1 Pertemuan

Langkah pelan diiringi suara beradu dari sepasang pantofel berkilat mendekatinya. Tatapan tajam nan dingin menahan gerak tubuhnya. Tidak ada ketakutan yang dirasakan Nea. Justru kelamnya netra biru pekat itu seolah membuat lututnya melemah dan siap ambruk kapan saja.

Nea tidak berkutik. Lionard membebaskan aura alpha yang dominan. Semakin mendekat dan lengan kokoh itu meraih pinggang Nea secara seduktif, hembusan nafas diiringi bisikan meremangkan setiap helai halus di titik paling sensitif Nea. Gadis itu menutup mata, ia pasrah.

Dan Lionard ….

Bip … bip … bip!

"Aissshhhh! Membuyarkan inspirasiku!" Seorang gadis, mematikan layar komputernya yang masih menampilkan hasil gambarnya dan sembarangan melempar ponselnya. Bukannya mati, justru dering panggilan masuk dengan keras memaksanya untuk bangkit.

"Apaa!"

"Woi sleeping beauty, yang aku yakini kalau kau baru bangun dari dunia khayalan cerita! Mana setoranmu? Udah jam berapa nih? Mau bikin aku lembur ngeliatin hasil ilustrasi kau yang berantakan itu?"

Yang ditelpon dengan santainya melirik jam di atas bar ponselnya. 17.30 WIB.

"Ijin double up deh ya? Aku buntu banget. Mau bikin sketsa kasar dulu sambil jalan-jalan. Cari inspirasi!"

"Tidak ada! Alesan doang ya? Jangan bikin editor naik darah dong. Senin depan harus sampai bab 15! Dan ini hari jumat jadi—"

Tutt!

"Berisik deh ah! Baru sekali minta double up saja sudah nye nye nye nye!"

Gadis itu melepas kacamata dan membanting tubuhnya ke ranjang. Vellynea Axyra, adalah nama gadis itu. Bukan nama sebenarnya, dia lebih sering dipanggil Nea, nama panggilan yang sejak kecil melekat pada dirinya, menurut pengakuannya sendiri.

Sama seperti nama tokoh di atas? Memang. Nea adalah seorang ilustrator yang punya nama besar dalam sebuah platform manga. Banyak cerita dengan genre romance sudah ia keluarkan dan rata-rata sangat digemari, sama halnya dengan judul yang sedang ia kerjakan saat ini.

Tapi Nea mulai bosan. Ia ingin keluar dari zona nyaman. Maka dari itulah ia membuat sebuah cerita baru yang lain daripada yang lain dengan menggunakan namanya sendiri sebagai tokoh. Sayangnya tak selalu berjalan mulus. Baru seperempat jalan Nea sudah buntu dan mulai mendapat teror dari sang editor.

"Mendingan mandi ajalah. Terus cuci mata ke bazar kota. Siapa tahu ketemu pria seperti Lionard. Hahahahaha." Cekikikan Nea terdengar meski langkahnya menjauh ke arah kamar mandi.

15 menit berlalu, Nea baru saja selesai mandi dan memilih pakaian. Kali ini ia memilih baggy jeans dan sebuah knit crop top. Setelah mengikat ponytail rambut coklatnya serta membubuhkan sedikit make up, Nea siap menuju ke lokasi bazar.

Bazar Vintage, tema acara kota kali ini. Jejeran penjual aksesori bertema 'jadul' memenuhi setiap sudut kosong yang tersedia. Memanjakan pecinta koleksi lama dan anak muda yang berburu pernak-pernik penunjang penampilan di akun sosial media mereka. Berdampingan dengan beberapa penjaja makanan ringan hingga berat yang siap mengembalikan energi para pengunjung.

Nea menikmati suasana oranye kuning temaram sepanjang jalur bazar, sesekali berhenti untuk mengamati semua barang yang menarik perhatiannya.

Langkahnya terhenti di salah satu ujung tenda yang agak tertutup. Berhiaskan kain bertema boho yang menutupi kain tenda berwarna mustard. Beberapa ukiran dan kepangan makrame mempercantik pintu masuk tenda dan seperti menghipnotis Nea untuk membukanya.

"Selamat datang gadis muda. Kau butuh inspirasi baru?"

"A-ah tidak. Aku menyukai tenda milikmu ini, Bibi."

"Tidak perlu menutupinya Nea. Saya punya solusi untukmu."

Nea terkesiap. Bulu kuduknya meremang. 'Dari mana bibi ini tahu namaku?' batinnya bertanya-tanya.

"Ada namamu tertulis di atas tas yang kau bawa." Bibi paruh baya itu tersenyum. Bukannya tenang, Nea justru semakin waspada namun juga tidak bisa melepas kekagumannya hingga dia diam saja.

Nea melangkah dengan hati-hati, gerai itu menjual alat-alat melukis. Kuas berbagai ukuran dengan gagang yang penuh ukiran, cat warna dengan merk yang tak pernah ia lihat, pigura antik berbagai jenis diperhatikannya satu persatu. Ketika Nea mendekati rak yang berisi peralatan menggambar, matanya menatap sebuah pena berwarna coklat dengan ukiran berbentuk wanita. Tangan gadis itu meraihnya, matanya tak berkedip menatap kagum betapa halus pena itu.

"Kau suka pena itu, Nea?"

"Berapa harganya, Bi? Cantik sekali. Pasti mahal."

"Pilihanmu sangat tepat. Pena itu hanya ada satu dan kamu yang menemukannya di antara sekian banyak pena lain. Saya akan memberikannya gratis untukmu." Nea menoleh. Tatapannya bertemu dengan senyum misterius bibi tersebut.

"Tapi …."

"Jangan menolaknya Nea," wanita itu mendekat dan meraih pena pilihan Nea, "Saya hanya minta, jaga baik-baik. Ia akan menjadi jalan keluar untuk masalahmu saat ini."

Bibi itu berbalik dan membawa sebuah kantong kertas dan menyerahkannya kepada Nea. Gadis itu ingin menolaknya, tapi tatapan wanita paruh baya itu membuatnya tak berkutik.

"Hanya beberapa buku polos dan tinta warna. Semua benda ini berkesinambungan. Mereka bisa saja membuat apa yang kamu kerjakan menjadi nyata rasanya. Kau boleh pulang, Sayang. Jaga dirimu baik-baik."

Nea melangkah pelan keluar dari tenda diiringi oleh bibi penjual hingga pintu tenda. Nea memeluk erat kantong kertas itu sambil melangkah. Ia merasa ingin cepat menuliskan ide-ide yang muncul mendadak. Ketika ia ingin berbalik untuk mengucapkan terimakasih, ia tak menemukan tenda kuning mustard itu.

"Kayaknya aku tidak jalan jauh dan aku masih yakin tenda itu ada di sana." Nea bergumam pelan. Gadis itu melangkah kembali untuk memastikan namun nihil.

Saya akan datang jika saya ingin, Nea.

Hembusan angin seakan membisikkan sebuah kalimat melintasi indra pendengaran Nea. Gadis itu reflek menoleh, namun hanya riuh deretan penjual dalam bazar yang ia tangkap. Membuat Nea penasaran setengah mati.

"Apa yang akan terjadi denganku Bi?" Nea mengamati beberapa buku gambar polos bersampul coklat, puluhan botol kecil berisi tinta warna-warni dan sebuah pena yang ia hamparkan di kursi taman sebelah bazaar, "ini semua alat yang aku pakai juga untuk mengerjakan ilustrasi. Siapa Bibi itu?"

Drtt drtt!

Getaran ponsel yang selama ini ia hiraukan kali ini mengusik lamunannya. Melihat nama yang terpampang, Nea mengangkatnya.

"Ke mana sih kau, Nea? Aku belum selesai ngomong ya dari tadi! Aku tidak mau tahu, harus ada draft yang kau kirim minimal 3 halaman!"

Telepon kemudian diputus sepihak. Nea menghela nafas panjang. Ia memasukkan lagi alat-alat itu dan mulai melangkah untuk mencari taksi. Nea berjalan menuju gerbang taman dan menyeberang jalan. Sebuah taxi biru melintas, Nea memutuskan untuk langsung menghentikannya.

Rasanya waktu seperti sangat cepat berlalu, jam menunjukkan angka 20.24 dari layar ponselnya ketika Nea memasuki pintu apartemennya. Ya, kesuksesan Nea membuatnya memilih untuk membeli sebuah unit apartemen di tengah suasana tenang pinggiran kota. Alasan butuh tempat penuh inspirasi membuatnya mendapat izin dengan mudah dari kedua orang tuanya.

Nea meletakkan paperbag di atas meja kerjanya. Lalu melepas pakaian dan memilih membersihkan diri. Entah mengapa ia sangat ingin mencoba alat-alat yang sudah ia dapatkan tadi.

Dengan piyama ungu muda favoritnya, Nea menghempaskan tubuhnya menduduki kursi bulat di area meja kerja. Tangannya meraih paperbag dan menumpahkan semuanya di atas meja. Jam malam adalah jam favoritnya untuk mengerjakan semua sketsa cerita selama ini. Ditemani hembusan angin, atau kadang-kadang rintik hujan dari jendela besar di sisi kanannya, menembus pemandangan kota dari lantai tujuh.

"Dari mana ini harus dimulai? Bab terakhir sepertinya Lionard mengejar-ngejar Nea. Atau Nea yang kabur?"

Nea memilih namanya sendiri sebagai tokoh utama bukan tanpa alasan. Ia ingin lebih menghayati alur baru yang dia ciptakan. Nea mulai membuka buku gambar baru dan meraih palet yang akan ia isi dengan berbagai macam warna. Lalu ia merogoh paper bag untuk mengambil pena unik yang ia dapatkan di bazar.

"So, are you real? Atau aku yang gampang terpengaruh sama promosi? Begini lah yang bikin pengeluaran melonjak. Kebanyakan pengeluaran! Eh tapi ini kan tadi tidak bayar? Yaudahlah ya." Nea bergumam sendiri. Kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan. Itu juga alasan mengapa Nea membeli apartemen, sering diolok gila oleh ibunya sendiri.

Nea mulai menggores sketsa, meski pena yang digunakan sangat berbeda, namun justru hasil yang keluar jauh lebih terlihat nyata. Nea tidak terlalu menyadarinya, keheningan di sekelilingnya, aura ketenangan luar bisa seakan menghipnotisnya. Tubuhnya dikelilingi awan biru muda tipis, membuatnya bersinar dengan temaram lampu meja. Nea tak bisa melihatnya, ia sangat fokus dalam mengerjakan tugasnya.

23.59.58

23.59.59

00.00.00

Gelap melingkupi Nea, genggaman pena itu terlepas, bergelinding kebawah dan memancarkan cahaya menyilaukan.

avataravatar
Next chapter