3 Aku Yakin Kita Memang Melakukannya

Andra bangun dari tidurnya, ia melihat ke sekelilingnya lalu mengerutkan alis bingung karena sama sekali tidak mengenali tempat dimana dia berada. Andra hendak beranjak turun dari ranjang, namun dia kembali mengerutkan alis lagi saat melihat pakaiannya yang berserakan di atas lantai dan baru menyadari kalau dia tak memakai pakaian.

"Tunggu-tunggu! Ini kok aku gak pake baju?" gumam Andra.

Andra berpikir keras dan mengingat apa yang terjadi padanya semalam.

"Diandra? Dia kemana?" gumam Andra lagi, dia lalu membuka selimut, menakuti yang dia pikirkan benar terjadi. Andra melihat ada bercak noda darah disana. "Astaga ... jangan-jangan aku dan dia? Semalam? Ck! Enggak! Gak mungkin!"

Andra lalu beranjak turun dari ranjang dan kembali memakai lagi pakaiannya.

***

Andra berjalan setengah berlari ke arah ruang kerja Alfa.

Brak!

"Al? Diandra mana?" tanya Andra setelah membuka pintu ruang kerja Alfa dengan sangat kasar.

Alfa yang tadi fokus dengan layar kotak di atas meja itu langsung melihat ke arah pintu yang baru saja terbuka. "Apaan sih? Rusuh amat!"

"Diandra, dia mana? Kok gak ada di depan?"

"Gak tau! Dia gak masuk dan gak ada kabar juga!" jawab Alfa.

"Lah ... kamu kan atasannya, masa gak tau," ucap Andra.

"Ya justru aku atasannya, makanya aku gak tau! Aku bukan kakaknya dan bukan keluarganya! Aku gak dua puluh empat jam ada sama dia! Kalau dia gak ada kabar ya aku gak tau!" ucap Alfa.

"Ck!" Andra berdecak kesal, dia lalu berbalik dan keluar dari ruangan Alfa.

"Mau kemana, Ndra?" tanya Nadya yang hendak masuk ke ruangan Alfa.

Andra sama sekali tak menanggapi Nadya, ia berjalan melewati Nadya dan berjalan setengah berlari meninggalkan perusahaan berniat hendak ke rumah Diandra.

***

Huuhh

Andra menghembuskan napasnya dengan sangat kasar, dia datang ke rumah Diandra namun ternyata Diandra sedang tak ada di rumah. Ibunya mengatakan kalau Diandra tidak pulang dan menginap di rumah Nadisya, dengan segera Andra langsung pergi dan berniat untuk langsung ke rumah Nadisya hendak menemui Diandra.

Beberapa menit kemudian.

Andra memejamkan mata saat sudah berada di depan pintu rumah Nadisya, mengatur napas lalu setelahnya mengetuk pintu.

Tok tok tok.

Andra menunggu pintu itu terbuka.

Ceklek

"Dii?"

"Kamu? Mau apa kamu kesini?" tanya Diandra dengan nada ketus. "Pergi!" ucap Diandra menutup pintu, namun tangan Andra sudah lebih dulu menahannya.

"Aku mau ngomong sama kamu," ucap Andra.

"Gak ada yang perlu di omongin! Kamu pergi! Aku gak mau liat muka kamu!" ucap Diandra berusaha menutup pintu, namun tenaga Andra jauh lebih besar hingga dia tak berhasil menutup pintu itu.

"Aku cuma mau tanya, semalem ... kita–"

"Gak ada hal apapun yang terjadi semalem!" sela Diandra memotong.

"Tapi tadi pagi pas aku bangun, aku liat ada noda darah di–"

"Ya terus? Apa hubungannya sama aku?" sela Diandra memotong lagi. "Itu bukan punya aku! Semalem kamu sama perempuan lain kali! Semalem aku ninggalin kamu di tempat itu! Jadi itu bukan punya aku!"

"Tapi liat sikap kamu yang kayak begini, ini buat aku semakin yakin kalau semalem kita emang ngelakuin itu," ucap Andra.

"Aku bilang bukan ya bukan!" ucap Diandra dengan nada ketus. "Aku bilang pergi!" Sekuat tenaga Diandra mendorong pintu hingga akhirnya pintu itu berhasil tertutup.

"Dii? Diandra? Buka pintunya! Aku mau bicara sama kamu, aku mau bicara dengan kepala dingin sama kamu, aku mau kita bicara tanpa emosi, aku mau tau semalem kita ngelakuinnya atau enggak," ucap Andra.

"Aku bilang enggak ya enggak Andra! Kamu pergi dan jangan pernah temuin aku lagi! Aku gak mau liat kamu lagi!" ucap Diandra berteriak dari dalam.

"Dengan ucapan dan sikap kamu yang kayak begini, semakin membuat aku yakin kalau semalem kita memang melakukannya!" ucap Andra, "Ayo dong, Dii ... buka pintunya dan kita selesaikan masalah kita, kalau aku memang melakukannya, aku tak masalah jika harus bertanggung jawab dengan menikahi kamu," ucap Andra.

Hening.

Tak ada jawaban dari dalam.

"Dii ... Diandra?" panggil Andra namun tetap tak ada jawaban. Hingga akhirnya Andra lelah, bosan dan lebih memilih untuk pergi.

***

Tubuh Diandra merosot saat setelah menutup pintu, air mata tanpa aba keluar dari matanya dan membasahi pipi, dia lalu terduduk lemas di atas lantai dan bersandar pada pintu.

"Ayo dong, Dii ... buka pintunya dan kita selesaikan masalah kita, kalau aku memang melakukannya, aku tak masalah jika harus bertanggung jawab dengan menikahi kamu," ucap Andra di balik pintu.

Hiks hiks hiks

Diandra sama sekali tak menanggapi apa yang Andra ucapkan, dia duduk di atas lantai dengan kedua tangan yang memeluk kedua lututnya.

"Nikah? Segampang itu? Padahal hati kamu bukan untuk aku! Aku tidak akan pernah mau menikah dengan seorang pria sepertimu! Kamu pria terjahat, Ndra!" gumam Diandra masih seraya terisak. "Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa kamu lakuin itu sama aku? Dan kenapa perempuan yang kamu cinta harus Nadya? Kenapa harus dia? Itu malah membuat hati aku semakin sakit, Ndra!"

10 menit kemudian.

Tok tok tok

Diandra langsung bangun dari posisinya dan berdiri tegak. "Dia masih belum pulang?" gumam Diandra.

Diandra lalu berjalan ke arah kaca jendela, membuka kain gorden sedikit dan melihat siapa yang mengetuk pintu. "Ehh ... itu Rafli?"

Diandra lalu membuka pintu.

Ceklek.

"Hai ...." ucapnya seraya tersenyum.

Diandra terlihat kebingungan. "Nadisya gak ada, dia kerja," ucap Diandra, "kamu sama dia kan satu kantor, kok–"

"Siapa yang mau ketemu Nadisya? Aku mau ketemu kamu," ucap Rafli.

"Hm? Ketemu aku?" tanya Diandra mengerutkan alis bingung. "Ini rumah Nadisya, Raf. Bukan rumah aku loh."

"Ya aku tau, tadi di kantor Nadisya bilang kamu nginep di sini, makanya aku kesini," ucap Rafli.

"Tumben, kenapa?" tanya Diandra.

"Bawain ini buat kamu," ucap Rafli seraya mengarahkan kantong kresek berwarna putih di tangan kanannya.

"Itu apa?" tanya Diandra.

"Nasi kuning, kamu pasti belum sarapan kan? Makanya aku beliin ini, dan kebetulan aku juga belum sarapan, jadi kita sarapan bareng," ucap Rafli menerobos masuk sebelum Diandra mempersilahkannya untuk masuk.

Rafli lalu berjalan masuk dan berjalan ke arah sofa. Tak ada siapapun di rumah Nadisya, karena Nadisya memang hidup sebatang kara. Ayah dan ibunya meninggal dunia saat Nadisya duduk di bangku SMA. Dan sejak itulah Nadisya hidup sendiri di rumah peninggalan ayah dan ibunya.

Diandra lalu berjalan ke arah sofa juga dan duduk di samping Rafli.

"Kamu kenapa?" tanya Rafli seraya mengeluarkan dua bungkus nasi kuning di dalam kantong kresek.

"Hm? Enggak, aku gak pa-pa," jawab Diandra.

"Jangan bohong," ucap Rafli, "Tadi, Nadisya bilang kalau kamu keliatan gak baik-baik aja, makanya aku langsung kesini dan bawain kamu sarapan. Dan aku liat, dari muka kamu ... kamu memang tidak terlihat baik-baik aja, muka kamu sembab, keliatan banget habis nangisnya. Jadi, sekarang cerita sama aku, kamu kenapa?" tanya Rafli.

Diandra menunduk, tenggorokannya tiba-tiba saja terasa tercekat saat Rafli bertanya padanya.

Rafli yang menyadari Diandra seperti menahan tangis sontak langsung menggeser duduknya dan mendekati Diandra. "Kenapa?"

Bersambung ....

avataravatar
Next chapter