1 Opening : Kota Jakarta

Bandung, Desember 2019.

Aku dikecewakan oleh waktu. Harapanku pupus bersamamu. Doaku pada semesta seakan ditertawakan begitu saja. Kecewaku datang saat matahari terbenam. Langit menggelap dengan jingga yang menggantung di ufuk barat. Kala itu, angin bertiup perlahan, memberi sebuah inspirasi menulis kisah baru tentangku hari ini. Niatnya aku ingin mengirimkan salam padamu jika esok datang, fajar tersenyum di atas sana. Aku ingin bercerita dan berbicara pasal keadaan kita yang semakin pelik saja.

Kamu hilang, mungkin. Ataukah aku yang sudah bak ampas kopi di dasar gelas? Tak lagi penting! Kamu berjanji akan kembali kalau bulan ini berakhir. Katanya, kamu ingin melihat langit sore di akhir pekan penghujung tahun. Ini Indonesia, bukan negara Belanda atau Australia. Tak ada musim salju di akhir tahun, tetapi katanya ... cukup membahagiakan jika bisa berjalan-jalan sore, bercengkerama ringan tanpa jeda dan celah sembari menikmati secangkir kopi di akhir senja. Petikan gitar yang kamu suka, masih melekat jelas di dalam ingatanku. Setiap tuts piano yang kamu tekan masih menari-nari di dalam kepalaku.

Lantas, kenangannya mulai hilang. Kamu tiada mau berkabar pasal keadaanmu hari ini. Surat yang aku berikan setiap akhir pekan tak pernah datang kembali dengan balasan tulisan tangan yang indah darimu.

Aku yakin kamu sedang sibuk di sana. Jauh di kota tetangga, mengadu masa depan dan menyusun impian yang tinggi, melebihi langit-langit kamarmu yang indah dihias ornamen bintang menyala di atas sana. Aku ingat betul, kamu meminta hadiah sederhana dan menerimanya dengan penuh suka cita. Katanya, lebih dari apapun, yang aku beli adalah benda paling istimewa yang pernah ada di dunia.

Omong kosong! Kalau kamu bilang bahwa aku juga istimewa. Tak ada yang mau membuang 'istimewa' mereka sembarang tempat bukan?

Sedih, rasanya. Semakin hari semakin jelas saja, semua janji yang terucap, setiap penantian yang aku lakukan, dan apapun usaha yang aku perbuat tak akan punya hasil apapun jika semesta tak lagi merestui kita untuk kembali bersama.

Surat itu ... aku buang! Semua kenangnya mulai hilang ....

Aku berniat untuk tak lagi pernah menulis apapun tentang dirimu. Aku tak ingin mendengar namamu, aku tak ingin berkabar denganmu, juga aku tak mau menatap wajahmu lagi. Kamu pengkhianat jalang yang tak tahu diri! Mengumbar janji, berucap akan kembali, tetapi tak satupun kamu tepati.

Kamu hilang! Benar-benar hilang! Berharap semesta meludahkan kembali dirimu ke permukaan agar aku bisa mencaci maki sejadi-jadinya. Hatiku benar-benar sakit dan terluka. Tak pernah aku sadari, bahwa cinta yang aku berikan terlalu dalam untuk laki-laki berengsek seperti dirimu itu.

Aku membenci ... semuanya tentangmu, Rama.

••• 100 Persen Itu Sempurna Vol. 1 •••

Jakarta, 2021.

Padat merayap di tengah riangnya fajar yang menyapa. Alunan lagu bernada seadanya jelas terdengar sumbang memekik di telinga. Suara klakson kendaraan tanda pengemudi yang ingin jadi raja utama menjadi melodi pengiring yang tak ada jedanya. Inilah Jakarta, padat tak sela, bangun tak ada tidur, dan ramai tak pernah sepi. Konon katanya, inilah jantung Negara Indonesia. Macet yang jadi momok utama, banjir dan monopoli lahan jadi berita pembuka di pagi hari.

Kota ramai yang tak pernah tidur, di sinilah Nata dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan hingga ia wasis membaca dan menulis. Kiranya usia delapan tahun sebelum akhirnya dihianatilah kota kelahirannya ini dengan menetap di negara tetangga untuk mengeyam pendidikan dengan kedok kedua —tak bisa jauh dari orang tua yang sedang mengembangkan sayap perusahaan di negara asing—

Seperi kata orangtua zaman dulu, ke mana perginya kembalinya akan ke kampung halaman juga.

Tak butuh waktu lama untuk gadis berambut lurus sepinggang itu untuk kembali ke kota metropolitan. Hanya sanggup meninggalkan kesibukan kota kiranya 8 tahun berlalu.

Nata kembali ke tempat yang memang patut disebut kampung halaman tercinta. Semua masih sama, yang berbeda adalah perawakan gadis yang dulunya hanya patut dengan rambut kepang dan kacamata kotak penghias wajah bulatnya, kini cantik dengan polesan bedak yang senada dengan kulit bersihnya.

Ia sudah remaja —Genap sudah 18 tahun usianya minggu depan—. Jika tahun-tahun sebelumnya ada kue dan balon warna warni serta ciuman pipi yang amat Nata nantikan tiap tahunnya, kali ini tidak. Remaja ini yang diharapkan hanya satu hal, cukup serdahana.

-Pencipta, kembalikan rasa yang tak pernah hilang selama ini. Berikan aku rasa, agar aku bisa merasakan indahnya mencintai, sakitnya dikhianati, dan senangnya rasa rindu. Biarkan masa remajaku ini dihiasi oleh hiasan yang dinamakan cinta, penghianatan, dan rindu.--

Sederhana 'kan? Nata hanya mau itu, tak lebih. Gadis keturunan Indo-Malay itu ingin hidup layaknya orang lain. Menangis dan tertawa, sedih dan bahagia.

Selama ini Nata tak bisa merasakannya, rasa itu hambar. Itulah yang ia ketahui. Intinya, Nata tak bisa merasakan emosi apapun selama dua tahun terakhir ini.

Apapun!

Lampu di tepi jalan menghentikan laju mobil hitam yang ia tumpangi, tanda merah bulat untuk menghentikan kendaraaan dan tanda hijau untuk mengijinkan para pejalan kaki menyebrang. Nata menoleh, menatap jauh di luar kaca mobil--Meskipun masih pagi, semua orang sudah mandi keringat--

"Belakangan ini orang selalu sibuk 'kan, Neng?" suara berat seorang pria berkumis tipis membuyarkan lamunan Nata. Ia tersenyum seringai. Mengangguk kecil sembari meliriknya sekilas.

"Ini Jakarta," celetuknya ringan. Memutar padangannya ke sisi kiri kaca mobil. Tak jauh beda dari sisi kanan, hanya ada tukang koran dan pedangang kaki lima di sisi trotar jalan. Satu lagi, seorang pria tua dengan sepeda tuanya yang tergeletak di sisi jalan. Sepedanya sedikit remuk. Tatapan tajamnya terarah pada seorang anak muda yang tak jauh tinggi darinya.

Ia memaki, meneriaki, dan mencaci. Amarah jelas tergambar dari wajah tuanya, sedang yang diteriaki hanya memasang wajah diam tak acuh.

"Dia pasti brandalan di sekolahnya 'kan?" ucap Nata lirih tapi cukup membuat satu lagi penghuni mobil hitam mewah ikut menoleh ke sisi kaca luar.

"Anak jaman sekarang, Neng." Ia tersenyum kecil. Kembali mengijak gas untuk segera mengantar Nata sampai tujuan.

"Eneng, nanti bisa 'kan menyesuaikan diri? Anak jakarta sekarang pada jadi brandal semua loh," lanjutnya di sela-sela iringan musik ballad yang baru saja Nata perintahkan untuk dinyalakan guna memecah keheningan.

"Tenang, Pak, Nata gitu," jawabnya menepuk dada.

"Seneng deh bisa liat Neng Nata senyum begitu. Sering-sering senyum, deh," godanya pada Nata. Nata hanya meliriknya sekilas. Menyipitkan mata sembari melipat kening samar.

--Memang begitu orangnya. Tua tapi lawakannya receh.--

Beliau adalah supir pribadi Nata sejak kecil. Sejak gadis berambut panjang tergerai apik itu belajar membaca hingga jadi seorang gadis yang patut dijuluki si kutu buku, ialah yang menghantar Nata ke semua tempat tujuannya. Sekolah, mall, ke pameran, dan lain-lain. Nata memanggilnya Pak Dan, dari namanya Dani.

Sudah tua sih, tapi sayangnya takdir tak mengijinkannya untuk menjadi seorang ayah. Mungkin ia lebih cocok untuk menjadi seorang imam yang baik. Untuk itu, tak jarang jika terkadang Pak Dan memeluk Nata sembari memanggilnya -anakku-

... Bersambung ...

avataravatar
Next chapter