webnovel

Ada Apa Dengan Bram?

"Kakaaak!" Adelia menjerit histeris. Payung yang baru saja diberikan Mike kepadanya terbang terbawa angin yang saat itu bertiup sangat kencang. Suara angin bersama dengan hujan yang turun begitu deras, mendatangkan rasa ngeri setiap orang yang mendengarnya.

Dalam derasnya hujan, mereka berlima berjuang melewati guyuran air hujan yang begitu deras dan terpaan angin yang berhembus kencang, menuju pondok yang baru saja mereka tinggalkan. Bram melindungi Adelia dalam pelukannya, berjalan tertatih hingga akhirnya mereka berhasil masuk ke dalam pondok. Suara angin yang menderu dan gumpalan hitam yang memayungi mereka, mendatangkan suasana yang cukup mencekam di sana.

Pakaian mereka semua basah kuyup. Mike segera membuka satu bilik kamar yang ada di sana dan mempersilakan Bram dan Adelia untuk masuk ke dalam. "Ada beberapa potong pakaian untuk Nona Adelia dan ada satu kaos dan satu celana untuk Tuan Muda. Semoga saja ukurannya pas semua dengan postur Tuan Muda."

Bram segera berjalan mendekati sebuah lemari yang cukup besar, yang berada di sudut kamar. Ia mencari handuk untuk mengeringkan badan Adelia yang basah kuyup. "Kamu keringkan badanmu dan segera ganti pakaianmu dengan salah satu pakaian yang ada di lemari itu. Kakak ke luar dulu," ucap Bramastyo sembari menyerahkan satu handuk berukuran cukup besar pada Adelia, sedangkan dirinya mengambil satu kaos oblong berwarna putih dan sebuah celana jeans biru yang terletak di salah satu rak dalalm lemari itu.

Beberapa langkah setelah ke luar dari bilik itu, Bramastyo meminta Jack menyiapkan air panas untuk mandi Adelia. "Sudah saya siapkan, Tuan Muda. Sebentar lagi siap untuk digunakan Nonda Adelia.

Tanpa menunggu air itu mendidih, Bramastyo segera mematikan kompor dan membawa teko yang berukuran cukup besar itu, ke dalam bilik kamar Adelia yang teryata dilengkapi satu kamar mandi kecil di dalamnya.

"Mandilah. Jangan lupa untuk membasahi kepala dan rambutmu agar kamu nanti tidak sakit."

Adelia mengangguk patuh. Sepeninggal Bram, Adelia bergegas membersihkan badannya dan mengenakan pakaian kering yang ada di lemari bilik tersebut. Gigi Adelia bergemeletuk. Ia menahan hawa dingin yang masuk lewat jendela yang terbuka sedikit. Pemandangan di luar sana begitu menakutkan. Ia dengan cepat menutup jendela itu, lalu berjalan ke luar bilik menemui Bramastyo.

Begitu melihat Adelia ke luar dan sudah berganti pakaian, Bramastyo segera menyuruh gadis itu untuk duduk di sampingnya, sambil menyerahkan segelas minuman panas kepadanya.

"Kira-kira kapan badai ini akan reda?" Bram tampak tidak sabar. Cuaca seperti ini membuat dirinya tidak tenang. Ada rasa was-was yang selalu menekan sudut hatinya. Memorinya selalu saja terbayang peristiwa beberapa tahun yang lalu saat Adelia hilang. Saat itu, cuaca sedang sangat tidak bersahabat, sama persis dengan cuaca yang berlangsung saat ini.

Pyaaar!

Gelas yang berada dalam genggaman Adelia terjatuh, mengejutkan mereka semua yang ada di ruangan itu. Tubuh Adelia bergetar hebat. Bramastyo dengan cepat membawa Adelia ke dalam dekapannya.

"Sudah, tidak ada apa-apa. Kau tidak sendiri. Ada banyak orang yang melindungimu. Kau tidak lagi sendiri." Bramastyo mendekap erat tubuh Adelia yang masih gemetaran. Isak tangis kecil tertangkap indera dengarnya, membuat Bramastyo menepuk-nepuk pelan punggung Adelia.

"Kondisi Nona sangat tertekan, Tuan. Waktu pertama kali saya temukan, Nona juga menjerit-jerit histeris. Tampaknya ada kejadian yang begitu membekas di ingatan Nonda dan menciptakan trauma tersendiri ketika keadaan atau situasi di sekitarnya mirip dengan kejadian masa lalu yang menimpa Nona."

Tubuh Bramastyo menegang. Kejadian seperti apa yang sudah menimpa adik semata wayangnya hingga meninggalkan trauma seperti ini? Bramastyo terus saja menepuk lembut punggung Adelia. Ia terus berusaha menenangkan Adelia yang masih terisak nangis.

"Jack! Kau harus segera menyelidiki kejadian delapan tahun lalu."

"Siap, Tuan."

Getaran tubuh Adelia perlahan mulai berkurang. Adelia jatuh tertidur. Bramastyo segera membawa tubuh Adelia dan membaringkan tubuhnya ke atas pembaringan beralasankan bebeapa lembar tikar di satu-satunya bilik yang ada di pondok itu.

"Kapan badai ini akan reda?" Bramastyo membuka sedikit daun pintu, untuk melihat keadaan di sekitar mereka. Awan pekat yang sebelumnya memayungi daerah itu, kini perlahan mulai menghilang. Intensitas turunnya hujan tidak lagi sederas tadi.

"Kalau dilihat dari cuaca sekarang, kita sudah bisa berangkat satu atau dua jam lagi, Tuan. Saya akan mengecek mesin dulu. Semoga tidak ada kendala." Joni sang pilot beranjak dari duduknya, berjalan ke luar pondok untuk mengecek keadaan helikopternya.

Dua jam kemudian, Joni berhasil membawa rombongan terbang kembali ke Jakarta. Karena kondisi Adelia yang begitu lemah, Bramastyo langsung membawa Adelia ke rumah sakit terlebih dahulu. Begitu Adelia mendapatkan perawatan intensif, Bramastyo membuat panggilan ke orang tuanya. Cukup lama dirinya harus menunggu, hingga akhirnya suara yang sangat ingin ia dengar, terdengar di ujung sana.

"Halo?"

*Ada apa malam-malam begini menelpon?

Suara berwibawa terdengar di telinganya.

"Pa! Jika Bram meminta Papa dan Mama datang ke rumah sakit sekarang juga, apakah Papa keberatan?"

*Siapa yang sakit?

Terdengar nada khawatir dari pria yang dipanggil Papa oleh Bramastyo.

"Jika papa tidak keberatan, Bram tunggu di ruang intensif rumah sakit CMI sekarang juga." Pria muda itu langsung menghentikan panggilannya karena sebuah tepukan di pundaknya.

"Ada yang harus saya bicarakan dengan Anda." Dokter berkacamata dengan kulit kekuningan sudah berdiri di belakang Bramastyo.

Bramastyo mengangguk cepat dan segera mengikuti langkah sang dokter menuju ruang prakteknya.

-0-

"Ma! Mama! Bangun, Ma! Papa mau ke rumah sakit." Albert menepuk-nepuk pipi istrinya yang masih terlelap.

"Maa! Aduh, Mama ini kalau sudah tidur susah sekali dibangunin. Cepat bangun, Ma. Atau Papa tinggal di rumah sendiri loh??!" Ancaman yang cukup berhasil. Camelia langsung terbangun. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu membuka matanya, melihat sang suami yang kini tengah mengenakan sweater kesayangannya.

"Sayang, Kamu mau ke mana?" Camelia menyingkirkan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya, lalu berjalan menghampiri suaminya.

"Bram. Anakmu ada di rumah sakit sekarang. Ia meminta kita untuk datang menemuinya di sana."

"Apa?!! Bramastyo masuk rumah sakit??/ Kenapa dia, Pa? Apakah dia kecelakaan dan sekarang sedang koma atau ada yang patah dengan tulangnya?" Bicara Camelia mulai melantur.

"Huush! Mama ini! Tengah malam begini jangan melawak! Kalau dia kecelakaan dan dalam keadaan koma, bagaimana mungkin dia bisa menelpon Papa, dan meminta Papa untuk datang menemuinya?"

"Bisa saja, Pa. Bagaimana jika ia memang benar-benar koma dan yang menelpon Papa tadi adalah jiwa anak kita yang meminta pertolongan pada kita?" Camelia semakin menjadi, membuat Albert merasa merinding.

"Mama! Bram tidak sedang terluka, patah tulang atau pun koma. Dia sedang melahirkan!!"

"Apaaaa??!!