webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Teen
Not enough ratings
30 Chs

Chapter 9 - Tired

Sudah tiga minggu Arin mengawasi Renald. Kini ia jarang melihat Renald merokok, tapi terkadang mendapatinya sedang merokok sembunyi-sembunyi. Dan tentu saja dihadiahi jeweran olehnya. Sempat waktu itu memergoki Renald sedang merokok di gudang sekolah, ia tak pernah kecolongan dan langsung memarahi Renald. Renald tak pernah bosan berjanji tidak akan mengulangi, tetapi pada akhirnya kembali berulah. Sebetulnya ia benar-benar jengkel, namun ia ingat permintaan Bu Rini dan guru BK. Semua ini ia lakukan karena begitu menghormati Bu Rini, baginya Bu Rini adalah panutan.

Renald pun tahu perubahan sikap Arin yang tiba-tiba peduli padanya itu atas perintah guru. Ia hanya tersenyum sinis, tidak ada teman yang benar-benar tulus. Hanya Brian, Alex, dan Lian yang kini sudah menjalani hidupnya masing-masing.

Kini Arin dan Renald sedang dalam perjalanan menuju rumah Renald. Sudah seminggu ia berkunjung ke rumah Renald. Bahkan ia sudah cukup dekat dengan Om Surya, papa Renald yang ternyata rekan kerja papanya.

"Cepet masuk!" ujar Renald dingin.

"Iya." Arin menjawabnya malas.

Renald menyuruh Bi Minah membuatkan minuman untuk Arin, Bi Minah mengangguk dan segera menuju dapur. Arin juga cukup dekat dengan Bi Minah. Ia suka bertanya tentang kebiasaan-kebiasaan Renald.

"Gue ganti baju dulu, lo tunggu di sini."

Arin mengangguk, lalu memperhatikan rumah Renald. Tidak ada foto keluarga, rumah megah ini begitu dingin, sepi dan tidak ada keceriaan di dalamnya. Sangat berbeda dengan rumahnya yang terasa begitu hangat dan nyaman.

Bi Minah menyuguhkan minuman, ia pun mengucapkan terima kasih. Bi Minah pamit pergi ke belakang, namun ia menahannya, ingin menanyakan suatu hal, benar-benar penasaran.

"Kok mamanya Renald nggak pernah keliatan, ya? Emangnya sibuk kerja juga?"

"Kalau itu saya nggak tahu non, selama kerja di sini saya nggak pernah liat nyonya rumah ini. Saya juga nggak berani nanya ke tuan Surya atau den Renald." Ia mengangguk, Bi Minah pun pergi ke dapur.

Ia masih bingung tentang keadaan keluarga Renald yang tidak harmonis. Hubungan Renald dengan papanya terlihat begitu renggang. Lalu jika Arin bertanya mengenai ibunya, Renald tak pernah menjawabnya. Dan itu semakin membuatnya penasaran. Tiba-tiba Renald datang mengagetkannya, kebiasaannya memang tidak pernah hilang. Selalu saja membuat orang jantungan, ia marah-marah.

"Sekarang cepet buka bukunya!" Renald pun menurut.

Nald, inget ya! Lo jangan cuma ngehafal rumusnya aja, tapi harus dipahami juga. Percuma lo inget rumusnya tapi nggak tahu caranya. Renald sudah benar-benar hafal dengan kata-kata Arin. Ia hanya mengangguk tiap kali cewek ini berbicara. Ulangan kemarin ia mendapat nilai merah, rasanya sia-sia selama ini Arin mengajarinya, tidak ada kemajuan. Ia masih suka main-main, tidak pernah kapok kena marah Arin. Heran.

Arin membuka bukunya, memerintahkan Renald untuk mengisi lima soal. Tapi ia malah nego, minta hanya mengisi tiga soal, tentu saja langsung dihadiahi bentakan Arin. Dosa apa aku, Ya Tuhan? Renald memelas, tapi tentu itu tidak mempan bagi cewek keras kepala ini. Renald menghela napas, mengeluarkan rokok di sakunya.

"Kok lo masih ngerokok sih! Bukannya udah janji nggak bakal ngerokok lagi."

"Kalau nggak ngerokok gue nggak bisa mikir, lagian ini kan bukan di sekolah." Alasan basi pikir Arin.

"Pokoknya lo jangan ngerokok, nggak boleh! Gue nggak suka." Arin marah.

Renald menghela napas, berdebat dengannya tidak akan pernah selesai, lebih baik mengalah. "Iya, gue bakal berusaha berhenti ngerokok. Tapi gue nggak bisa sendiri, gue butuh lo buat ngingetin terus." Renald membuang rokoknya ke tempat sampah.

"Iya, gue bakal bantuin lo." Arin tersenyum senang, "yaudah, cepet isi soal-soalnya!" Arin kembali memberikan tatapan garang.

Renald mengisi soal-soal yang ia berikan. Cukup lama hingga membuatnya merasa bosan. Ia yang sudah mulai mengantuk, tersentak ketika Renald menyodorkan bukunya.

"Kali ini gue ngisinya serius, nggak ngasal."

Namun Arin tetap saja kesal. Semoga hasilnya juga sesuai dengan waktu yang Renald habiskan. Ia memeriksa jawaban Renald. Jawaban soal nomor tiga salah, Arin memerintahkan Renald untuk mengisinya dengan benar. Renald pun menurut, walau sempat protes.

"Nih, udah gue benerin jawabannya." Arin langsung memeriksanya.

"Masih salah Nald, hasilnya tuh 132 bukan 135."

"Cuma kelebihan 3 doang, kan?"

Arin menghela napas berusaha mengontrol emosinya. "Tetep aja salah, Renald sayang..." Renald hanya nyengir.

Keesokan harinya, semua murid fokus mengerjakan soal ulangan harian. Renald tampak tengok kanan tengok kiri, aman. Ia segera mengeluarkan gulungan kertas.

"Itu apaan?" tanya Arin curiga.

"Ini resep obat." Renald berbohong lagi dan lagi.

Arin tidak percaya, ia berusaha mengambil gulungan kertas itu. Renald menjauhkan gulungan kertasnya, menyuruhnya agar fokus mengisi soal. Ia berusaha menjangkau tangan Renald, akhirnya mendapatkan gulungan kertas milik Renald. Renald tampak cemas.

Tiba-tiba Bu Lisa datang, ia langsung menuju kelas saat mendengar ada keributan. "Ada apa ini?"

"Tadi Arin sama Renald rebutan kertas contekan, Bu." Cindy menyeringai.

"Apa yang sedang kamu pegang, Rin?" Bu Lisa menatapnya tajam.

"Nggak tahu Bu, ini punya Renald. Tadi saya mau coba amanin kertasnya." Renald hanya menunduk.

"Punya Arin kali Bu, buktinya itu ada di tangan Arin." Cindy berusaha menghasut Bu Lisa.

"Sudah, sudah! Berikan kertas itu pada saya!" Lalu Arin menyerahkannya pada Bu Lisa.

Bu Lisa memerintahkan agar semuanya kembali mengisi soal tanpa gaduh. Lalu Arin dan Renald diminta menuju ruangan Bu Lisa jika telah selesai mengerjakan soal. Arin meringis, urusannya bisa panjang. Cindy pun mentertawakannya.

Kini mereka berdua sedang berada di ruangan Bu Lisa, Bu Lisa menatap tajam. Berurusan dengannya sama saja cari mati. Tangan Arin berkeringat, pertama kalinya mendapat kasus seperti ini. Semua ini gara-gara Renald, ia makin kesal pada cowok di sampingnya itu.

"Kalian tahu, kalau saya paling tidak bisa mentoleransi murid yang menyontek." Bu Lisa masih menatap tajam keduanya.

Arin tertunduk, meminta maaf. Tapi Bu Lisa tahu jika Arin tidak bersalah, Renald lah yang menyontek. Renald pun mengakui kesalahannya dan meminta maaf, Arin tidak tahu apa-apa. Ia pun berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Mau bagaimana pun, berurusan dengan Bu Lisa tidak pernah sesederhana meminta maaf lalu dimaafkan. Ia tetap dihukum, sepulang sekolah harus membersihkan semua toilet di sekolah. Begitu juga dengan Arin, Bu Lisa menganggapnya belum berhasil membimbing Renald, ikut bertanggung jawab akan hal ini. Kemudian Bu Lisa memerintahkan mereka untuk kembali ke kelasnya.

"Rin, maafin gue ya. Gara-gara gue lo jadi ikutan dihukum."

Renald benar-benar merasa bersalah. Ia hanya ingin membuat Arin menyerah dan berhenti mengatur hidupnya, bukan mau menyeretnya ke dalam masalah.

"Lo minta maaf pun nggak bakal ngerubah keadaan," balas Arin, berjalan mendahuluinya.

Sampai di kelas, Arin duduk di bangkunya dengan kesal. Tiara langsung menanyakan keadaannya, juga menanyakan apa saja yang dibicarakan Bu Lisa. Ia enggan menjawab. Saat Renald datang, Tiara memberikan tatapan meminta penjelasan. Renald pun menjelaskan semuanya, Tiara sampai berteriak kaget.

"Jijik banget, tapi pekerjaan itu cocok sih buat kalian hahaha." Cindy mencela.

"Lo bisa diem nggak sih?" Arin bangkit dari kursi, emosinya meledak. Kali ini kebetulan guru yang bertugas tidak hadir. Tiara menenangkannya, lalu ia kembali duduk.

"Segitu doang gebrakan lo?" Cindy meremehkannya.

Kini Arin sudah tak bisa menahan emosinya lagi, ia menghampiri Cindy dan langsung menjambak rambutnya. Mereka saling menjambaki rambut lawannya, ia memelintir tangan Cindy. Tindakannya benar-benar tidak terkendali. Cindy menjerit kesakitan.

"Sakit?" Arin tersenyum mengejek.

Kini Cindy yang menyerang Arin, tetapi Cindy langsung ditarik oleh Julio, yang lain pun ikut melerai perkelahian mereka. Arin ditahan oleh Renald dan Andi, sedangkan Cindy ditahan oleh Farel dan Julio. Mereka berdua berusaha membebaskan tubuhnya.

"Yang lo tahu itu cuma bedak sama lipstik, jangan sok-sokan mau nyerang gue." Arin tersenyum meremehkan.

"Sialan lo! Gue bales nanti, gue nggak main-main!" Cindy berteriak kesal.

***

Sekolah sudah sangat sepi tetapi Arin dan Renald masih belum selesai dengan hukuman mereka. Hari sudah sore, bahkan Pak Udin yang biasa bertugas membersihkan sekolah pun menyuruh mereka untuk mengakhiri pekerjaannya, lebih baik dilanjutkan besok. Tapi Arin enggan pulang jika belum selesai, lagipula tinggal sedikit lagi pekerjaannya. Pak Udin berniat membantu tapi ia menolak, ia dan Renald yang dihukum. Jadi, biar mereka yang menyelesaikan seluruh pekerjaannya.

Mereka masih berkutat dengan pekerjaannya. Sebenarnya Renald ingin berbicara pada Arin. Namun melihat kesibukkannya, ia mengurungkan niatnya. Sampai akhirnya mereka selesai mengerjakan hukumannya. Ia mengajaknya pulang, tapi Arin mau meminta dijemput mamanya. Ia khawatir membiarkan Arin menunggu jemputan sendirian di sekolah, hari sudah mulai gelap. Akhirnya Arin menerima ajakannya.

Kini mereka sedang dalam perjalanan pulang. Sikap diam Arin membuatnya takut untuk memulai pembicaraan dengannya. Namun ia memberanikan dirinya.

"Rin, lo masih marah sama gue?" Arin tidak menjawabnya, ia terus menghadap ke jendela mobil.

"Maafin gue ya Rin, gue janji nggak bakal nyecewain lo lagi." Renald menggenggam tangannya. Namun ia segera menepisnya. Kini ia menatap Renald.

"Janji, janji, dan janji. Lo terlalu kebanyakan janji, sampe-sampe lupa buat nepatin semua janji lo. Gue cape tahu nggak!"

"Gue bener-bener minta maaf, Rin," ucap Renald penuh penyesalan.

Ia merasa bukan seorang cowok sejati, bisa-bisanya sering melanggar janji. Melihat kekecewaan Arin menghilangkan egonya, kali ini ia benar-benar akan belajar serius mengikuti segala kemauan Arin. Tidak peduli jika cewek itu hanya menjalankan perintah guru, bukan karena tulus ingin menjadi temannya.

"Sekarang gue sadar kalau gue nggak bisa ngelanjutin ini. Karena percuma, lo sendiri nggak ada niat buat berubah." Arin menatap Renald nanar.

"Gue minta maaf Rin, gue akan berusaha berubah jadi lebih baik."

"Ini pertama kalinya gue dihukum dan itu semua karena lo! Dulu sebelum gue kenal lo, hidup gue nggak pernah serumit ini!" Arin kalap, membalas tajam tatapan sendu Renald. "Sekarang terserah lo mau berbuat apa, udah nggak ada yang ngelarang-larang, nggak akan ada yang ngatur-ngatur lo lagi. Lo seneng kan kalau hidup lo bebas? Sekarang gue nggak akan ikut campur tentang hidup lo lagi. Gue udah nggak peduli!"

Renald membisu. Keadaan tidak sepanas tadi, namun hening ini justru lebih mencekam. Tak terasa mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Arin, ia segera keluar dari mobil. Mengucapkan terima kasih, mungkin untuk terakhir kali. Lalu memasuki rumahnya. Renald memukul dasboard mobilnya frustasi dan langsung memutar arah mobilnya.

Kali ini ia bukan hanya dianggap gagal oleh papanya, tapi juga oleh Arin. Ia benar-benar merasa hidupnya tidak berguna. Ketika ia gagal tidak ada yang merangkulnya, justru ditinggalkan. Membuatnya semakin yakin kalau tidak pernah ada orang yang peduli padanya. Andai saja Brian, Alex, dan Lian masih di sini, ia tidak lagi punya teman berbagi. Mereka melanjutkan studi di luar negeri. Ia butuh kehadiran mereka secara langsung. Tapi kini ia bertekad untuk tidak bergantung pada siapa pun, pada akhirnya ia hanya akan ditinggalkan. Semua orang meninggalkannya.