webnovel

Abai

"Kala bilur menguar dari nadi persembunyiannya. Masa tak tentu. Penumpasan diabaikan. Lantas? Apa yang disebut ia? Yang mengoyak persekusi ...."

***

"Weh, baru dateng lo?"

Seruan dari arah belakang mengejutkan Darin.

Akbar---cowok yang tampak alim, tetapi memiliki kepribadian cukup nakal.

Dia dengan gitar di tangan kirinya baru saja menepuk pundak Darin keras-keras hingga yang ditepuk terkesiap.

"Kemarin ke mana?"

"Rumah."

"Nggak gitu! Maksud gue kenapa lo nggak masuk! Ke mana ae?"

Akbar menepuk pundak Darin sekali lagi.

Berbicara dengan Darin memang membutuhkan kesabaran. Cowok itu akan menjadi sangat menyebalkan saat berbicara.

"Ee ... dasar Dodol! Dicariin Bu Vira tuh. Gara-gara lo nggak masuk jadinya gagal traktir lo katanya."

Akbar tersenyum miring.

Siapa yang tidak mengenal Darin? Anak baru sebelas MIPA delapan yang memiliki paras menawan dengan iming-iming kelahiran Rusia.

Banyak yang menyukai hingga nyaris sering kaum hawa mengungkapkan perasaan langsung ke Darin.

Meski segelintir anak pun turut membencinya. Darin tertawa. Dia selalu membalas orang-orang berhati negatif itu dengan satu kata.

Sirik!

Kembali pada titik bahasnya. Si anak baru yang menekuni bangku paling ujung di kelas MIPA delapan. Si pendiam nan tampak arogan.

Namun, siapa sangka? Satu Minggu kedatangannya di SMA Plus Nirwana sudah menggemparkan seluruh angkatan.

Batang hidungnya selalu dinanti-nanti. Suara serak di balik sikap diamnya dibuat penasaran oleh seluruh angkatan. Terutama kaum hawa, tentu!

Dia resmi menjadi idola sejak kedatangannya pertama kali di SMA swasta favorit Tangerang Selatan.

"Dar! Belum jawab pertanyaan gue, lo! Kemarin ke mana?"

Tidak mendapati adanya jawaban yang memuaskan dari Darin, Akbar menepuk pundak cowok itu sekali lagi. Hingga kali ini Darin mendesis.

Pasalnya tak biasa Akbar menepuk pundak sebelah kiri. Sedari tadi pun yang ditepuk adalah pundak kanan.

Bukan mengapa. Pundaknya masih terlalu sakit lantaran sengaja dipelintir Fenly.

"Kenapa mukanya bonyok lagi? Ngerinya lagi tuh leher ada cap cupeng anjir. Merah-merah. Abis anu lo?" Akbar bertanya menggoda.

Darin menoleh malas. Embusan napas terdengar sebelum kemudian tangan Darin meraih leher Akbar. Puncak kepala temannya itu dia jitak sekeras mungkin.

Bukannya kesakitan. Justru Akbar tertawa dengan perlakukan Darin.

Tubuh Darin yang lebih tinggi memudahkan dia untuk merangkul Akbar. Biarpun yang dirangkul bergidik sakit.

"Nih, gue kasih cupengan juga! Bibir lo juga mau nggak?" Darin membuka suara.

Saat itu juga Akbar mendelik. "Sialan lo!"

Lagi-lagi Akbar tertawa di tengah rasa sakitnya. Cowok itu membalas Darin dengan menendang kaki jenjang tersebut.

Lalu hening.

Akbar tak bicara. Darin tampak terjadi apa-apa.

Situasi kembali lagi. Darin melamun sepanjang mereka berjalan menuju kelas.

Langkah keduanya memelan. Lebih tepatnya Darin yang membuat langkah itu memotong jangka waktu terlalu banyak.

Dia masih melamun. Sekalipun bel masuk sudah berbunyi.

Karena lagi-lagi terulang. Darin bergerak gelisah. Wajah tenangnya berubah kasar.

Dia gelisah.

Hingga perubahan wajah yang teramat besar itu membuat Akbar tak tahu harus bagaimana. Darin berubah pucat.

Setetes cairan kental berwarna merah keluar dari hidungnya. Beruntung cowok itu selalu membawa tissue ke mana pun dia pergi. Dia mulai mengelap darah mimisannya.

"Sakit lo kemarin?"

"Hm ...."

Akbar meneguk ludah.

Benar yang dia katakan. Darin tidak akan berbicara kalau saja sedang tidak mood. Cowok itu terkesan .... Seperti apa-apa tergantung hatinya. Pikiran pun harus mendukung. Yang berarti dia memiliki kadar humor terlalu tinggi.

Memasuki kelas, Akbar yang lebih dulu menduduki kursi dan langsung dijatuhi pertanyaan lawas.

"MTK minat, Wei! Lo udah?"

Akbar melengos.

Dengan tak rela dia mengeluarkan satu buku, tepat buku matematika minat. Berikut dia melemparnya ke arah si sumber suara.

Sudah tak asing. Temannya yang satu itu mencontek nyaris setiap hari.

"Apaan? Tulisan kek muka lo! Kagak ada bagus-bagusnya sama sekali!"

Bukan tak mungkin Akbar sudah mengutuk teman laknatnya. Sudah mencontek, mengatai dia pula.

Belum lagi suaranya yang terlewat keras hingga menarik minat orang di belakang mereka-Darin.

Dema Sadewa. Sebut saja dia Dema. Manusia paling berisik yang sialnya ditakdirkan sebagai teman karib Akbar.

Dari orok hingga sebongsor ini. SD, SMP, dan SMA. Mereka bersama-sama. Satu kelas, bahkan tak pernah absen untuk tidak satu bangku.

Meski akhir-akhir ini Akbar sering melarikan diri ke bangku Darin di pojok paling belakang. Karena ceweknya duduk tepat berseberangan dengan bangku Darin.

Panggil saja dia Maya. Cewek yang ikut menyalin jawaban soal matematika Akbar di samping Dema. Meski pada akhirnya cewek itu tidak yakin dengan hasil kerjaan Akbar. Super singkat dan awut-awutan!

"Ini masa jawaban cuma ginian aja? Perasaan contoh yang dikasih Bu Nilam kemarin panjang banget. Awas aja lo bikin sesat!"

Akbar menyengir. "Itu pake cara cepat."

"Cara cepat cara cepat."

"Sok-sokan. Ngitung satu kali satu aja udah keliatan bego lo!"

Kali ini Akbar benar-benar kesal. Setelah mengatai tulisan dan wajahnya yang dikata tidak bagus, kini menyindir otaknya yang dikata sebiji sawi.

"Gue ganteng gue diem!" Akbar memilih menggerutu sendirian di bangkunya.

Belum berakhir. Karena selepas itu Dema menyambar pundak Akbar.

"Coba lo jawab, satu tambah satu kali nol berapa?"

Akbar menoleh. Sedikitnya dia melengos. Namun, sejurus kemudian dia terlihat berpikir.

1+1×0

"Nol lah!"

Dema tertawa kencang sebelum beralih melihat wajah fokus Maya. "May, satu tambah satu kali nol berapa?"

"Nol!"

"Basic pertanyaan lo. Jelas-jelas jawabannya nol."

Yang baru saja bersuara adalah Nia. Bila Akbar memiliki Maya maka sebelum itu sudah ada Dema yang menjalin hubungan dengan Nia.

Hubungan mereka berempat sudah sangat dekat hingga terkadang lupa yang satu pacarnya siapa dan yang satu bagaimana.

Mereka tidak mengedepankan kemesraan dalam menjalin hubungan. Semuanya rata. Teman dan pacar serasa sama.

Dema yang kemudian meneruskan pandangannya ke Darin tersenyum tipis.

"Dar! Satu tambah satu kali nol berapa?"

Darin menoleh malas. "Satu."

Tak ada jawaban dari Akbar, Maya, maupun Nia. Mereka hanya mengerutkan kening sebelum kembali fokus dengan matematika minat di depannya.

"Weh si Anjing. Kemarin ke mana? Belum lama masuk kok bolos?"

"Kayak nggak tau dia aja."

"Ya kalo dibandingin ama nilai kita yang segede upil melenceng ya?"

Tiga orang yang tengah duduk melingkar sembari menyalin catatan Akbar itu diam sejenak. Pembahasan mengenai pekerjaan rumah terhenti.

Akbar dan Dema menoleh penuh ke arah Darin. Sementara, Nia dan Maya hanya melirik cowok bule itu.

Sudah Darin duga akan ada semprotan dari mulut-mulut yang membencinya. Dia Wahyu dan Agil.

Dua orang itu menyukai Darin pada awalnya. Namun, semenjak Darin membentaknya keras-keras lantaran tugas kelompok harus hancur di tangan mereka berdua ....

Darin mendesis. Dia diam saja. Opsi diam tanpa mempedulikan ucapan buruk itu sudah biasa dia lakukan.

Bukan Wahyu dan Agil bila tidak blak-blakan. Dua orang itu bisa saja menyerang Darin dengan segala makian tak masuk akal.

"Kemarin ke mana, Dar?"

Itu suara Dema. Yang kemudian diangguki Maya.

"Besok lagi bilang aja. Kita yang bakal izinin ke guru."

Nia ikutan mengangguk. "Ketiga kalinya nih, Dar. Jangan sampe dipanggil ke BK."

Mengingat perlakuan Wahyu dan Agil, Darin membawa satu pengakuan. Dia tidak bersalah. Karena sekali lagi. Untuk mereka yang membencinya.

Dia kata, sirik!

"Ya."

Cowok itu menjawab rentetan kalimat dari tiga karibnya dengan satu kata singkat.

Cowok bermata hazel itu duduk tegak. Tangan kanannya digantungkan ke bawah. Sementara, tangan kirinya menyumpalkan tissue ke hidung.

Dia melamun.

"Masih mimisan?"

Akbar yang lebih dulu tahu keadaan Darin. Terakhir kali cowok itu berjalan gelisah menuju kelas. Bahkan mimisan di hidungnya terus menetes.

"Hm."

Dia berharap waktunya segera berlalu. Untuk kali ini saja. Karena biar bagaimanapun dia tidak mau menarik atensi setiap orang di dalam kelas.

Dia pun tidak mau empat orang karibnya itu masih membahas hal yang sudah-sudah. Perihal alfanya dia kemarin, misal.

Yang benar saja. Beberapa saat dehaman dilayangkan, cowok itu sudah mendapati Bu Nilam menduduki kursi. Semua anak menghela napas.

Menduduki bangku di kelas MIPA bukanlah perkara yang mudah. Mereka lebih berpikir mulanya. Bahwa para guru tidak memberikan didikan yang sesuai. Pelajaran dikata terlalu sulit. Bahkan ada beberapa materi yang dianggap tidak berguna untuk kehidupan sehari-hari.

Pemikiran itu dari semua orang. Pada akhirnya anak-anak berkata, "Sial! Salah jurusan!"

Segelintir anak rajin yang lain hanya bisa memendam. Benar, katanya. Mereka salah jurusan.

Seperti saat ini. Guru matematika minat yang langsung menyuguhi materi tambahan untuk dibahas.

"Tapi sebelum itu, tugasnya sudah selesai?"

Pertanyaan itu hanya dijawab oleh gumaman dari semua anak.

"Lanjutkan meringkas materi dari halaman 85-115. Nanti sambil saja jelaskan sedikit-sedikit."

Nyaris semuanya merutuk.

"Dahlah, susah-susah!"

***