webnovel

DAVE YANG KASAR

PRANG!

Sebuah piring beling dilempar oleh Dave. Hampir mengenai Viona kalau saja ia bergeser ke kanan. Viona melotot kea rah Dave. Wajahnya menampilkan ekspresi marah yang teramat sangat.

"Apa-apaan sih kamu!" bentak Viona.

"Aku? Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan! Udah berani kamu jalan sama laki-laki lain hah?!" Dave berteriak tepat di depan wajah Viona. Jarak wajahnya dan wajah Viona hanya sekitar 5cm. Viona bisa merasakan dan melihat betapa marah dan kalut Dave saat itu. Viona masih belum mengerti apa yang membuat Dave semarah itu padanya. Ia tidak merasa melakukan sebuah kesalahan sama sekali.

"Jalan sama laki-laki lain gimana sih maksud kamu?" nada Viona semakin naik lagi.

"Kamu masih ngelak? Enggak mau ngaku? Apa perlu aku beberin bukti-bukti hah?!" Viona menahan nafasnya. Ada sedikit rasa takut di benaknya tentang apa yang akan dilakukan oleh Dave padanya.

"Iya beberin aja bukti kalo kamu berani. Aku percaya diri kok karena aku yakin aku enggak pernah macem-macem," Viona tetap berusaha tenang dan tidak menunjukan kalau ia takut pada Dave kali ini.

Dave menjauhi Viona, ia berjalan ke arah meja dimana ia meletakkan tasnya. Dave terlihat merogoh isi dalam tas, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas, yang Viona kira-kira itu adalah tumpukan foto.

"Nih!" Dave melempar semua foto-foto yang ia pegang. Viona mengambil foto yang berhamburan di lantai di hadapannya. Ia melihat foto-foto itu dan mengernyit. Semua foto itu adalah fotonya dari belakang dengan orang lain dalam berbagai pose. Ada pose ia merangkul, ada pose ia bersender di Pundak seseorang itu, ada pula pose berpegangan tangan.

"Kamu dapet foto-foto ini darimana?" tanya Viona menantang.

"Kamu enggak perlu tau aku dapet foto ini darimana, yang jelas, kamu udah menghianati aku, kamu menghianati cinta kita, kamu wanita murahan Viona!" teriak Dave.

"Hahahahhahahahahaahahhaa," dalam suasana tegang, Viona malah tertawa terbahak-bahak.

"Enggak lucu Viona," ujar Dave.

Viona mendekati Dave. Ia memandang Dave dengan pandangan benci.

"Lain kali, kalo emang lo bosen sama gue, kalo lo udah enggak mau sama gue, bilang aja. Gue akan pergi. Bukan pake cara murahan kayak gini. Lo nyuruh orang kan buat buntutin gue?" tanya Viona.

"Urusan gue suruh orang atau gimana bukan urusan lo, tapi lo udah hianatin gue, lo udah jalan sama laki-laki lain, itu yang jadi urusan gue. Dan enggak usah memutar balik keadaan!" bentak Dave.

"Laki-laki? Lo liat nih," Viona mengambil ponselnya. Ia mencari-cari di galeri ponselnya.

"Ini kan?" Viona memperlihatkan foto dengan orang yang sama dengan yang ada di foto yang dimiliki Dave. Bahkan ada satu foto dengan baju yang sama persis dengan yang ada pada foto Dave, bedanya adalah foto-foto yang ada pada Viona tampak depan.

"Ini…" ujar Dave.

"Yap, betul. Ini Rosi. Temen kerja aku. Dia perempuan tulen. Tapi dia lebih suka pake kemeja atau baju cowo dan rambutnya pendek. Lagian masa lo segitu bodohnya? Lo liat pundaknya aja Pundak cewe," ujar Viona.

Dave mengusap wajahnya dengan kalut. Ia benar-benar salah, ia telah melakukan sebuah Tindakan yang bodoh. Tidak seharusnya ia melakukan itu. Hanya dalam waktu sekian detik, segala ego, segala kemarahan yang Dave lakukan tadi hilang berganti dengan menyesal.

"Viona, aku minta maaf," ujar Dave.

"Sebelum aku pergi, aku Cuma mau tanya satu hal sama kamu. Ilona mau sama aku atau kamu?" tanya Viona. Ia bertanya tanpa melihat kea rah Dave. Ia membelakangi Dave.

"Kamu jangan ngomong gitu dong Viona," ujar Dave memohon.

"Yaudah aku anggep jawabannya adalah Ilona ikut sama aku," ujar Viona. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Viona berjalan kea rah lemari dan mengeluarkan sebuah koper super besar. Ia membuka kopernya dan memasukkan baju-baju Ilona.

"Viona, aku mohon jangan pergi. Maafin aku Viona," ujar Dave. Kali ini ia benar-benar memohon pada Viona.

"Enggak, aku mau pergi. Kamu udah ngerendahin aku, kamu curiga enggak jelas sama aku. Kamu lebih percaya sama orang lain daripada aku. Kejadian ini buka mata aku kalo kamu ternyata enggak sesayang dan secinta itu sama aku," ujar Viona. Ia terus memasukkan pakaian ke dalam koper.

"Enggak Vi, enggak. Aku bener-bener minta maaf. Jangan pergi Vi," Dave memeluk Viona dari belakang. Ia menghentikan apa yang dilakukan oleh Viona.

"Vi, aku minta maaf," ujar Dave lagi.

Viona mematung, ia tidak melanjutkan packing baju, tapi juga tidak meletakkannya kembali ke dalam lemari. Ia lemas, ia duduk di lantai kamarnya saat itu. Untungnya Ilona dalam keadaan tidur sehingga tidak banyak bertanya apa yang orangtuanya lakukan.

"Viona, maafin aku," ujar Dave.

"Kamu bener-bener enggak percaya sama aku Dave, buat apa kita masih sama-sama kalo udah enggak ada kepercayaan kamu ke aku," ujar Viona lemas. Ia sudah tidak merasa punya banyak tenaga lagi.

"Enggak Vi, aku percaya sama kamu. Aku bener-bener minta maaf Vi. Aku khilaf, aku terlalu takut kehilangan kamu makanya aku kayak gitu," ujar Dave.

"Justru kalo kamu kayak gitu kamu malah akan kehilangan aku," ujar Viona. Suaranya sudah benar-benar lemas. Pandangannya kabur, ia bahkan tidak bisa melihat Dave dengan jelas, padahal Dave jelas-jelas ada di hadapannya.

Dan seketika, Viona pingsan di pelukan Dave.

"Bu.." panggil Intan.

"Eh.." Viona tersadar dari lamunannya.

"Ibu kenapa? Banyak pikiran ya?" tanya Intan.

"Oh enggak kok, yaudah Intan makasih ya kamu udah temenin saya," ujar Viona.

"Oh iya sama-sama bu. Yaudah saya masuk dulu ya bu," pinta Intan. Viona mengangguk. Ia kembali memandang lurus ke depan. Pikirannya kembali berkelana kemana-mana. Banyak kenangan pahit yang tiba-tiba muncul dalam benaknya karena tadi ia bicara dengan Dave.

Ketika Viona berbicara bahwa mengacungi jempol jika ada wanita yang bisa menghadapi Dave seperti dirinya menghadapi Dave, ia benar-benar serius dengan hal itu. Banyak kenangan buruk bersama Dave yang tiba-tiba datang menghampiri Viona, termasuk yang barusan.

Adzan berkumandang. Viona baru menyadari bahwa ia sudah duduk di sini sekitar 2 jam. Viona masuk ke dalam rumah membawa gelas sisa ia minum. Viona meletakkannya di atas westafel. Ia berjalan ke atas, kea rah kamarnya.

Di depan pintu kamarnya, ia sayup-sayup mendengar ada orang yang sedang tertawa. Sebelum masuk, Viona mendekatkan telinganya ke daun pintu. Iya, Viona tidak salah lagi, suaminya terdengar sedang tertawa dan bercanda dengan asik. Dengan siapa? Pikir Viona.

Ia dengan cepat membuka pintu, melihat Dave yang sedang di atas tempat tidur sedang asik tertawa sambil memandang layar ponselnya. Tidak salah lagi, Dave sedang melakukan video call dengan seseorang.