webnovel

(IN) SIDE

Pemuda berusia 16 tahun bernama Nathan Davies tampak seperti remaja pada umumnya. Ah tidak, dia lebih mirip seperti orang buangan daripada pelajar SMA. Berpakaian lusuh tak terawat dengan tubuh kurus dan kulit sepucat mayat. Orang-orang pasti akan menganggapnya pengidap obat-obatan terlarang. Tapi fakta dibaliknya terdengar begitu memilukan. Dia mengidap 'Short Term Memory Lost Syndrom'. Atau dikenal sebagai Hilang Ingatan Jarak Pendek. Terdengar konyol memang. Tapi siapa sangka hal itu malah membuat hidupnya yang malang lebih hancur lagi. Ia juga tak ingat sejak kapan mempunyai teman-teman bernama Jeremy, Vincent, Wyatt, dan Dean. Keberadaan mereka sangat membantu kehidupan Nathan. Tapi bukankan sangat janggal? Benarkah mereka nyata? atau hanya gambaran dari kesepian yang ia pendam selama ini? Lalu, siapa ia sebenarnya? Apakah ia Nathan? Jeremy? Vincent? Wyatt? atau Dean?

JieRamaDhan · Urban
Not enough ratings
12 Chs

Noda di Baju

Kaki kurus itu melangkah menyebrangi zebra cross dimana para pejalan kaki ikut menyebrang. Pemuda itu mengeratkan genggamannya pada tali ransel. Udara pagi memang cukup dingin, ia tak punya mantel ataupun jaket tebal untuk menghangatkan tubuhnya.

Beruntung Nathan mampu sampai di halte tanpa terlambat. Menanti bus yang akan mengantarnya ke sekolah. Ia tak perlu lagi berlari seperti waktu itu.

Cukup lama menanti namun lebih baik seperti ini daripada ia kehilangan bus lagi. Tak jauh darinya terlihat sekumpulan pemuda tengah memeras pemuda lainnya yang tampak lebih lemah. Nathan langsung mengalihkan pandangannya saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan salah satu perundung.

Jantungnya berdegup kencang saat sudut matanya menangkap sekumpulan pemuda itu berjalan kearahnya. Nathan tak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar. Ia takut, ia sungguh takut. Rasanya lebih baik menghilang saja saat ini.

Beruntung bus yang ia tunggu sampai sebelum pemuda tadi sampai di tempatnya. Tergesa Nathan masuk ke dalam Bus dan duduk di salah satu bangku dekat jendela. Ia mencoba bersikap biasa saja saat sekumpulan pemuda itu menatap ke arahnya.

Saat bus melewati pemuda lemah yang di rundung tadi, Nathan menoleh dan mendapati keadaan mengenaskan pemuda itu. Seragam mereka berbeda. Nathan tak menyangka bahkan di sekolah elit sekalipun masih saja ada perundungan semacam ini.

Kakinya gemetar ketika pandangannya bertemu dengan pemuda tadi. Ada rasa iba, namun Nathan sadar ia jauh lebih di kasihani.

Hari itu tak hujan, tak mendung, namun hatinya muram seperti ada awan hitam melingkupi relungnya. Nathan hanya bisa bergumam maaf. Semoga pemuda tadi memaklumi tindakan pengecutnya.

Nathan sadar, ia bukan hanya korban tak berdaya. Ia adalah pengecut yang tak ada bedanya dengan para sampah.

.

.

.

Seperti hari biasa, Nathan memilih tak begitu terlihat mencolok. Wajahnya selalu tertunduk menyusuri koridor. Hingga tiba dengan aman di bangkunya yang begitu berbeda dengan siswa lain.

Nathan seperti sudah biasa dengan kalimat makian di bangkunya. Ia bahkan tak berniat menghapus kata-kata 'manis' dihadapannya. pemuda itu tahu apa yang akan terjadi jika ia berani menghapus coretan di bangkunya.

Hari cukup tenang. Nathan menyangga dagu pada lengan dan sikunya. Menatap penuh arti pada awan yang perlahan bergerak di luar sana. Cahaya mentari menyirami wajahnya, menimbulkan sengatan kecil akibat kelopak yang di paksa menatap matahari. Nathan memejam, merasakan hangat menerpa wajah tirusnya.

'Sreek—'

Telinganya menangkap suara kursi yang di tarik. Ia langsung menoleh ke asal suara, tepatnya bangku di sebelahnya. Entah dorongan dari mana Nathan tersenyum riang.

"I—ini milikmu" tergagap ia mengulurkan saputangan milik gadis disebelahnya. Nathan merasa pipinya memanas bahkan hanya dengan berbicara sepatah kata.

Gadis itu hanya menoleh sekilas dan kembali pada aktivitasnya bermain ponsel. "Buang saja kalau tak perlu"

Nathan menatap terheran. Apakah ia pernah melakukan kesalahan tanpa ia ingat ? nyatanya penyakit pelupanya sungguh membuatnya sangat menderita. Nathan kembali menarik tangannya, meremat sapu tangan itu dalam diam.

"Teruslah tak saling mengenal seperti biasanya, aku membantumu bukan berarti kita berteman"

Nathan lalu mengangguk walau dalam hati ia merasa sakit. Pemuda itu lalu kembali menatap awan di luar yang kian menumpuk menjadi gumpalan hitam. Nampaknya langit mengerti akan perasaannya. Hatinya muram seakan turun hujan.

Banyak orang berpikir Sekolah menengah atas adalah waktu emas untuk mendapatkan kesan yang mendalam. Memang benar, hanya saja berbanding terbalik dengan yang Nathan rasakan. Kesan mendalam baginya jauh dari kata menyenangkan.

Seperti saat ia di tarik keluar kelas begitu jam istirahat berbunyi. Pemuda berbadan besar menarik nya hingga koridor dengan kelompok pemuda lainnya menatap penuh intimidasi.

'BUAAGH!!'

"Ohoook!!" Hadiah pertama yang ia dapatkan tepat mengenai ulu hati. Nathan tak bisa menahan sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya. Cairan merah pekat itu membasahi lantai dan sebagian bajunya.

"jika kau berani melawan lagi, kami akan benar-benar menghabisi mu BEDEBAH !" Gerald lantang mengancam dengan suara beratnya. Tak ada satupun dari para siswa yang berani melerai. Seluruh pasang mata hanya menatap tak peduli bahkan ada yang benar-benar tak menganggap kejadian didepan mata mereka.

Semuanya berlalu lalang seperti biasa hingga seruan dari Guru berhasil menghentikan tindakan Gerald dan yang lain.

"YAK ! JANGAN MEMBUAT KERIBUTAN DI JALAN !!"

Seperti layaknya orang bermuka dua, Gerald tersenyum ramah dan membungkuk sebagai permintaan maaf. "maaf pak, ada kesalahpahaman disini"

Guru itu seakan ragu melerai "Ya sudah, cepat hentikan. Dan kau ! cepat bersihkan noda itu dari lantai !"

Nathan tersentak begitu nada bicara guru itu meninggi saat berbicara dengannya. Miris, kenapa hanya ia yang mendapatkan ketidak adilan ini. Dengan pasrah Nathan mengelap bekas darahnya dengan ujung blazer kusutnya.

Dari dalam kelas Ian menatap datar kejadian yang berada tepat di luar kelasnya. Ian memandangi Nathan yang masih sibuk mengelap lantai. Ian kembali ke bangkunya seakan tak terjadi apa-apa.

.

.

.

Pantulan cermin seakan mengoloknya. Warna mata yang sangat Nathan benci karena mengingatkan akan orang tuanya yang sudah tak ada.

"Kenapa...?"

Wajah sayu nya basah oleh buliran air mata dan air keran. Seragamnya masih tampak kacau dengan noda darah menghiasi. "Kenapa ?! kenapa bukan aku saja yang mati !!"

Nathan meracau di tengah derasnya keran mengalir. Menutupi geramannya yang tertahan. Menyedihkan, dirinya tak lebih dari seonggok tubuh tak berharga. Dada nya terasa sangat sesak. Berapa lama lagi ia harus menanggung ini sendirian ?

Di tengah ramainya para siswa berjejalan di kantin, Nathan hanya berlalu tanpa niat membeli sepotong roti. Ia masih merasa mual tak tertahankan, tendangan Gerald sungguh kuat hingga bahkan muntah darah.

Pemuda kurus itu berjalan sempoyongan dengan berpegangan pada dinding koridor. Tertatih menuju kelasnya, Nathan berpikir lebih baik tak keluar kelas barang sedetikpun. Jam makan siang menjadi mimpi buruk dari hari-hari nya yang kelam.

Mendudukan pantatnya pada kursi kayu keras dengan kaki kursi yang tak seimbang. Nathan harus menjaga agar kursi itu tak bergoyang saat ia duduk.

Matanya sedikit membulat saat tak sengaja menyentuh benda lain yang berada di laci mejanya. Nathan meraih benda yang letaknya cukup dalam, seperti seseorang sengaja menaruhnya didalam sana.

Pemuda itu semakin di buat kebingungan saat mendapati sekotak susu coklat dan roti di dalam laci mejanya. Nathan tak merasa ia meninggalkan benda itu disana, dan ia yakin tak ada seorangpun yang sudi menyentuh mejanya.

Hal menakjubkan ketika seseorang dengan sengaja meninggalkan makanan untuknya. Nathan ingin sekali berharap, namun ia sadar dirinya bukanlah apa-apa. Dengan tangan gemetar ia membuka bungkus roti dan memakannya perlahan.

Dengan bibir bergetar, Nathan tak hentinya menggumankan kata 'terima kasih' untuk sebuah hadiah kecil yang ia terima.

Tanpa ia sadar seseorang tampak menatapnya dari balik jendela koridor.