webnovel

Sudah Terlanjur

[Jadi udah ... biarin aja Dennis berpikir seperti itu, biarkan orangtua kamu juga berpikir seperti, biar kita tidak perlu banyak mengucapkan kata.]

Diandra diam tak menjawab ucapan Rafli lagi.

[Sekarang kita hanya perlu memikirkan seseorang atau dia yang tadi kamu maksud itu siapa, takutnya mereka nanya sama kita orang itu siapa, terus kita juga harus mikir alasannya apa kenapa orang itu melakukan itu pada kita.]

"Tadi Dennis juga nanyain itu kok sama aku," ucap Diandra.

[Hm? Terus kamu jawab apa?]

"Ya aku jadinya bohong sama dia, Raf ...."

[Bohong apa?]

"Aku bilang kalau orangnya udah gak tau ada dimana sekarang, orang itu kabur dan gak ninggalin jejak sama sekali. Dennis sempet marah juga waktu aku jawab begitu, tapi setelah itu ya udah ... mau gimana lagi," ucap Diandra.

[Terus alasannya? Kamu kasih jawaban apa?]

"Kalau itu aku gak kasih alasan kenapa dia melakukan itu sih, aku diem aja ... itu si Dennis sendiri sih yang berasumsi yang enggak-enggak, aku gak jawab apa-apa," ucap Diandra lagi.

[Dia berasumsi apa?]

"Dennis mikirnya sih dia itu suka sama aku tapi aku tolak, terus karena sakit hati, dia ngejebak kita, terus si Dennis mikir alasan lain juga sih."

[Apa?]

"Aku pernah nyakitin perasaan dia dengan kata-kata kasar, terus karena sakit hati dikatain, dia balas dendam dengan cara seperti itu," ucap Diandra, "Aku sih nangkepnya si Dennis ini mikirnya orang itu ngelakuin itu ke aku biar masa depan aku hancur. Iya gak sih si Dennis mikir kayak begitu? Tau ah! Aku pusing, Raf."

[Kemungkinan besar sih memang seperti itu, Dii ... tapi ya udahlah, bagus kalau kayak begitu, kita juga kan jadinya gak terlalu banyak berbicara sama orangtua kamu karena udah diwakilin sama Dennis, kita tinggal ngikutin alur yang udah Dennis ciptakan aja.]

"Tapi, Raf ... hubungan kita dimulai dengan sebuah kebohongan kayak begini," ucap Diandra.

[Ya terus mau gimana lagi, Dii? Udah terlanjur! Ibarat kata kita udah terlanjur nyebur dan kita udah basah kuyup.]

"Masih bisa kok, Raf ... belum terlalu basah, masih setengahnya. Aku bisa jujur sama orangtua aku," ucap Diandra.

[Kalau kamu jujur, pengorbanan yang aku lakuin tadi di rumah kamu akan sia-sia Diandra. Orangtua kamu juga pasti akan lebih memilih Andra dibanding aku! Karena Andra lebih segalanya dari aku, dia punya orangtua yang lengkap, pekerjaan yang juga sudah pasti tetap karena hubungannya dia dengan Alfa sangat baik, mereka bersahabat! Sedangkan aku? Aku yatim piatu Diandra, aku juga bisa kapan aja diberhentikan kerja kalau melakukan sebuah kesalahan yang fatal, tapi sebisa mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi, aku akan kerja sebaik mungkin untuk kamu, tapi kalau kamu jujur, semua yang aku lakukan tadi di rumah kamu itu akan sia-sia.]

"Jadi? Kamu malah mau menenggelamkan diri kamu dan basah semua bersama aku?" tanya Diandra

[Iya.]

Diandra tersenyum saat mendengar Rafli berucap. "Kamu serius mau menerima aku apa adanya? Menerima aku yang udah gak gadis lagi bahkan sekarang aku sedang berbadan dua."

[Iya ... aku menerima kamu apa adanya, mau kamu masih gadis atau enggak, aku gak peduli, aku tetep mau sama kamu.]

"Raf? Kamu juga mau menerima anak ini? Anak ini kan bukan anak kamu, Raf ... tapi anaknya dia, kamu yakin ... benar mau jadi ayah dari anak ini?" tanya Diandra lagi

[Astaghfirullahaladzim, Dii ... aku udah ngelangkah jauh sama kamu ya masa aku gak yakin. Lagian harus berapa kali aku bilang sama kamu kalau itu anak aku! Bukan anaknya Andra! Aku tekankan lagi, itu anak aku!]

Diandra tersenyum. "Makasih ya, Raf ... kamu datang di waktu yang tepat banget, aku janji kalau aku gak akan pernah sia-siain ketulusan kamu, aku gak akan pernah nyakitin hati kamu," ucap Diandra.

Tok tok tok

Diandra sontak langsung melihat ke arah pintu saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Dii? Diandra?"

Diandra menelan salivanya saat mendengar suara sang ibu. "Raf? Mama panggil aku, aku matiin dulu ya," ucap Diandra.

[Jangan di mat—]

Pip_

Diandra langsung mematikan sambungan teleponnya sebelum menjawab ucapan Rafli, dia lalu berjalan mendekati pintu kamar hendak membukanya.

***

Beberapa menit sebelumnya.

Setelah berbicara dengan sang Kakak dan kakaknya itu sudah masuk ke dalam kamarnya, Dennis juga berjalan ke arah kamar, bukan ke kamarnya yang berada di lantai atas di samping kamar Diandra, tetapi dia pergi ke kamar orangtuanya yang berada di bawah tangga.

Tok tok tok

Ceklek

Dennis membuka pintu kamar orangtuanya walau tak ada jawaban dari si pemilik kamar. "Paa? Maa?" panggil Dennis menyembulkan kepalanya. Dia melihat sang Ayah yang tengah terduduk di tepi ranjang sedang sang Ibu di kursi meja rias, mereka tengah terdiam tak mengobrol apapun.

"Dennis masuk ya?"

Keduanya masih terdiam dengan pandangan melihat ke arah Dennis.

Dennis tetap masuk walau kedua orangtuanya itu tidak menjawabnya, dia langsung berjalan ke arah ranjang dan terduduk di sebelah Faisal.

"Dennis mau ngomong sama kalian," ucap Dennis yang kini sudah terduduk di samping Faisal.

"Mau ngomong apa? Masalah Kakak kamu?" tanya Faisal. "Udahlah ... Papa males ngomongin dia! Stress Papa! Kakak kamu tuh perempuan—"

"Pa?" sela Dennis memotong ucapan Faisal. "Kak Dian juga di sini korban," ucap Dennis.

Faisal sontak langsung menatap putranya itu. "Korban apanya? Mereka melakukan itu atas dasar suka sama suka! Atau mungkin Kakak kamu duluan yang dengan murahannya dia godain si Rafli duluan, dari tadi dia terus mengatakan kalau si Rafli itu gak salah, itu artinya dia yang memulai duluan!" ucap Faisal dengan nada lumayan tinggi karena emosinya mulai meluap lagi.

"Enggak! Salah!" ucap Dennis. "Kok Papa bisa sih mikir kayak begitu? Kak Dian anak Papa loh, Papa yakin Kak Dian kayak begitu? Yakin anak perempuan yang Papa besarkan sebaik mungkin jadi perempuan kayak begitu?" tanya Dennis. "Yakin Kak Dian yang lebih dulu menggoda Kak Rafli? Ck! Kok bisa sih Papa mikir kayak begitu? Kak Dian anak perempuan Papa loh, selama ini dia juga gak pernah macem-macem, dia gak pernah cacat di mata kalian! Dia juga bukan tipe orang yang kayak begitu, masa Papa sama Mama udah ngejudge anak kalian begitu aja."

"Nyatanya Kakak kamu itu hamil sebelum ada ikatan pernikahan Dennis!" ucap Amira bersuara.

Dennis sontak langsung melihat ke arah ibunya yang terduduk di kursi meja rias.

"Dia hamil dan dia juga berkali-kali mengatakan kalau Rafli gak salah! Itu artinya dia yang memulai lebih dulu!" ucap Amira penuh emosi. "Itu artinya Kakak kamu yang menggoda lebih dulu dan yang ngasih secara gratis!"

Bersambung