webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Teen
Not enough ratings
30 Chs

Chapter 4 - Try to Forget Him

Arin terbangun, kepalanya terasa sakit karena menangis semalaman. Ia kaget melihat jam yang sudah menunjukkan angka 06.30, lalu berlari menuju kamar mandi. Tak lama ia keluar dan langsung memakai seragam sekolahnya.

Melihat dirinya di cermin, matanya sembab. Membuka laci lalu mengambil kacamata imitasi. Ya, mata Arin normal jadi yang dipakai itu kacamata biasa. Menggunakannya hanya untuk menutupi matanya yang sembab, bukan untuk gaya-gayaan. Ia menyisir rambutnya dan dibiarkan terurai. Kemudian memperhatikan kembali dirinya di cermin. Not bad. Arin langsung menyambar tas sekolahnya, untung saja semalam sudah menyiapkan buku pelajaran.

Menuruni anak tangga dan mendapati mamanya sedang sarapan. Ternyata papanya sudah berangkat duluan. Mau tidak mau ia harus berangkat ke sekolah naik bus. Ia berdecak, masalahnya sudah jam berapa sekarang. Menunggu bus itu lama belum lagi jika macet, bisa-bisa terlambat. Arin pun meneguk susunya dan mengambil setangkap roti, memakannya di jalan.

Sudah pukul 07.00 tapi belum ada bus yang lewat. Bel masuk akan berbunyi 15 menit lagi, kalau ia terlambat maka harus siap-siap berhadapan dengan BK. Sial!

Sebuah motor sport berhenti di dekat Arin. "Hei, Arin." Ia membuka kaca helmnya, ternyata Renald. "Lagi nunggu bus, ya?" Arin memutar bola mata menanggapi pertanyaan basa-basinya. "Mau bareng nggak?" Renald akhirnya to the point.

"Gue mau nunggu bus aja, bentar lagi juga ada, kok." Sok jual mahal menolak ajakan Renald.

"Yakin? Bentar lagi masuk lho."

Arin mengangguk samar, tidak dapat menyembunyikan wajah resahnya. Renald pun tidak bisa memaksa, ia melajukan motornya. Tapi Arin tampak berpikir lagi kemudian melihat jam tangannya.

"Eh, eh, tunggu! Yaudah deh gue berangkat bareng lo." Arin setengah berteriak.

Renald pun berhenti lalu memutar arah motornya, mendekati cewek berambut panjang itu. Ia tersenyum puas karena Arin mau naik motor dengannya.

"Terpaksa ini juga daripada telat." Arin tetap jual mahal. Gengsi kok dipelihara.

"Yaudah buruan naik! Pegangan ya, gue kalau bawa motor suka ngebut." Tersenyum jahil. Arin hanya memegang jaketnya Renald.

Ia memperhatikan di kaca spion, Arin yang menunduk malu sambil berusaha menutupi wajahnya. Mungkin tidak nyaman dengan penampilan barunya. Arin jika memakai kacamata kelihatan cute menurutnya.

"Lo tetep cantik, kok." Renald tersenyum.

Arin menyembunyikan pipinya yang memerah. Lagi-lagi Renald tersenyum sambil terus melihatnya di kaca spion. Lalu ia menancap gas, mempercepat laju motornya. Arin kaget dan langsung memeluk pinggangnya.

Akhirnya mereka sampai di sekolah. Lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Arin menarik tangan Renald agar berjalan lebih cepat. Ia tidak mau terlambat, ditambah muka Renald yang terlihat santai-santai saja membuatnya makin gemas. Tapi cowok itu malah tersenyum geli, Arin yang sadar langsung melepaskan genggaman tangannya. Malu-maluin! Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Bel masuk sudah berbunyi. Mereka berlari menuju kelasnya, Bu Siska berjalan dari arah berlawanan. Mereka memasuki kelas mendahului Bu Siska. Jika Bu Siska yang sampai duluan, matilah mereka.

"Kemana aja lo jam segini baru nongol? Bareng Renald pula. Wah, wah, lo abis mojok ya sama dia?" tanya Tiara penuh selidik.

Arin mengembuskan napas kasar, menatap temannya jengkel. Malas kalau harus menjawab pertanyaannya yang tidak berfaedah. Tiara tetap memandang curiga, lalu tersadar dengan perubahan penampilan temannya ini. Baru saja ingin membuka mulut, Bu Siska datang.

"Good morning students, how are you?" Bu Siska berdiri di depan kelas.

"We are good," jawab murid-murid serempak.

"Okay, please open your book page on 125! We'll learning about poetry. By the way, is there anyone that want to read a poetry?"

Sebenarnya Arin ingin maju ke depan, tetapi perasaannya sedang tidak enak. Namun akhirnya ia maju ke depan, ingin mengungkapkan isi hatinya. Mungkin saja Farel bisa menyadari perasaan Arin padanya.

"Show your ability, Arin!" Bu Siska menyemangati.

The Road Not Taken

By Robert Frost

Two roads diverged in a yellow wood,

And sorry I could not travel both

And be one traveler, long I stood

And looked down one as far as I could

To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair,

And having perhaps the better claim,

Because it was grassy and wanted wear;

Though as for that the passing there

Had worn them really about the same,

And both that morning equally lay

In leaves no step had trodden black.

Oh, I kept the first for another day!

Yet knowing how way leads on to way,

I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh

Somewhere ages and ages hence:

Two roads diverged in a wood, and I-

I took the one less traveled by,

And that has made all the difference.

"Great! Give applause!" Semua murid bertepuk tangan.

Arin sempat melirik Farel, sepertinya ia hanya mengagumi puisi yang dibacakan Arin, tetapi tidak mengerti bahwa puisi itu ditujukan untuknya. Arin membungkukan tubuhnya dan kembali duduk di bangkunya. Setelah itu Bu Siska menulis di papan tulis sembari menjelaskan.

"Puisinya buat siapa? Buat gue, ya?" Renald tersenyum jahil.

"Pede banget, lo! Jijik gue dengernya." Arin bergidik.

"Wah... Jangan kayak gitu, lo! Nanti suka beneran, lho."

"Ngapain gue suka sama cowok tengil kek lo!"

"Tapi ngangenin kan..."

"Renald, Arin, don't make a noise!" Bu Siska memberikan tatapan tajam.

"Yes, ma'am," ucap mereka berdua. Bu Siska kembali memberikan penjelasan.

"Elo sih! daritadi ngomong terus. Kita jadi kena marah kan tuh!" Arin kesal.

"Kok jadi gue yang disalahin sih, itu juga gara-gara lo yang ngomongnya berisik!" Renald tak mau disalahkan.

Bu Siska berdeham sambil berkacak pinggang. Mereka nyengir sok tak berdosa. Bu Siska hanya bisa menggelengkan kepala.

Bel berbunyi tanda berganti pelajaran. Lalu Bu Siska keluar kelas. Tak lama Pak Mahpud masuk kelas. Sang guru PKN yang membosankan namun tingkat kegalakkannya tidak beda jauh dengan jajaran guru killer di sekolah ini. Ubannya makin bertambah banyak tiap minggunya.

Beliau duduk di bangku samping papan tulis. "Sampai di mana kemarin materinya?" Tidak perlu dijelaskan, umur yang menjadi jawaban. Dia sudah sedikit pikun. Sebentar lagi akan pensiun.

"Sampai bela negara, Pak." Arin memberi tahu.

Pak Mahpud melanjutkan materinya, menyuruh murid-murid untuk mencatat materi di buku paket. Semua murid fokus mencatat pelajaran, kecuali Renald. Ia malah sibuk menggambar, entah menggambar apa.

"Hei, itu siapa yang di samping Farel? Hmm... Jono!" Semua murid tertawa.

"Nama saya Renald Pak, bukan Jono." Renald cemberut.

"Oh iya Renald, kenapa kamu tidak menulis?"

"Nggak kebawa pak bukunya," jawab Renald tanpa merasa bersalah.

"Kenapa bisa nggak kebawa?"

"Lupa Pak, hehe." Renald nyengir merasa tak berdosa.

"Lupa, lupa, alasan!"

"Beneran lupa, Pak. Saya baru lupa sekali kok langsung dimarahin? Bapak aja yang lupa berkali-kali nggak saya marahin." Ucapan Renald membuat seisi kelas menjadi ramai, semuanya tertawa.

"Diam semuanya!" Kelas jadi hening kembali. Wajah Pak Mahpud merah menahan emosi.

Pak Mahpud menjewer kuping Renald. Ia mengaduh kesakitan, memegangi kupingnya yang merah. Kemudian Pak Mahpud mencoret X pada dahi Renald menggunakan spidol. Semua murid terlihat menahan tawa.

"Jangan dihapus sampai jam pelajaran ini selesai! Nanti kamu susul catatan teman-teman kamu!"

"Iya Pak," jawab Renald melas.

Setelah semua murid selesai mencatat, Pak Mahpud pun menjelaskan materi. Mendengar penjelasan Pak Mahpud seperti diberi dongeng pengantar tidur, sebagian ada yang menguap menahan kantuk. Tapi tidak berani tidur karena pasti akan kena hukuman. Akhirnya terdengar bel tanda istirahat. Murid-murid bersorak, Pak Mahpud keluar kelas begitu juga dengan murid yang lain.

Sementara itu Renald sibuk menggosok-gosok dahinya yang dicoret spidol. Tampaknya susah hilang, ia berdecak kesal. Arin dan Tiara tertawa geli.

"Lo ganteng juga ya kalau mukanya dicoret-coret." Arin meledek Renald.

"Dari lahir." Renald memberikan tampang arogannya.

"Muka udah cemong gitu juga masih aja belagu, lo!" Arin memberikan tampang tak suka. Tiara hanya tertawa.

"Kita ke kantin aja, Ra! Jangan ladenin cowok gesrek ini." Ia menatap Renald.

"Kok ke kantin sih yang, anter ke toilet dulu yuk!" Renald mengedipkan matanya nakal.

"Yang yang, pala lo peang! Lo ke toiletnya bareng joko aja sana!"

Ia menunjuk Joko si culun berkacamata tebal. Kemudian Arin dan Tiara segera berlari keluar kelas. Joko tertawa melihat Renald diperlakukan seperti itu oleh Arin. Renald mengepalkan tangannya ingin memberi bogem, Joko langsung menunduk-takut, lalu lari terbirit-birit meninggalkan kelas.