webnovel

(Hiatus) Perfectionist Girl's

Novel ini bercerita mengenai kisah 2 orang gadis yang berusaha melampaui batas kemampuan mereka... Gadis pertama adalah Ananda Karen yang merupakan gadis menawan, namum keras kepala dengan sejuta impian. Ia ingin mencapai semua impiannya sesegera mungkin. Akan tetapi ia sadar bahwa semua hal butuh proses. Ketika Ananda Karen dipertemukan dengan kenyataan dunia, membuat segala sesuatu terasa sesak untuk tetap berjuang menuju impiannya. Disisi lain, gadis kedua yaitu Tasya Lin, yang bertujuan untuk menjadi seorang dokter yang handal. Akan tetapi ia tidak pandai dan selalu mendapatkan nilai terendah di dalam kelas. Cerita ini dipoles dengan menceritakan kisah perjuangan anak muda yang bertumbuh dalam mencari jati diri. Dimana mereka diuji oleh cinta! Pertemanan mereka yang telah berlangsung lama diuji oleh cinta segitiga mereka dengan Mark Wijaya, murid baru yang masuk di tahun terakhir di masa SMA mereka. Pertemanan mereka pun berlanjut sampai ke jenjang perkuliahan... Akankah mereka dapat menggapai seluruh impian mereka dan bagaimana mereka menyelesaikan cinta segitiga yang muncul diantara mereka? Akankah mereka akan memilih untuk tetap bersahabat ataukah memilih untuk saling menjatuhkan? Semuanya akan tertuang dalam novel ini. Happy reading, Pom_Pong

Pom_Pong · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Mark Wijaya

"Ibu, apa ayah akan kembali di hari ulang tahunku?" Tanya Ananda Karen yang tiba-tiba mengheningkan suasana.

Margaretha terdiam. Ia mengambil tissue di sebelah kanan piringnya dan melap bibir Ananda dengan lembut menggunakan tissue tersebut. Kemudian dengan penuh kasih sayang Margaretha menjawab, "Ayahmu tentu saja akan pulang di hari itu." Jelasnya.

Melihat ekspresi ibunya, Ananda Karen menjadi ragu. Ia tahu bahwa akhir-akhir ini ayahnya jarang pulang ke rumah. Entah apa yang terjadi, ia dapat merasakan bahwa keluarganya tidak seharmonis dulu ketika dia masih kecil.

Bukannya ia tidak peduli dengan perubahan yang sedang terjadi, hanya saja dia enggan bertanya pada ibunya mengenai kegelisahan hatinya. Tapi ia bertekad untuk bertanya kali ini...

"Ibu, apa ada masalah di perusahaan ayah?" Tanya Ananda Karen dengan ekspresi penasaran.

Mendengar pertanyaan Ananda Karen yang mendadak, Margaretha menelan ludah dan sedikit bingung menjelaskannya. Ia tahu Ananda Karen adalah anak yang cerdas. Tidak mungkin untuk membohonginya soal masalah yang sedang mereka hadapi.

Tapi bagi Margaretha, Ananda Karen masihlah seperti anak bayi yang harus ia lindungi.

Ibunya menyeruput teh hijau yang ada di atas meja di dekat tangannya. Ia berusaha menunjukkan ekspresi yang tenang, sembari berkata, "Bukankah teh ini harum?" Ujar Margaretha yang hendak mengalihkan topik pembicaraan.

Ananda Karen tahu ada sesuatu yang sedang terjadi. Tapi dia tidak bisa memaksakan ibunya untuk bercerita. Jadi dia hanya bisa membalas pertanyaan ibunya, tanpa harus ngotot mendapatkan jawaban atas pertanyaan. "Iya Bu, teh ini harum dan rasanya manis. Apa ibu mencampurnya dengan madu?" Tanya Ananda Karen.

"Wah, lidah pengecapan mu ternyata baik sekali." Tutur Margaretha tersenyum.

Hehehehe...

Suasana yang tadinya sepat tegang kembali menjadi hangat...

**

Pagi hari di sekolah, bel berbunyi pertanda sudah saatnya masuk kelas.

"Anak-anak, hari ini ibu akan memperkenalkan siswa baru. Silahkan masuk Wijaya." Ujar Bu Lisa, guru matematika sekaligus guru kelas 3-A.

Ketika Wijaya masuk, sinar mentari juga ikut menyelinap di sela-sela pintu membentuk background di belakang Wijaya. Menampakkan siluet yang samar-samar perlahan pasti.

Mata yang bulat dengan bulu mata yang panjang lentik terlihat mempesona. Bibirnya yang tipis melengkung memperlihatkan senyuman tipis.

Waktu bagaikan berjalan begitu lambat ketika ia melangkah menuju ke depan kelas. Dan setiap mulut ternganga tak percaya akan bentuk ukiran yang hampir sempurna terukir di setiap sudut wajahnya. Yang lebih mengganggu adalah tatapan mata setiap gadis yang terpesona oleh ketampanan Wijaya, anak baru itu.

Ananda Karen yang tak peduli dengan siapa pun murid barunya, malah menunduk membaca buku dengan santai. Namun Tasya Lin tercengang melihat wajah Wijaya si jerapah adalah murid baru yang dibicarakan teman-temannya kemarin. Jelas bahwa Tasya Lin tampak tak senang dengan kehadiran Wijaya.

"Silahkan perkenalkan dirimu." Ujar Bu Lisa singkat, sambil berdiri tegak di depan meja guru.

Wijaya mengambil tempat tepat di depan kelas dan tersenyum. Senyumannya dengan mudah dapat meluluhkan hati para gadis seusianya. Siapa yang tidak akan terpesona jika melihat pria berkulit putih dan bertubuh atlet itu sedang memperlihatkan lesung pipinya.

"Hai..." Wijaya melambaikan tangannya dan melihat ramah ke arah Tasya Lin dan mengedipkan sebelah matanya. Lalu melayangkan pandangannya ke arah gadis-gadis manis yang ada di ruangan itu.

Tasya Lin memicingkan kedua matanya merasa terganggu dengan tatapan konyol Wijaya. Yah bisa dibilang hanya Tasya Lin dan Ananda Karen-lah yang tidak terpesona dengan Wijaya. Sebab nyatanya para gadis lainnya hampir pingsan kepayang melihat Wijaya yang tampak bersinar seperti turunan para dewa.

Berbeda dengan para gadis, anak laki-laki yang ada di ruangan kelas 3-A sepertinya merasa terancam dengan kedatangan Wijaya. Karena kehadiran Wijaya akan membuat mereka sulit untuk mendapatkan gadis pujaan hati mereka.

Apalagi Levi! Pria berkacamata itu menangkap basah lirikan Wijaya yang terpaku pada Tasya Lin menjadi sedikit gusar. Sudah dari kelas 1 Levi menyukai Tasya Lin, tapi sampai saat ini dia belum bisa mengutarakan isi hatinya sama sekali. Bagaimana pun Wijaya membuat posisinya terancam!

Di sisi lain, Tasya Lin tidak pernah meluruskan mimik wajahnya. Ia mengangkat sebelah alisnya dan menggigit bibir bawahnya, lalu menatap Wijaya dengan tajam.

Aura membunuh Tasya Lin terasa membuat bulu kuduk Wijaya merinding. Tapi, ia tetap santai dan melanjutkan perkenalannya. "Aku Mark Wijaya, salam kenal semuanya." Ujar Wijaya singkat memperkenalkan dirinya.

"Ahh..." Ema, Sasya dan Lina serentak meletakkan dagu mereka di atas tangan mereka. Tanpa perlu dijelaskan lagi, ketiga gadis populer itu sangat tertarik dengan Wijaya.

Setelah Wijaya menyelesaikan perkenalannya, Bu Lisa mengambil ahli. "Baiklah anak-anak, bersikap baiklah dengan Wijaya yah..." Ujar Bu Lisa dengan ramah. "Kau bisa duduk di samping Karen." Sambung Bu Lisa sambil melihat-lihat bangku yang kosong.

Banyak mata yang memperhatikan Wijaya dengan banyak statement ketika ia mulai melangkahkan kakinya:

"Wah, tampannya..."

"Dia tipe aku banget..."

"Wah..."

Pandangan mata yang melihat ke arahnya terpaku mengikuti Wijaya yang sedang menuju ke arah bangkunya.

Menyadari hal itu, Wijaya terus menebarkan pesona dengan tersenyum hangat membalas tatapan para gadis.

'Cih... Dia layaknya pria centil yang harus dibasmi!' Gumam Tasya Lin yang selalu menatap Wijaya salah.

Levi jelas terganggu melihat Wijaya bisa menarik perhatian dari Tasya. Walaupun Tasya sendiri menganggap Wijaya sebagai musuh, tapi menurut Levi pandangan yang Tasya arahkan untuk Wijaya adalah pandangan ketertarikan!

Levi mainkan bulpoinnya sambil menatap cemas ke arah Tasya dan sesekali menatap tak rela ke arah Wijaya.

'Kenapa kau melihatnya segitunya sih!' Levi tak habis pikir dengan sikap Tasya.

Wijaya terus melangkah ke arah yang diperintahkan oleh Bu Lisa. Ia berhenti sebentar di samping Ananda Karen dan berbisik, "Kurasa ini akan menarik!" Ujarnya.

Ananda Karen yang mendengarkan bisikan dari Wijaya tidak mengerti arti dari ucapannya itu. Ia berhenti membaca sebentar dan menatap Wijaya dengan tatapan penuh tanda tanya. Mata mereka berpapasan, tapi Wijaya hanya menyeringai.

'Bocah itu... mengapa dia berhenti di bangku Ananda?' Tasya mengepalkan tangannya erat dengan emosi yang masih diperlihatkannya.

Seringaian Wijaya yang seakan tidak ingin menjelaskan arti dari perkataannya itu, hanya berkata dari tatapan mata yang ia arahkan kepada Ananda Karen. Sehingga membuat Ananda Karen lebih penasaran. Matanya seolah ingin berkata bahwa mereka ditakdirkan untuk bertemu!

Mendapati Ananda Karen dengan ekspresi keingintahuan, Wijaya sangat puas. Ia lalu pergi ke bangku yang kosong tepat di belakang tempat duduk Ananda Karen.

Ananda Karen yang sempat bingung, kemudian melihat lagi ke arah bukunya dan menganggap ucapan Wijaya seperti angin lalu.

~To be continued