webnovel

Suara Asing

Bram dengan cepat menekan bel, memanggil perawat. Beberapa perawat datang mengikuti dokter yang merawat Adelia pertama kali. Beberapa pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui kondisi terakhir Adelia.

"Tidak apa-apa. Kondisi pasien semakin baik. Mungkin pasien terlalu kelelahan sehingga diperlukan waktu istirahat yang lumayan lebih lama dari yang biasanya. Mohon untuk tidak menanyakan sesuatu yang bisa memancing ingatannya bekerja terlalu keras. Jika ada pertanyaan, mohon ditahan dulu. Tunggu, keadaan fisik dan psikis pasien benar-benar sudah stabil." Pesan dokter itu sebelum meninggalkan kamar itu.

Albert terus memandangi wajah gadis yang kini kembali terlelap dalam tidurnya. "Bagaimana bisa kamu menemukan Adelia, Bram? Papa kira kamu sudah menghentikan pencarian ini beberapa waktu tahun yang lalu."

"Sebenarnya Bram agak sedikit lupa tentang usaha pencarian ini, Pa. Tapi tiba-tiba orang yang dulu Bram serahkan tugas ini, menghubungi Bram dan mengatakan jika Adelia berhasil ditemukan."

Adelia mendapatkan perawatan selama satu minggu sebelum akhirnya diijinkan untuk pulang. Bram sendiri yang mengurus semua keperluan Adelia. Ia tidak membiarkan seorang pun ikut campur. Baginya, Adelia begitu berharga sehingga ia turun sendiri untuk memastikan keselamatannya.

Selama dirawat di rumah sakit, kedua orang tua Bramastyo, Albert dan Camelia memutuskan untuk tidak menjenguk Adelia untuk sementara waktu. Mereka takut, jika mereka kembali datang menjenguk Adelia lalu menanyakan sesuatu yang justru akan mengingatkan gadis itu pada kejadian buruk yang sudah menimpanya.

"Ke mana kita akan pergi, Kak?" Suara lembut Adelia menyapu telinga Bram yang terus bersikap waspada terhadap sekelilingnya. Hati Bramastyo berdesir halus, membuatnya sedikit terbatuk untuk mengusir gugup yang tiba-tiba menghadangnya.

"Pulanglah, Del. Atau kamu memilih untuk menetap di rumah sakit?" Bramastyo melirik sekilas ke arah Adelia. Ah, adikku ini sudah semakin dewasa, semakin cantik pula. Gumam Bramastyo dalam hati. Bramastyo sesaat merasa tidak rela, saat membayangkan kelak, akan ada pria yang akan mempersunting adiknya ini. Ia mendadak menjadi egois. Ia ingin memiliki Adelia sendiri, tidak mengijinkannya menikah dengan siapa pun kecuali ... Di-a. Wow! What a bad brother!

-0-

Bramastyo membawa satu koper yang berisi pakaian Adelia selama di rumah sakit. Adelia tercengang ketika kakinya pertama kali menapak halaman luas yang membentang di depannya. Sebuah rumah yang hampir mirip seperti kastil berdiri gagah di depannya. Rangkulan Bramastyo di kedua pundaknya, menuntun langkah kakinya untuk kembali berjalan. Gumam kekaguman terus saja bersuara dalam batinnya. Ia tidak pernah menyangka, jika akhirnya ia bisa merasakan berada dalam sebuah bangunan yang super mewah dan sangat indah.

Langkah kakinya menjadi ragu ketika pintu besar itu di dorong Bram dengan sekali tekanan, sehingga tampaklah ruangan yang sangat luas dengan beraneka perabot berkelas. Bram sejenak menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Ayo! Apa kau tidak ingin segera bertemu dengan papa dan mama?"

Adelia menatap Bram. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Langkahnya begitu pelan, seakan takut jika tekanan kakinya akan memecahkan lantai marmer yang ada di bawah kakinya. Tanpa ia sadari, tangannya mencengkeram erat bagian bawah dress yang ia pakai. Cengkeraman yang penuh dengan amarah yang ingin segera ia luapkan.

Namun, tiba-tiba rangkulan Bram membuyarkan semua emosi terpendam yang beberapa saat lalu mendominasi dirinya. Adelia menatap lekat sosok pria di sampingnya. Apakah aku mengenal pria ini? Sejenak Adelia termangu, mencari sisa memori yang tertinggal di otaknya, tentang pria di sampingnya yang bernama Bram itu.

Adelia seketika merasa pusing. Tubuhnya limbung lalu jatuh ke tanah. Bram terkejut. Rangkulannya yang tiba-tiba mengendor, membuat tubuh Adelia merosot dengan cepat. Bram langsung menarik tangan Adelia, sebelum tubuh gadis itu sepenuhnya menyentuh tanah, dan dengan cepat, membawa tubuh lemah Adelia ke dalam pelukannya. Ia dengan sigap membawa Adelia ke dalam kamarnya, dan membaringkan tubuh lemah itu ke atas pembaringan. Bram segera menghidupkan pemanas. Suhu udara yang begitu dingin membuat tubuh Adelia yang kurus, sedikit bergetar. Bram mengambil beberapa selimut yang ada di lemari, lalu membungkus tubuh Adelia dan memasangkan kaos kaki miliknya ke kedua kaki Adelia yang sudah pucat dan dingin.

Adelia merasa begitu kedinginan. Ia mencoba membuka matanya. Gelap. Ia tidak bisa melihat apa pun. Dibukanya lebar-lebar kedua matanya, akan tetapi tidak ada seberkas cahaya pun yang dapat ditangkap olehnya. Gelap dan dingin. Adelia merasa badannya mulai menggigil hebat, ia sudah mulai kesulitan bernafas. Kepanikan mulai melanda dirinya.

Mati. Aku pasti segera mati. Oh, Tuhan. Tolong aku! Aku masih belum siap untuk mati. Adelia berbicara sendiri dalam hati. Batinnya terus menolak untuk mati. Pikirannya sudah mulai kacau. Ia sudah kesulitan bernafas. Rasa dingin sudah begitu menyiksa tubuh kurusnya.

"Adeliaaaa..." Suara seperti bisikan, terdengar samar di telinga Adelia. Antara sadar dan tidak, Adelia mendengar seseorang memanggil namanya, yang membuatnya termangu.

"Adeliaaa..." Kembali suara itu menyapa telinga Adelia. Gadis itu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tempatnya berada, namun tidak adanya cahaya di ruangan itu, membuat dirinya kesal. Suara siapa itu, gumam Adelia dalam hati.

"S-Ssiapa kau?" suara Adelia terdengar seperti cicitan tikus kecil yang ketakutan.

Suara bisikan itu terdiam, membuat Adelia semakin ketakutan.

"Adelia. JIka kau ingin bertemu kembali dengan keluargamu, maka kau harus patuh pada perintahku. Kau harus bersedia melakukan apapun yang kuperintahkan padamu."

Ap-Apa?! Teriak Adelia dalam hati. Tenggorokannya seketika tercekat. "Keluarga? Keluarga yang mana? Aku hanya punya Ibu dan adik, yang aku sendiri tidak tahu keberadaannya. Kau jangan mencoba mengancamku!" Teriak Adelia dengan suara bergetar yang tertahan. Ia tidak ingin orang itu, suara yang mengajaknya bicara saat ini, mengetahui ketakutan dan kelemahannya.

Suara itu tiba-tiba berubah menjadi suara gelak tawa yang mengerikan."Apa kau mencoba bermain denganku? Apa kau mengira jika kau bisa mengelabuiku?"

Adelia menelan salivanya bulat-bulat hingga membuatnya nyaris tersedak parah. Astaga! Apa yang sebenarnya sedang menimpaku? Aku sekarang sedang ada di mana? Suara itu, suara siapa? Adelia bingung dengan dirinya sendiri, bingung dengan keadaan yang ada di sekelilingnya saat ini.

"Kau sekarang terikat denganku. Jika kau ingin terbebas dariku maka kau harus mengikuti semua perintah dan keinginanku. Apa kau mengerti, gadis bodoh?" Suara bisikan itu kini berubah menjadi lengkingan yang begitu memekakkan telinga Adelia.

"Aaaargh! Hentikan! Hentikaaan! Sakiiit! Aaaargh!" Adelia menjerit kesakitan sambil menutupi kedua telinganya. Namun, suara lengkingan itu tidak juga sirna.

"Katakan 'Ya', maka aku akan menghentikan suara itu. Jika tidak, aku akan terus menyiksamu hingga kau tidak lagi bisa berhenti berteriak kesakitan. Aku akan terus menyiksamu hingga akhirnya kau setuju dengan permintaanku."

Suara itu kembali berubah menjadi suara lengkingan yang mengerikan. Adelia kembali berteriak-teriak kesakitan. Ia sampai harus berguling-guling di lantai demi mengurangi rasa sakit yang menderanya.

"Aaaargh! Baiklah. Baiklaaah! Hentikan suara lengkinganmu yang menyeramkan itu! Aku akan mengabulkan permintaanmu. Hentikan sekarang juga! Aaaaaargh!" Adelia jatuh tersungkur. Nafasnya terengah-engah. Keringat bercucuran membasahi seluruh wajah dan pakaiannya.

Suara lengkingan itu tiba-tiba lenyap, setelah Adelia setuju untuk melakukan permintaan suara itu. Ia duduk di lantai dalam ruangan gelap yang sama. Ia tidak tahu akan seperti apa perintah yang harus ia lakukan. Siapa yang menjadi musuhnya pun dirinya tidak tahu?

Yang ia pikirkan saat ini hanyalah, bagaimana suara lengkingan mengerikan itu tidak lagi terdengar di telinganya, dan tanpa ia sadari, ia telah membuat perjanjian hidup dan mati dengan sosok asing yang tidak ia kenal.

"Apakah kau sudah siap dengan tugas pertamamu?" Suara itu datang lagi.