilih membaca buku dalam diam. Geng para cowok yang sama-sama bertukar soal untuk tebak-tebakan. Pun geng si jago bicara yang rupanya sama-sama tengah membahas soal sembari berdebat.

Namun, satu kesimpulan yang kemudian dibawa Elok menuju tempat duduknya.

"Bapak Lewis! Mohon maap, kalo ada masalah cerita aja! Jangan malah nyiptain teori-teori kampret kayak gini!"

Tanpa sadar semuanya mengangguki satu ucapan itu. Ucapan dari si pemilik wajah frustrasi tingkat akut!

Tinggal diam. Tinggal pasrah lantaran usai ini bel berbunyi. Tepat saat itu juga matpel kimia ada kuis mingguan.

Tentu sangat menjengkelkan.

Namun, keluh kesah itu yang kemudian diobati dengan cara ... tentu, belajar mati-matian hingga larut malam dilanjut pagi buta.

Elok sama mendengusnya.

Tak bisa dipungkiri bila cewek itu pusing setengah mati. Lantaran terlalu berambisi mempertahankan kedudukannya. Salah satu langganan juara kelas pemburu nilai sempurna.

Cewek itu segera berkutat dengan buku catatan di mejanya.

"Nggak usah terlalu ngotot. Nggak usah terlalu ngambis. Nggak usah ngarepin yang sempurna. Bisa jadi harapan-harapan itu ngecewain kamu. Jadi diri kamu yang apa adanya aja."

Belum sampai elok membaca baris pertama unsur-unsur gas mulia. Jelas saja. Lagi-lagi suara yang sama mengusik waktu tambahan belajarnya.

"Semampu otak kamu aja. Lagian aku yakin kamu udah hafal istilah-istilah sialan ini, kan?"

Elok merengut.

Bila sudah didatangi Tian dengan kata-kata lawas itu, dirinya hanya bisa mengangguk saja. Memang benar waktu belajarnya sangat lama. Benar pula dia nyaris mengupas habis materi-materi dari buku catatan.

Dengan perlahan cewek itu menutup buku catatan di depannya.

"Kamu juga jangan terlalu banyak kegiatan. Tiap waktu main bola. Belum lagi nanti urusan organisasi. Meskipun kamu bukan tipikal cowok yang ngutamain pelajaran, tapi belajar masih perlu kamu terapin."

Dengan senyuman lebar Tian menegakkan satu ibu jarinya. "Siap, Neng!" serunya.

Terlalu simetris untuk menggambarkan sifat sejoli remaja ini. Terlalu panjang dan penuh pujian.

Singkatnya, mereka berdua sama-sama tenang dengan cara mereka sendiri. Tak banyak menuntut juga tak banyak memaksa.

Itulah mengapa si penggila musik Korea di belakang Elok segera mengalihkan perhatian ke depan. Siaran Vlive sengaja dia abaikan.

"Udah gue bilang kalo pacaran jangan di deket gue. Lemah guenya! Jadi nyamuk terus! Bang Jeno kagak pulang-pulang, lagi!"

Elok hanya mencibir. Sementara, Tian mengerutkan kening.

"Dia punya pacar? Siapa? Jeno?"

Dengan tampang menggoda Elok mengangguk. "Iya, Jeno," singkatnya. Tak berniat melanjutkan.

Si penyuka musik Korea yang kini sudah meniarapkan wajahnya ke meja sembari menikmati siaran Vlive di ponsel. Si chubby yang banyak bicara. Si Kang Halu. Sekaligus cewek cerewet yang sudah sangat akrab dengan Elok.

Dea Eka Putri. Elok sudah sangat paham dengan dirinya. Menyebut dirinya adalah K-Popers atau apalah itu. Menyebut dirinya pintar tanpa harus mati-matian belajar. Menyebut ... bahwa dia adalah istri Lee Jeno, pangerannya dari Korea.

Namun, Elok mendapat satu fakta penting darinya. Bahwa dia-sahabat karibnya-memiliki ketakutan berlebih dengan penyakit kencing manis.

Terdengar aneh, tentu. Namun, itulah Dea. Memang adanya.

Dia terkena diabetofobia. Semakin parah sejak sang ibu ... atau barangkali lebih tepat disebut ibu angkatnya meninggal paruh tahun lalu.

"Eh El, ngomong-ngomong bulan depan kan ada bazar tahunan. Rencananya kegiatan bazar dilangsungin sama pemilihan ketos."

Elok kembali fokus dengan cowok di depannya. Dia tertawa kecil. "Cie ... mau resign ceritanya?"

Tian hanya menanggapi dengan cubitan kecil di pipi.

"Yang mau aku bicarain justru kamu."

"Kenapa aku?"

"Gimana kalo kamu ikut kandidat waketos tahun ini?"

Elok diam sejenak. Butuh sekian detik untuk menyerap maksud pacarnya. Kalimat yang dikata ambigu.

"Aku? Calon waketos? Kan aku udah berhenti sejak kegiatan olimpiade sama lomba teater padet. Lagian udah ada surat khusus dari Pak Iwan soal berhentinya aku jadi pengurus humas. Udah hampir tiga minggu loh absen rapat, koordinasi, dan semuanya. Anggota OSIS yang baru? Pasti ada yang nggak kenal aku."

Tian mendengus. "Berhenti sementara, kan? Itu juga udah masuk toleransi. Setelah semuanya normal, kamu masih harus balik. Soalnya tata kerja kamu dibutuhin."

"Ya, ya. Aku tau. Tapi kalo buat permintaan kamu yang satu itu, maaf. Stabilitas aku juga udah nggak ada. Aku nggak bisa."

Wajah tak nyaman itu membarengi suara bel masuk. Suara-suara gemerisik dari berbagai sisi kelas sudah terdengar runtut di telinga. Ya, setelah ini ada kuis kimia yang akan selalu menegangkan.

Gemerisik suara itu segera berakhir sebelum fokus buku mendominasi ruangan. Semuanya belajar. Hanya ada satu yang tertinggal. Dea. Cewek yang terlihat pemalas dan tak suka menggebu-gebu.

"Anjiir, Mas Jeno!"

Masih sempat-sempatnya dia berteriak kala suasana kelas sedang sepi.

Semua tinggal geleng-geleng kepala.

"El, aku balik kelas. Nanti kita ngobrol lagi."

Elok menaikkan kedua alisnya. Dengan mulut bungkam dia mengangguk. Sembari tersenyum kecil.

Tian segera mematri langkah keluar kelas sebelum punggung bidang itu kembali berbalik.

"Ngomong-ngomong, El, semalem habis dari mana?"

Semalam.

Elok tampak getir mendengar pertanyaan itu. Sekaligus was-was. Konsekuensi.

***