19 Story 19 : Teror.

Andara memasuki kelasnya yang masih terlihat sangat sepi, mungkin karena Andara datang sangat pagi. Andara meletakkan tasnya, perempuan itu mengernyitkan dahinya ketika melihat sebuah surat di laci mejanya.

Andara mengambilnya.

'Jauhi Algar atau dia akan dalam bahaya.'

Andara meremas surat itu. Andara melemparnya jauh, Andara tidak tahu siapa penulis di balik surat itu. Bisa jadi itu Tasya, karena rasa obsesinya yang terlalu besar, bisa jadi itu Elvan. Jika memang penulis surat itu adalah Elvan, artinya kata-kata dalam surat itu tidak hanya sekadar ancaman, tapi akan menjadi kenyataan.

Andara menghembuskan napasnya, berusaha mendinginkan kepalanya dari pikiran yang tidak-tidak. Andara percaya bahwa Algar pasti akan baik-baik saja. Setiap Andara berada di dekat Algar, perempuan itu tidak merasakan aura negatif sama sekali.

Andara membuang mukanya ketika Algar dan teman-temannya memasuki kelas. Semoga saja itu bukan Tasya maupun Elvan, semoga saja itu hanya orang iseng.

Andara mengepalkan tangannya, apa dirinya akan menyebabkan masalah lagi untuk Algar? Andara menatap Algar dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengusik hidup Algar yang sangat damai, Andara tidak ingin senyuman Algar hilang, tapj Andara juga butuh Algar untuk terus ada si sisinya.

Yang Andara inginkan hanya satu, ia ingin Algar tetap ada di sampingnya. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk.

♡♡♡

Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu dan kini Andara sudah berada di perpustakaan, seperti biasanya. Andara menoleh ketika seseorang duduk di sampingnya, siapa lagi kalau bukan Algar.

"Kenapa ke sini?" Algar menaikksan satu alisnya mendengar pertanyaaan Andara.

"Emang gak boleh?" Andara menggeleng kecil.

"Bukan gitu maksud gue. Lo gak sama temen-temen lo?" Algar membuang napasnya berat.

"Males ah sama mereka, gak bisa cuci mata gue," balasnya membuat Andara kebingungan.

"Maksud lo?" Algar melirik Andara sebentar.

"Gak bisa ngeliat yang manis-manis kalau sama mereka, mah. Mending sama lo, bisa cuci mata." Algar mengeluarkan cengiran polosnya. Ah, sekarang Andara mengerti maksud Algar. Dasar lelaki penggoda, Dasar buaya.

"Kan ada Tasya." Algar terdiam sebentar.

"Gue gak tertarik," jawabnya. Andara terdiam kemudian membalik halaman pada buku yang sedang ia baca. Algar hanya memerhatikan perempuan itu dari samping.

Tangan Algar terulur untuk menyentuh surai Andara, sayangnya bel masuk membuat Algar memilih untuk mengurungkan niatnya. Lelaki itu berdiri.

"Gue duluan." Andara mengangguk.

Andara juga berdiri, perempuan itu juga akan kembali ke kelasnya karena jam pelajaran akan kembali dimulai.

Sesampainya di tempat duduk, Andara mengernyitkan dahinya karena surat Ancaman itu kembali ada di laci mejanya. Andara melirik sekelilingnya, mungkin saja ini kerjaan orang iseng, kan? Entahlah, Andara kembali meremas surat itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Andara merasakan jantungnya berdegub lebih kencang dari biasanya, mungkin karena rasa panik dan khawatirnya.

Seorang perempuan yang melihatnya dari kejauhan menyunggingkan senyum miringnya. Sepertinya targetnya sudah masuk ke dalam permainannya. Seperti yang dibilang lelaki itu, rencana ini akan berjalan dengan mulus dan Algar akan menjadi miliknya.

"Itu baru pembukaan," ucapnya dengan bangga. Akhirnya Tasya bisa mendapatkan rekan yang bisa diajak untuk bekerja sama. Kali ini, Tasya tidak akan gagal. Tasya mengepalkan tangannya.

"Liat aja nanti, gue gak akan kalah dari cewek kotor kayak lo!" tandasnya kemudian melangkah pergi.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Andara berdiri di depan gerbang sekolahnya perempuan itu sedang menunggu mang ojek yang sudah ia pesan beberapa menit yang lalu.

Andara menatap sebuah motor besar yang berhenti tepat di depannya. Algar tersenyum kecil ke arah Andara, sayangnya perempuan itu tidak membalasnya sama sekali.

Tidak, Andara tidak berniat menjauhi atau mengabaikan Algar. Andara hanya ingin Algar jauh dari marabahaya. Andara hanya tidak ingin senyuman Algar menghilang hanya karena dirinya. Andara hanya sudah menemukan keputusan yang tepat, mungkin.

Andara melangkahkan kakinya meninggalkan Algar, kebetulan sekali mang ojek yang ia pesan sudah sampai. Jujur saja Andara sama sekali tidak bisa menahan dirinya di depan Algar. Andara ingin menyapanya, tapi sangat sulit.

Kenapa hati dan pikirannya sangat bertolak belakang?

Sementara itu Algar memasang ekspresi datarnya, apa ia ada salah kata sehingga Andara mengabaikannya? Entahlah di mana letak kesalahannya, tapi sepertinya Algar harus meminta maaf. Algar akan meminta pendapat Dita terlebih dahulu, lelaki itu segera menancapkan gasnya menuju rumah.

♡♡♡

Andara sudah sampai di rumahnya beberapa menit yang lalu, perempuan itu juga sudah mengganti seragamnya menjadi pakaian sehari-hari. Andara menatap jam dinding di rumahnya, sepertinya bundanya tidak lama lagi akan pulang.

Andara memilih menunggu di ruang tamu sambil membaca sebuah novel. Andara sangat menyukai novel, seandainya kehidupannya seperti alur-alur di novel yang ia baca, pasti Andara akan sangat bahagia.

Andara membuka pintu rumahnya setelah sebelumnya mendengar suara ketukan pintu. Andara mengernyitkan dahinya karena tidak mendapatkan seorang pun di luar rumahnya, Andara pikir itu bundanya, ternyata bukan. Tapi kenapa tidak ada orang?

Andara memilih masuk dan menutup kembali pintu rumahnya.

20 menit berlalu, pintu kembali diketuk. Andara rasa itu bundanya, karena memang ini adalah jam pulang bundanya. Dengan senang hati Andara membuka pintunya dan terkejut melihat sosok itu kembali menghantuinya.

Andara terdiam membeku, ekspresinya berubah menjadi ketakutan, tubuhnya kembali gemetar.

"Ah, aku suka ekspresi itu, Andara." Ya, dia adalah Elvan. lelaki itu melangkah mendekati Andara, yang Andara bisa hanya melangkah mundur mencoba menjauhi Elvan.

Andara sudah tidak tahan lagi melihat Elvan di depannya, bayang-bayang akan kejadian itu selalu menghantuinya. Andara berjongkok, perempuan itu menarik surainya, Andara menjerit sekencang-kencangnya, ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, Andara takut.

"Pergi!" pekiknya. Elvan menarik satu sudut bibirnya kemudian mendekati Andara.

"PERGI!!" Elvan terus mendekat, kini lelaki itu sudah berjongkok di depan Andara, Andara menutup telinga dan matanya.

"PERGIIII!!---

"Andara!!!" Andara masih tidak berkutik, masih pada posisinya.

"Andara ini gue!!" Andara membuka matanya perlahan dan dia mendapatkan Algar sudah berada di depannya. Andara sudah tidak memikirkan apa pun lagi, perempuan itu langsung memeluk Algar seerat mungkin.

"Lo kenapa?!" panik Algar. Algar tidak menyangka ketika dirinya sampai di rumah Andara untuk meminta maaf, justru Andara sedang ketakutan seperti ini. Seberusaha mungkin, Algar menenangkan perempuan itu.

"Gue takut ...," lirihnya. Algar sudah menduga pasti ada yang tidak beres. Algar mengusap surai Andara.

"Takut kenapa? Ada yang ganggu lo?" Andara terdiam. Andara tidak tahu ingin membalas apa.

"Dia ada di sini ..." Algar menaikkan satu alisnya.

"Siapa?"

Andara mengeratkan pelukannya pada Algar, Andara tidak ingin melihat wajah itu lagi. Andara menghembuskan napasnya kasar.

"Elvan ..."

avataravatar
Next chapter