webnovel

Direstui

"Kalau kalian gak suka sama Rafli dan gak ngebiarin Rafli nikahin aku ya udah ... besok kita gugurin janinnya, paling nanti aku juga ikut mati!" ucap Diandra merasa kesal.

"Kamu apaan sih? Emang Mama sejahat itu apa di mata kamu hah?" tanya Amira.

Diandra diam tak menjawab ucapan sang ibu lagi dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kamu suruh si Rafli hari ini, sekarang juga kesini! Mama tunggu dia sampe sore! Kalau sampe sore dia gak ada kesini, jangan harap kalian bisa nikah! Kamu pergi dari rumah ini selamanya! Gak usah balik-balik lagi!" ucap Amira, dia berbalik dan pergi, Faisal juga yang tadi berdiri di belakang sang istri ikut berbalik dan melangkahkan kaki pergi. Kecuali Dennis, dia mendekati Diandra.

"Tugas aku sebagai adek laki udah selesai ya ... sekarang giliran kakak yang usaha, suruh Kak Rafli kesini secepat mungkin biar kalian di restui dan masalah kalian selesai. Kakak tentu gak mau kan anaknya lahir tanpa bapak, jadi cepetan suruh dia kesini." ucap Dennis, dia lalu menepuk pelan bahu Diandra lalu setelahnya berjalan ke arah kamarnya yang berada di samping kamar Diandra.

Diandra masih berdiri di tempatnya, dia speechless, kaget dan tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Ini seriusan? Mereka restuin hubungan aku sama Rafli?" gumam Diandra.

Diandra lalu berbalik dan berjalan masuk ke dalam kamarnya, dia mengambil handphone di atas kasur hendak menghubungi Rafli.

Diandra hendak menyalakan handphone namun telepon genggamnya itu malah mati. "Ck! Astaghfirullahaladzim ... please kenapa sih, kenapa ini handphone matinya gak tau tempat? Ck! Aku sih yang salah ... aku lupa charger semalem," gumam Diandra.

Beberapa menit kemudian.

Diandra terduduk di tepi ranjang dan menatap layar handphonenya hendak menghubungi Rafli.

Tuuttt tuuutttt

Terdengar nada dering tersambung yang tak kunjung diangkat juga. "Kok gak diangkat-angkat sih? Ayo dong, Raf ... angkat ...." gumam Diandra seraya menggigit ujung kukunya. "Astaghfirullahaladzim ... lama banget sih," ucap Diandra tak tenang hati saat panggilan teleponnya tak kunjung diangkat juga.

[Halo, Dii? Kamu gak pa-pa kan] tanya Rafli di seberang telepon sana.

Diandra menelan salivanya saat mendengar suara Rafli, suara pria yang berada di seberang sana sebentar lagi akan menjadi suaminya. "Aku gak pa-pa, Raf," ucap Diandra dengan nada gemetar menahan tangis haru.

[Serius kamu gak pa-pa?]

'Aku ceritain nanti aja deh kalau dia udah ke sini biar jadi surprise,' batin Diandra berucap. "Iya, serius aku gak pa-pa, kamu bisa ke sini sekarang?"

[Ke ... ru–mah ka–mu maksudnya?] Terdengar nada suara Rafli yang terlihat terbata.

Diandra yang mendengar sontak langsung mengatupkan bibir menahan senyum, matanya sudah berkaca-kaca menahan haru. "Iya, ke rumah aku ... sekarang."

[Ini aku udah di jalan mau ke rumah kamu kok,]

Diandra sontak langsung mengerutkan alis. 'Lah ... dia udah dijalan? Kan aku baru nyuruh, kok udah di jalan aja, gercep amat,' batin Diandra berucap. 'Gak pa-pa, itu artinya dia serius sama aku,' batin Diandra berucap lagi. "Ya udah ... aku tunggu ya." ucap Diandra pada Rafli.

[Iya, gak lama lagi aku sampe.]

"Aku tunggu di depan pager," jawab Diandra.

[Iya, Sayang.]

Pip!

"Hm? Dia ... panggil aku sayang?" gumam Diandra, dia mengatupkan bibir menahan senyum saat Rafli memanggilnya dengan panggilan sayang. Diandra lalu bangun dari duduknya dan berjalan ke arah meja rias. Dia menatap diri dalam cermin dan berkaca, lalu setelahnya keluar dari kamar.

Diandra berjalan menuruni anak tangga, melihat rumahnya dari tengah anak tangga yang terlihat sepi, dia juga melihat ke arah kamar ayah dan ibunya yang berada di lantai dasar di bawah tangga saat sudah berada di lantai dasar, melihat kamar itu yang tertutup rapat.

"Untung mama sama papa di kamar, kalau di depan kan aku canggung mau keluarnya," gumam Diandra, dia lalu berjalan ke arah pintu utama rumahnya dan keluar dari rumah.

Diandra berjalan ke arah pintu pagar dan berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Tak berselang lama, dari arah jauh, Diandra melihat mobil yang tak asing dia lihat, mobil yang tadi Rafli bawa.

"Lahh ... beneran udah di jalan tadi? Cepet amat ... belum sepuluh menit loh, udah sampe aja tuh orang, secinta itukah dia? Dia mau sama aku bukan karena kasian doang kan? Ck! Diandra! Dia udah mau berkorban! Sabisanya masih ragu," gumam Diandra.

Mobil yang dikendarai Rafli itu akhirnya menepi di depan Diandra, terlihat wajah panik dan khawatir di wajah Rafli, pria itu bahkan langsung berjalan cepat menghampiri Diandra, membuat Diandra ingin tertawa melihat mimik wajah Rafli.

"Kamu kok di luar? Ngapain?" tanya Rafli. "Dii? Kamu ... gak di usir kan?" tanya Rafli.

Diandra mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku gak diusir," jawab Diandra dengan nada santai.

Terlihat Rafli yang mengerutkan alis. "Dii? Kok kamu kayak santai? Kamu gak ... stress kan?" tanya Rafli.

Diandra yang tadi tersenyum sontak langsung memasang wajah yang kesal, matanya sedikit menyipit dan bibirnya mengerucut kesal.

"Aku sehat ya, Raf!" ucap Diandra.

"Terus kenapa? Kita sedang dalam masalah loh, tadi juga waktu di telepon suara kamu kayak mau nangis, lah ini kenapa malah senyum-senyum? Ya kan aku jadi mikir yang enggak-enggak, masa iya disaat seperti ini kamu masih sempet senyum-senyum kayak begini," ucap Rafli.

"Kayaknya aku beneran stress, Raf ... aku gila!" ucap Diandra memasang wajah iba dan terlihat kasihan pada Rafli. Dia mendekati Rafli dan melingkarkan tangannya memeluk Rafli.

"Kamu apaan sih? Gak boleh git dong, harus yakin kalau kita pasti bisa kok lewatin ini semua," ucap Rafli.

Diandra melepaskan pelukannya dan menatap Rafli, dia masih menatap Rafli dengan wajah ibanya mengerjai Rafli.

"Tolong dong, Dii ... jangan kayak begitu, jangan buat aku takut. Aku sayang banget sama kamu, aku cinta sama kamu, kamu jangan kenapa-kenapa, aku janji sama kamu kalau aku bakalan terus berusaha kok, aku bakalan terus berusaha biar kita bisa sama-sama nanti."

Diandra menunduk dan tersenyum, tak tahan ingin tersenyum dan tertawa saat mendengar Rafli berucap.

Diandra lalu kembali menatap Rafli lagi. "Kalau aku gak tahan dan akhirnya masuk rumah sakit jiwa, nanti kamu jengukin aku ya ...."

"Ihh ... apaan sih, Diandra! Aku gak suka ya dengetnya!" ucap Rafli lalu meraih telapak tangan Diandra dan menggenggamnya. "Denger! Jangan ngerasa sendirian dan jangan mikir yang enggak-enggak! Kamu gak boleh stress! Aku bakalan terus ada di samping kamu jadi kamu gak boleh mikir yang enggak-enggak! Atau ... kalau enggak, kita kawin lari aja udah kalau papa kamu gak mau nikahin aku."

"Dih ... ngapain harus kawin lari kalau kamu udah ada di sini," ucap Diandra seraya tersenyum.

Bersambung