webnovel

1

"Gue? Penting banget loh sampe segitunya perhatiin rok. Keren banget, makasi ya.."

Ziena Fransiska menepuk ujung roknya, tersenyum tipis dan memejamkan matanya. Ia mengusap pelan puncak kepalanya. "Santai ya, bagus loh diperhatiin. Santai, jangan terbawa Ina."

Ina mendudukkan tubuhnya, mengambil sebuah buku dan membacanya dengan seksama. Tanpa sengaja ekor mata kanannya menatap ke arah seorang gadis yang tengah berbincang di seberang bangkunya.

Dengan gerakan sedikit dibuat-buat, gadis itu mulai memainkan tangannya. "Ih aku loh ga gitu, orang aku ini kan baik. Ga jahat. Ga beda-bedain orang, terus-terus.."

Ina terkekeh geli. "Circle dalam circle."

Ina meletakkan bukunya diujung meja dan mulai menidurkan tubuhnya pada kursi panjang tempatnya duduk. "Tumben gue ngantuk banget, perasaan obatnya ga ngefek ke kantuk. Apa dosisnya dinaikin lagi?"

Puk puk!

Ina menatap ke arah tangan yang sedang menepuk pelan kakinya. "Kenapaa? Mau bobo, ngantuk Jiya."

"Tuh, mau lo anggurin gurunya?"

Ina bangkit dan menatap ke arah bayangan guru yang sedang berjalan mendekat ke kelas mereka. Segera, Ina mengeluarkan buku pembelajaran matematika dan memasukkan buku yang beberapa menit lalu ia baca. Ina masih terpaku dengan pemikirannya sendiri. Kalau kaya gini terus, ku ga bakal bisa fokus buat belajar. Semuanya bakal ngerusak pikiranku sendiri. Ku harus bisa ngambil alih dari pikiran yang ga bener, batinnya.

Ina menghusap puncak kepalanya, beberapa menit waktu berlaru. Pelajaran matematika 15 menit lagi akan berakhir dan Ina mencatat hal yang sama sekali tidak masuk atau bahkan menyangkut didalam otaknya.

"Jiya, lo paham?"

Ina menatap ke arah Jiya yang terlihat berfikir keras. Jiya menggelengkan kepalanya, "Lagi nyoba ngerti tapi ga ngerti-ngerti."

Ina tersenyum, "Lawak banget. Asli."

Setelah bel pulang berbunyi, seperti murid pada umumnya. Ina memasukkan seluruh buka pembelajaran dan menanti temannya untuk pulang, berjalan bersama dan melemparkan satu hingga dua lelucon kecil.

"Parkir dimana?"

"Tempat biasa." Jawab salah satu teman Ina.

"Lo?"

"Di ujung, tadi telat 10 niatnya parkir di sekolah. Malah ngeluarin uang lagi jadinya." Jawab Ina sembari memainkan kunci motor yang berada pada tangan kirinya.

"Ya udah, duluan ya!"

Ina mengangguk dan melambaikan tangannya pada 3 orang temannya. Sesampainya pada tempat parkir, Ina mengambil helm dan memakai jaket yang ia letakkan pada jok motor. Ina menatap wajahnya pada spion motor.

"Ina, jalanin aja. Sebentar lagi kok. Ina bisa, pasti bisa."

Ina mulai menyalakan mesin motornya dan berkendara. Ina membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai pada rumahnya. Sejak keluar dari pintu gerbang sekolah, bukannya fokus berkendara. Ina justru memfokuskan pemikirannya kepada hal-hal yang tengah ia alami hari ini.

Berkendara dengan lamunan dan sesekali tersenyum. "Jangan cemberut Ina, senyum. Gimana pun hari ini, senyum kecil bisa bikin perubahan besar."

"Kayaknya ga mau pulang dulu deh. Males banget kalau harus liat gituan mulu di rumah."

Setelah 10 menit berkendara, Ina memutuskan untuk pergi ke taman kota. Mengeluarkan bukunya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang harus di kumpul 3 hari lagi dan jemarinya menari mengetik nomor dengan cepat. Ina menatap serius ke arah handphone dan mendekatkan handphone ke telinga kirinya sembari berfikir untuk menjawab soal berikutnya.

"Halo, pulang jam berapa Ina?"

"Kurang tau mommy Sasa, Ina lagi di taman kota. Ngerjain tugas ini. Mommy tolong sampein ke ayahnya Ina ya, bilang Ina lagi nugas sama temen. Supaya engga dicariin kesana-kesini." Ucap Ina.

"Kenapa engga bilang langsung, Ina?"

Ina memutar bola matanya, "Males mom."

"Ya udah, mommy kasi tau. Tapi cuma 2 jam disana okey? Ayah mu tadi menghubungi mommy, katanya tidak akan pulang malam ini."

Ina tersenyum lebar, "Bagus deh mom. Engga ada lagi yang ganggu tengah malem nyariin selingkuhannya aja."

"Baik Ina, kita berbicara lagi setelah dirimu sampai di rumah ok? Mommy harus menyelesaikan beberapa tugas mommy."

Ina mengangguk kecil. "Okei, mommy. Terimakasih banyak."

Panggilan pun terputus, Ina tersenyum lebar. "Kapan lagi kan, Tuhan? Mommy online Ina baik banget. Pantesan aja bapak Ina ada 2, orang yang satu bastard yang satu ga bertanggung jawab."

"Heh, ya ampun. Maaf Tuhan, mulutnya Ina emang suka rada-rada. Rada-rada jujur berlebihan Tuhan."

•••••

Ina meraih gagang pintu rumahnya, dan masuk ke dalam kamarnya. Suasana sepi dan kosong di rumahnya membuatnya menjadi sedikit gembira. "Suka banget, akhirnya tenang. Sendiri, sepi, sunyi. Suka banget Tuhan."

Sementara itu, seorang pria paruh baya masuk dengan seorang wanita berusia 20an. Suara gelas yang terjatuh membuat Ina berlari kencang menuju sumber suara. Ina menatap ke ruang utama, namun nihil.

Tidak ada siapa pun disana, terdengar jeritan kecil tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ina menatap ke arah kirinya, berjalan dengan santai dan menyipitkan matanya. Ia menghela nafas kasar.

"Brengsek, hampir tiap hari. Udah tua kuat aja. Bukannya biayain anaknya sekolah malah main sana-sini, pas ditagih uang bilang ga punya padahal dari keluarga kaya."

Ina berjalan menjauh dari tempatnya berdiri beberapa detik lalu. Kembali ke kamarnya dan membersihkan tubuhnya, Ina mengunci kamarnya dan meraih sebuah buku tulis berukuran normal. Jemarinya dengan lincah menorehkan tinta aksara yang tidak akan pernah ia lewati disetiap kata.

'Malem ya!'

'Gimana ya gue ngejelasinnya hari ini, gue udah berusaha. Tapi hari sebelum gue nulis ini, 3 hari sebelumnya. Ayah gue itu bener-bener gila. Bawa cewek seenak jidat. Ngapain lagi kalau bukan kaya gitu? Dimintain uang bilang ga pernah ada, padahal gue tau dia punya. Ngasi perminggu juga cuma 70 ribu. Sekolah 6 hari, sarapan jarang dikasi dan gue harus ngatur uang itu untuk beli skincare, print tugas sama buat beli pulpen. Gila, gue kesel banget asli. Ibu gue? Masih sama. Sama suami barunya. Lagian dulu Ayah ngapain sih kekeh banget minta gue tinggal di rumah kaya gini masa orang yang gue pikir bakal jadi cinta pertama gue yang justru malah jadi luka pertama buat gue. Bersyukur banget gue ga punya adik. Banget, makasi Tuhan. Seenggaknya cukup di gue aja Tuhan. Jangan ada yang ngerasain yang gue rasain. Ga enak, asli. Orang-orang seumuran gue ga mikirin uang, bebas minta ini itu sama orang tua. Lah gue? Harus berusaha. Gue emang dilahirin dari keluarga yang bisa dibilang cukup. Tapi cukup buat Ayah gue aja uangnya. Gue ga pernah terima, kecuali seminggu 70 ribu itu aja. Gue kesel banget. Apa semua cowok di dunia emang rata-rata kaya gitu? Atau gue nya aja yang nemu kaya gitu? Ga ayah, ga mantan. Rata-rata brengsek Ya Tuhan. Tapi anehnya gue malah stay sama mantan sampe 3 bulan udah tau jadi selingkuhan. Lawak banget hidup, udahlah. Tuhan, soal matematikanya ga terlalu susah. Yang susah itu pahamin hidup. Eh tapi Tuhan, ngapain ya hidup harus dipahamin sedangkan Tuhan udah ngatur semuanya untuk manusia? Harus banget ya. Padahal Ina cuma mau ngelawan hal yang engga bener yang di lakuin sama ayah. Malah Ina dibilang ngebangkang sama orang tua, kualat, durhaka, dll. Padahal disatu sisi Ina juga ngomongnya berdasarkan bukti. Ina juga ga bisa diem gitu aja Tuhan, Ina ga mau diperlakuin yang ga seharusnya Ina terima. Ina ga mau dijadiin mainan sama Ayah. Ina juga anak yang ga minta buat dilahirin. Ina juga disini karena perbuatan Ayah dan Ibu Ina. Jadi kenapa harus dosa orang tua anak yang nanggung ya Tuhan? Ina ga tau apa-apa loh padahal tapi kenapa malah nurun ke anaknya sih Tuhan? Kalau dibilang ga siap. Bohong sih, soalnya Ina udah sejauh ini. Maaf ya Tuhan, Ina banyak ngeluhnya. Soalnya Ina juga lagi berusaha belajar jadi manusia baik yang ga mikirin sakitnya aja Tuhan.'

'Ziena Fransiska.'

Ina menutup buku hariannya, bertepatan dengan suara yang muncul dari handphone yang tidak jauh dari tempatnya kini duduk. Ina meraih handphone dan menempelkan handphone tersebut ke arah telinga kanannya, "Hi mommy online!"

"Halo anak mommy, gimana hari ini? Ina mau cerita apa saya mommy?"

Senyuman lebar terpancar pada wajah cantiknya, Ina mulai menyalakan tombol loud speaker pada handphone. Berdiri sembari menyiapkan buku, Ina mulai menceritakan secara terperinci hal-hal yang dia alami.

"Terus gimana, kamu ada ngucapin sesuatu pas lihat itu Ina?"

Ina menggelengkan kepalanya. "Ga dong mom. Oh iya mom, masa kaya gitu mulu tiap hari? Ina ngerasa kaya ga banget. Ada juga orang yang kaya gitu. Apa bedanya dia di tempat kerja sama di rumahnya? Lama-lama rumah ini jadi kaya oyo. Bukan rumah keluarga cemara. Eh ga deh mom, soalnya dari awal juga ga ada cemara-cemaranya. Yang ada layu, busuk, rusak."

Suara lemah yang terdengar dari sebrang sana membuat Ina terkekeh pelan. "Ina, kenapa bisa bilang gitu?"

"Mom, kan kenyataannya emang gituu. Cemara 5 tahun aja, terus karena udah rusak juga rumahnya ina. Cinta pertama ina, selingkuh, hancur. And, jeng jeng jeng. Jadi deh keluarga cemara busuk, rontok, rusak. Punya bapak 2, ibu 1. Yang 1 ibunya Ina sibuk sama dunianya. Yang satu, Ibu online kesayangan Ina. Mommy Lina, yang paling baik. Yang selalu dengerin Ina curhat, padahal cuma buang-buang waktunya mommy Ina. Mommy, emang seharusnya kali ya Ina nanggung hal yang ga seharusnya Ina tanggung? Anw mom. Ina abis putus sama pacarnya Ina. Ina yang mutusin, soalnya digantung kaya jemuran. Eh ga deh mom. Kalau jemuran kehujanan masih diperhatiin. Kalau Ina, hilang mah engga dicariin. Seenggaknya kalau udah ada yang lain mah bilang aja, Ina ga bakal nahan. Soalnya dari beberapa hari yang lalu Ina lost interest. Makannya Ina ga gamon, haha.."