webnovel

Di Kantor Polisi

Arya memutuskan untuk kembali ke kantor ayahnya dan berkoordinasi. Ayahnya kenal dengan kapten polisi dan memiliki koneksi yang luas. Hermand dan kedua pengawalnya mengikuti.

"Ayah...!" Arya heran karena tidak melihat mobil ayahnya di depan kantor. Dengan terburu-buru ia menanyakan ayahnya kepada penjaga gedung.

"Oh... Tuan Jaksa tadi mendapat kiriman surat dan langsung pergi," kata Pak Suman.

Arya tak dapat menebak kemana gerangan ayahnya. Siapa yang mengirim surat tadi? Apakah ini ada hubungannya dengan hilangnya Maria?

Karena tak tahu harus bagaimana lagi ia akhirnya memutuskan untuk ke kantor polisi menemui Kapten Jannsen. Hermand memaksa ikut dengannya.

Mereka berangkat dengan mobil yang dikemudikan salah seorang pengawal Hermand dan 10 menit kemudian sudah ada di kantor Kapten Jannsen.

"Hmm... Tuan Jaksa tidak bilang apa-apa kepada saya," kata Kapten Jannsen. "Tapi beberapa polisi mungkin sudah menemukan jejak Nona Maria."

"Oh ya? Di mana dia??" tanya Arya cepat. Dadanya berdebar-debar, takut sesuatu yang buruk terjadi.

"Kami menemukan sepedanya di belakang pasar. Saya sudah mengirim banyak polisi untuk menyisir daerah sekitar situ."

"Ya Tuhan... sekarang sudah malam... Bagaimana mereka bisa menemukannya..." Arya tampak resah sekali.

Mereka sedang berpacu dengan waktu. Tadinya Arya berharap Maria hanya bersembunyi dan menangis di suatu tempat. Tetapi dengan polisi menemukan sepedanya, berarti gadis itu bertemu orang yang membuatnya terpaksa meninggalkan sepedanya. Kemungkinan besar ia bertemu orang jahat. Ia tak mungkin meninggalkan sepedanya tanpa alasan.

Arya tak dapat membayangkan apa yang akan mereka lakukan kepada Maria. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya.

"Kapten.. tolong jadikan kasus ini prioritas. Ayahku akan sangat berterima kasih kalau polisi berhasil menemukan Nona Maria. Dia adalah teman sekelasku di sekolah," kata Hermand. Melihat pandangan Kapten Jannsen yang keheranan, ia buru-buru menambahkan, "Namaku Hermand Von Schierlijk."

Seketika wajah Kapten Jannsen tampak terkesima, lalu ia mengangkat topinya dengan sikap hormat.

"Oh... Tuan Hermand... Maaf, saya tidak mengenali Anda.." Ia mengangguk-angguk, "Tentu saja, kami akan mengerahkan semua polisi di kota ini untuk mencari teman tuan."

Arya merasa lega ada Hermand di situ. Walaupun ia adalah anak jaksa, tentu kedudukannya tidak setinggi Hermand sebagai anak residen yang bisa menyuruh-nyuruh kapten polisi untuk mencari Maria. Dalam hati ia sudah memaafkan Hermand atas perbuatannya membuat Maria menangis tadi. Ia tahu Hermand tidak bermaksud jahat, dan ia pun merasa sama kuatirnya dengan Arya akan menghilangnya Maria.

"Sekarang sudah malam... Bagaimana kalau kalian pulang dulu, serahkan semua kepada kami," kata Kapten Jannsen dengan halus. "Kalian harus beristirahat..."

Arya dan Hermand keduanya menggeleng bersamaan.

"Saya mau menunggu di sini saja..." kata Arya tegas. Hermand menoleh kepada salah satu pengawalnya dan laki-laki itu mengangguk.

"Saya akan pulang dan memberi tahu Tuan Residen apa yang terjadi," katanya sambil undur diri.

Kapten Jannsen seketika merasa sakit kepala. Kedua pemuda ini keras kepala sekali. Pasti gadis yang hilang itu sangat penting bagi mereka.

"Hmm.. baiklah. Kalau begitu kalian bisa menunggu di sini. Aku akan menyuruh polisi membawakan bantal dan selimut untuk kalian."

Kapten Jannsen tahu ia tak punya pilihan selain merelakan kantornya untuk tempat istirahat kedua pemuda itu, daripada di sel yang kebetulan sedang kosong.

Hermand dan Arya duduk berdua di dalam kantor Kapten Jannsen. Mulanya mereka saling pandang dengan ekspresi kurang bersahabat, tetapi pelan-pelan suasana di antara keduanya menjadi cair.

"Maafkan aku... semua ini salahku..." kata Hermand pelan.

Arya menggeleng, "Aku juga salah. Seharusnya aku tadi tidak meninggalkan Maria untuk ke kantor Timmer. Kau hanya menyampaikan apa yang orang lain pasti akan sampaikan..."

Hermand mencoba menahan diri dari tadi siang untuk tidak menanyakan status Maria di keluarga Adinata, tetapi kini ia tambah penasaran.

"Sebenarnya dia itu siapa? Kalian kakak adik betulan?"

Arya menggeleng.

"Dia itu anak angkat keluargaku. Aku menemukannya dibuang di depan rumah kami saat masih bayi. Maria itu memang unik... Dia sangat pintar, tapi hal-hal tertentu dia tidak mengerti, termasuk bahwa dia itu sangat berbeda dari kami."

"Oh..."

Hermand mulai merasa semuanya masuk akal. Maria memang agak aneh menurutnya. Tingkahnya yang acuh dan sikapnya yang tidak seperti anak-anak sebayanya membuat Hermand tadinya mengira gadis itu sombong karena dia sangat pintar. Ternyata memang cara berpikirnya berbeda dengan semua orang yang dikenalnya.

"Maria tidak banyak bicara. Kami baru mendengar suaranya waktu umurnya lima tahun, itu pun karena dia mengoreksi PR-ku yang salah. Tadinya kami sekeluarga mengira ia bisu atau bodoh. Ternyata dia memang tidak suka bicara, dan sangat pelit membagikan perasaannya." Arya tersenyum sedikit membayangkan peristiwa yang menghebohkan itu. Wajahnya lalu berubah muram kembali. "Seharusnya aku sadar, tadi siang saat ia sampai menangis dengan sedih, pasti hatinya sangat terluka hingga ia merasa terguncang..."

Hermand merasa Arya membicarakan Maria dengan nada terlalu romantis. Ia curiga pemuda itu tidak menganggap Maria sebagai adiknya. Tetapi di saat genting seperti ini ia merasa keterlaluan kalau mencari bahan pertengkaran baru dengan Arya. Karenanya ia hanya menyimpan pikiran itu dalam hati.

Baiklah. Kalau sampai ia nanti harus bersaing dengan Arya untuk mendapatkan Maria, ia tidak akan kalah. Tetapi itu urusan nanti. Sekarang memastikan Maria selamat dulu.

Keduanya lalu sibuk dengan pikiran masing-masing, sambil terus memperhatikan situasi di kantor polisi, siapa tahu ada perkembangan yang terjadi. Saat jam menunjukkan hampir tengah malam tiba-tiba perkembangan yang mereka tunggu pun tiba. Seorang polisi dengan tergesa-gesa masuk ke dalam kantor dan menelepon Kapten Jannsen yang sudah pulang ke rumahnya.

"Selamat malam, Kapten. Barusan terdengar bunyi tembakan di dekat pasar. Kami sudah mengirim orang ke sana," katanya cepat.

Hermand dan Arya saling pandang. Mereka ingat sepeda Maria ditemukan di belakang pasar. Dengan cepat keduanya bangkit dan menghampiri polisi yang baru datang itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Arya.

"Kami mau ikut!" seru Hermand.

"Baiklah, kalian ikut saya. Saya akan menuju ke sana sekarang," kata polisi itu setelah meletakkan gagang telepon. Ketiganya bergegas keluar dan segera naik mobil polisi ke arah tempat dilaporkannya terdengar suara tembakan.

Maaf ya, update novel ini memang akan lambat. Soalnya saya sedang fokus menulis "The Alchemists" dan banyak kesibukan lain. Tapi saya mau pelan2 tetap menyelesaikannya.

PS: Oya, dari sini mulai keliatan ya, kalo Arya memang tidak menganggap Maria seperti adik kandungnya sendiri. Arya emang mencintai Maria seperti perempuan. Jadi saingan deh sama Hermand.

Missrealitybitescreators' thoughts