webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Teen
Not enough ratings
30 Chs

Chapter 27 - Royal Couple

Mungkin bagi sebagian orang merasa heran atas perubahan sikap Arin yang kini terlihat lebih ceria. Wajar saja, sejak meninggalnya Renald ia tidak pernah tersenyum cerah, lebih banyak murung dan menyendiri. Orang tuanya tentu senang melihat putrinya sudah tidak bersedih lagi, dulu mereka sempat khawatir anaknya akan benar-benar mengisolasi dirinya dari kehidupan luar. Apapun atau siapa pun yang mengembalikan senyum putrinya, mereka akan sangat berterima kasih. Dan orang tuanya tahu, bukan sesuatu melainkan seseorang yang sudah membuat anaknya bahagia. Orang itu yang selalu memberi putrinya bunga, Brian.

Arin sendiri tidak tahu mengapa hatinya bisa jatuh pada Brian, sebelumnya ia selalu menolak cowok itu—berkali-kali. Tapi Tuhan pandai membolak-balikkan perasaan manusia, maka dari itu jangan pernah terlalu membenci seseorang dan jangan pernah pula berlebihan mencintai seseorang. Jika ditanya alasannya jatuh cinta, ia tidak akan bisa menjawab karena cinta tidak butuh alasan. Jika mengandung alasan itu bukan cinta, melainkan rasa kagum atau bahkan obsesi.

Akhir-akhir ini ia sering jalan-jalan bersama Brian, menikmati akhir pekan bersama atau sekedar menemaninya nonton ketika Brian sudah pulang kerja. Papa dan Mama sudah cukup dekat dengan Brian karena cowok itu kadang mampir ke rumah ketika mengantarnya pulang. Namun baru saja merasakan kebahagiaan sebentar, papanya sudah mendesak agar segera melanjutkan studi S2 tahun ajaran ini, lebih cepat lebih baik. Mau tidak mau ia harus meninggalkan Brian, ia tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh. Menurutnya tidak akan berhasil. Lagipula sampai saat ini ia belum memberikan kepastian pada Brian, mereka tidak terikat hubungan apapun. Meski begitu entah kenapa rasanya berat harus berpisah dengan Brian, benar saja kebahagiaan tidak pernah berlangsung lama. Sesingkat ini.

Arin mengambil ponsel yang tergeletak di nakas, menghubungi Brian. Ia ingin mengucap salam perpisahan, sejak kemarin ia sudah merangkai kata-katanya karena hari itu ia mendapat surat penerimaan dari Harvard University.

"Halo, Rin."

"Mmm, aku mau ngomong." Arin tertegun, kalimat yang sudah dipersiapkan hilang begitu saja.

"Mau ngomong apa?" Arin menimbang-nimbang, merasa ragu untuk mengucapkannya. "Halo?"

"Kemarin aku baru aja baca novel historical romance latarnya di Eropa, aku kepikiran kayaknya seru deh kalau pake gaun dan kamu berpakaian ala pemuda Eropa." Ia tidak sanggup mengucapkan salam perpisahan melalui telepon, ia akan mengucapkannya secara langsung ketika bertemu Brian nanti malam.

Brian tertawa, "terus kamu minta aku pake baju Eropa zaman kuno gitu? Biar persis tokoh utama pria yang kamu baca di novel itu."

"Sabtu malam ini nggak ada acara kan? Gimana kalau kita jalan-jalan ke Kota Tua dan pake baju ala-ala kerajaan, kita sewa bajunya."

"Ide kamu bener-bener gila ya. Tapi kalau kamu memang mau, ayo." Arin tersenyum. Iya, ia memang gila. Mengajak Brian tanding basket sewaktu SMA dulu juga salah satu dari kegilaannya.

"Oke, nanti jemput aku ya jam 7 malam. Aku bakal siapin bajunya. See you soon."

***

Arin sudah mengenakan gaunnya yang berwarna gold, rambutnya disanggul menyisakan beberapa helai yang di-curly di samping telinga. Ia juga sudah menyiapkan baju untuk Brian. Mama menatapnya kagum, begitu pula Papa yang kebetulan sudah pulang kerja. Anaknya benar-benar seperti seorang putri kerajaan.

Tak lama terdengar suara klakson mobil, itu pasti Brian. Arin membuka pintu dan Brian sudah keluar dari mobil, menghampirinya. Brian terpukau melihat kecantikan cewek di depannya, tanpa sadar tersenyum. Arin menyadarkannya yang sedari tadi mematung, menyuruh Brian masuk ke dalam rumahnya dan bertegur sapa dengan orang tuanya. Ia mengasongi baju yang sudah dipersiapkan pada Brian, menyuruh cowok itu ganti baju. Setelah selesai ganti baju, mereka berpamitan pada orang tua Arin.

"Jagain anak tante, ya." Mama Arin tersenyum.

"Pasti tante." Brian balas tersenyum.

Mereka kini di dalam mobil. Brian melajukan mobilnya menuju Kota Tua sesuai keinginan Arin. Membunuh sepi, Brian menyalakan radio. Ia menatap Arin, masih terpesona. Tapi Arin tertunduk tampak murung, kemana wajah cerianya? Berbeda dengan Arin yang biasa ia temui belakangan ini. Ia benar-benar tidak bisa menebak perasaan Arin, membingungkan.

"Kamu kenapa? Daritadi aku perhatiin keliatan murung." Brian akhirnya bertanya.

Arin menengok padanya, "I'm okay. Tadi sempet tidur sore sebentar, jadi pusing." Tersenyum berusaha meyakinkan.

Ia tidak bertanya lagi meskipun tahu Arin berbohong, ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Apapun itu jika Arin tidak mau menceritakannya ia tidak akan memaksa.

Jalanan cukup macet, maklum saja ini malam minggu. Mobilnya bergerak perlahan-lahan, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan. Saat turun dari mobil, mereka sudah menjadi pusat perhatian. Bagai royal couple, pangeran bersama putri. Tanpa memedulikan tatapan orang-orang Arin menarik tangan Brian mengajaknya berkeliling. Cahaya dari lampu-lampu gedung menghiasi area wisata Kota Tua malam hari. Malam hari menjadi waktu yang nyaman karena suasananya yang cukup sejuk. Ada yang membawa anak-anak, pasangan, atau kumpul bersama teman sambil membawa camilan ringan. Ramai.

Di tengah keramaian, kini semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing—tidak lagi menatap mereka seakan-akan pemandangan aneh. Justru ada beberapa orang yang mengajak Arin dan Brian berswa foto karena penampilannya yang unik. Selain itu salah satu pengunjung bersedia memotret Arin dan Brian.

"Kita berasa ada di zaman kolonial, ya." Arin menatap bangunan penuh sejarah.

"Iya, di samping aku ada noni Belanda." Brian tersenyum.

Arin menatapnya kemudian tertawa. Tawanya berhenti, tapi masih menatapnya. Brian memang tampan, mengenakan setelan baju khas Eropa semakin menambah ketampanannya. Arin tidak menyangka malam ini adalah hari terakhir ia melihat Brian, selanjutnya mereka tidak akan bertemu lagi. Tersadar, ia pun mengajak Brian melihat penampilan musisi jalanan.