webnovel

BAB 3 : HARGA DIRI

"Bajingan lo Sabiru, lo kira dengan cara bunuh diri semuanya selesai?" Rafa menarik Sabiru dari bibi gedung yang tinggi itu. Sabiru terseret hingga terjatuh kebawah bersamaan dengan Rafa.

"Lepasin gua Fa. Gua lebih baik mati, gua ngga bisa bahagiakan Karin, gua sudah hancurkan kehidupan dia, gua bajingan benar seperti apa yang lo katakana tadi. Gua ngga berhak hidup Fa." Sabiru terus memberontak mencoba melepaskan cengkraman Rafa.

"LEPASIN GUA RAFA!!!" Teriak Sabiru, ia berhasil terlepas dan kembali berlari kearah tempat ia akan melakukan bunuh diri.

"Lo berani lompat, berarti lo pengecut Biru, lo kalah sama keadaan. Dan lo juga kalah dari bokap lo. Mana Sabiru yang gua kenal. Sabiru yang akan membuktikan ke bokapnya bahwa dia bisa hidup mandiri, bahwa tidak akan pernah kalah dengan semua ancam-ancam yang dia berikan. Sabiru yang saat ini ada di depan gua ini adalah Sabiru yang sudah kalah. Dan ucapan bokap lo bisa saja benar, bahwa lo adalah pembunuh Dwi." Mendengar apa yang di katakan Rafa membuat Sabiru menjadi lemah, tak ada lagi kekuatan yang hadir dalam dirinya. Dwi nama yang tidak bisa pergi dalam pikirannya, dan kini Rafa kembali mengingatkannya dengan hal pahit itu.

Saat itu Dwi tengah menunggu kedatangan Sabiru di rumahnya, tapi seseorang tiba-tiba saja membekap mulutnya hingga pingsan, tidak hanya itu Dwi juga ditemukan sudah tak bernyawa dan tak berbusana di depan rumanya. Sabiru yang menemukan Dwi untuk pertama kalinya. Tak ada bukti siapa pelaku pembunuhan itu, semua CCTV yang diperiksa oleh pihak berwajib telah terhapus, tak ada jejak sama sekali. Sabiru adalah tersangka terakhir yang pihak berwajib curigai, namun sama sekali tak ada bukti. Hingga kini kasus itu masih menjadi misteri.

Sabiru kini menangis, tubuhnya ia biarkan terperosot di lantai rooftop itu, ada perasaan lega dalam hati Rafa. Setidaknya dengan cara inilah ia bisa mencegah Sabiru melakukan aksi gila itu. Meskipun mereka berdua sering bertengkar, Sabiru dan Rafa adalah sahabat yang benar-benar bisa saling menjaga.

"Sorry gua kebawa emosi tadi. Lo tahu sendiri Karin adalah sahabat sekaligus udah gua anggap sebagai adik dan gua ngga bisa liat dia terbaring lemah dirumah sakit seperti itu. Dan gua juga ngga akan biarin lo ngelakuin hal bodoh seperti itu Biru. Lo cowok yang kuat, dan lo ngga boleh mati dulu." Rafa mengulurkan tangannya mengajak Sabiru untuk berdiri, Sabiru menerima uluran tangan itu hingga ia kini sudah tepat berdiri di hadapan Rafa, Sabiru lantas langsung memeluk Rafa dengan sangat erat.

"Thanks Fa."

****

Rumah sakit itu seketika gaduh, saat Maharani dan Putra datang, kedua pasangan suami istri itu dengan penuh emosi masuk kesebuah kamar pasien, Karin. Karin yang masih tertidur lemah dengan air mata yang masih menetes itu terkejud melihat ibu dan ayahnya tiba-tiba datang dengan wajah yang tidak ia harapkan.

"Kamu itu sampai kapan sih buat malu keluarga?" Ujar Maharani dengan begitu kasarnya, bukannya datang mengkhawatirkan sang anak, dia justru malah mementingkan harga diri. Tak hanya Maharani, Putra pun ikut-ikut menyalahkan Karin.

"Bu, sabar dulu ya, Karin baru saja siuman Bu. Dia butuh istirahat!" Indah yang merasa kasihan dengan Karin, mencoba menghentikan omelan-omelan kedua orang tuanya Karin, namun sayang hal itu tidak berarti apa-apa. Malah Indah yang kena omelan balik dari Maharani.

"Kamu diam saja, ini urusan saya dengan Karin, lebih baik kamu keluar sekarang." Bentak Maharini, yang sekaligus adalah guru dari Indah.

"Tapi Bu?"

"Cepat keluar sekarang!" Indah menunduk dan berangsur meninggalkan Karin yang kini menatapnya dengan tatapan meminta Indah untuk tidak pergi. Indah benar-benar sudah berada diluar, tapi telinganya masih mencoba mendengarkan perdebatan yang ada di dalam. Air matanya tiba-tiba saja menetes, bagaimana bisa ada seorang ibu dan ayah yang setega ini kepada anaknya.

"Kamu mau buat malu Mama, bagaimana omongan orang diluar sana nanti Karin, bagaiamana nanti omongan para guru-guru. Reputasi Mama dan Papa bagaimana Karin. Belum lagi bakalan ada gosip anak kepala sekolah berusaha bunuh diri karena di putusin pacarnya. Mau di taruh mana muka Mama?"

"Ma, kapan sih Mama berhenti sama reputasi, sebenarnya Karin ini anak Mama sama papa bukan sih? Bahkan Mama sama Papa ngga peduli dengan keadaanku. Aku butuh orang di sisi aku aja ngga ada Ma, bukannya meluk aku terus menguatkan kayak orang tua lain diluar sana. Ini ngga malah mentingin reputasi. Mending Mama sama Papa ngga usah repot-repot ke sini. Dari pada bikin aku malu-maluin Papa sama Mama."

"Kurang ajar ya kamu!" Teriak Maharani.

"KELUAR!!!" Teriak Karin, teriakannya itu bahkan membuat suster masuk kedalam.

"Suster tolong suruh mereka keluar, saya tidak bisa istirahat Sus." Suster itu pun meminta Maharani dan Putra untuk keluar, dengan terpaksa pun mereka berdua keluar. Indah yang sudah memiliki kesempatan untuk masuk segera masuk kedalam memeluk Karin yang kini tengah menangis, tak tahan lagi dengan kelakuan kedua orang tuanya itu.

"Dulu dosa gua apa sih Ndah, kenapa hidup gua sekarang sesengsara ini, sakit Ndah. Lo kenapa bantuin gua sih. Seharusnya lo biarin gua mati, biar gua tenang ngga ngerasain rasa sakit hati seperti ini." Karin sesegukan menangis di pelukan Indah. Hidupnya memang benar-benar pahir. Kedua orang tuanya tidak pernah ada untuknya selalu saja mengejar karir. Putra adalah seorang pengusaha terkenal yang bahkan seluruh penjuru kota mengenal namanya, sedangkan Maharani adalah seorang kepala sekolah di sekolah Menengah Atas terkenal di Jakarta. Sekolah yang selalu menjadi panutan sekolah-sekolah lain karena prestasinya.

"Sabar ya Rin, gua yakin lo itu kuat. Gua bakalan ada di sisi lo, gua ngga bakalan biarin lo ngelakuin hal bodoh itu lagi." Indah menghapus air mata yang mengalir di pipi Karin, dia kali ini benar-benar berjanji akan menjaga Karin, dia tak ingin sahabat satu-satunya ini harus kesakitan lagi.

****

Sabiru masuk kesebuah rumah yang sangat besar itu, ada beberapa pengawal yang sedang berjaga, mereka mengizinkan Sabiru untuk masuk kedalam rumah itu. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti saat mendengar percakapan Ayahnya dengan seseorang di balik telepon genggamnya.

"Apapun itu, habisi semua orang yang mengganggu usaha-usaha saya. Dan satu lagi, jangan lupa selalu awasi perempuan itu, jangan sampai perempuan itu bertemu lagi dengan Sabiru, halangi mereka untuk bertemu. Kalau dia memaksa, habisi saja nyawa." Ujar Joivano dengan tegas, sebelum akhirnya menenggak bir yang sudah berisi es agar semakin nikmat saat di nimati. Sementara Sabiru, kini meremas tangannya geram dengan kelakuan ayahnya yang sama sekali tak pernah berubah.